Korupsi Tak Kunjung Henti, Islam Kaffah Solusi Hakiki
MutiaraUmat.com -- Media diramaikan dengan mencuatnya kasus korupsi EDC di bank BRI senilai 2,1 T menyusul sejumlah kasus yang proses hukumnya masih juga belum tuntas dan penuh dengan drama. Ironisnya kasus-kasus ini muncul di tengah upaya pemerintah melakukan efisiensi anggaran yang jelas-jelas telah berdampak pada berkurangnya kualitas dan kuantitas layanan negara atas hak dasar rakyat dan pendanaan untuk sektor strategis, semisal penonaktifan PBI, pengurangan tukin guru, dana bansos, dana riset, militer, dan lain-lain.
Di tengah maraknya kasus korupsi yang melibatkan para pejabat dan korporasi, Presiden Prabowo turut menyampaikan pendapatnya tentang kolusi. Beliau menyatakan bahwa saat ini Indonesia sebagai negara berkembang, tengah menghadapi ancaman bahaya besar yaitu State Captur. Pernyataan ini disampaikan saat beliau menjadi pembicara dalam acara St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025 di Rusia. (Kompas.com, 20 Juni 2025, 22:52 WIB)
State capture dalam konteks korupsi adalah situasi di mana kepentingan swasta secara sistematis dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan untuk keuntungan mereka sendiri. Ini bukanlah korupsi biasa, melainkan korupsi yang melibatkan perusakan sistem secara struktural, di dalamnya terdapat campur tangan atau pengaruh yang bersifat sistematis dari kepentingan pengusaha atau kelompok elit, yang kemudian mempengaruhi kebijakan suatu negara. Sehingga, pada akhirnya dapat merugikan negara bahkan masyarakat secara umum.
Akibat Diterapkannya Sistem Pemerintahan Demokrasi
Kasus korupsi yang terus berulang, mengindikasikan bahwa solusi yang digunakan selama ini sama sekali tidak menyentuh akar masalah. Yaitu karena diterapkannya sistem pemerintahan demokrasi yang bersumber dari sistem kapitalisme di negeri ini.
Karena, dari banyaknya kasus yang terungkap, kerugian negara yang ditimbulkan berjumlah sangat fantastis. Berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam acara Konferensi Pers Capaian Kinerja KPK Periode 2019-2024 di Jakarta, Alexander Marwata (selaku Wakil Ketua KPK 2019-2024) menyampaikan bahwa sepanjang tahun 2019-2024 KPK telah menetapkan 691 tersangka dan diantaranya adalah 6 korporasi yang ditetapkan sebagai tersangka. (kpk.go.id, 6 Januari 2025)
Di satu sisi, seluruh pemimpin di Indonesia memiliki komitmen untuk memberantas kasus korupsi. Namun, dalam praktiknya kasus-kasus korupsi terus terjadi berulang-ulang. Bahkan pejabat pemerintah ikut terlibat, hingga lahirlah kasus kolusi korupsi.
Terbukti bahwa negara sekuler kapitalistik telah galak dalam mengurus urusan rakyat dan menyelesaikan seluruh problematika di tengah umat. Kasus ini juga membuktikan bahwa sistem kufur ini tidak bisa diandalkan untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera.
Politik demokrasi yang dijalankan malah menyuburkan politik transaksional yang menjadikan amanah kekuasaan hanya menjadi alat transaksi antara para pejabat dengan para pemilik modal. Dampak lanjutannya adalah menjamurnya praktik korupsi hingga menjadi budaya di setiap level dan ranah kehidupan masyarakat.
Islam Solusi Hakiki Pemberantasan Korupsi
Berbeda dengan Islam. Islam memiliki paradigma kepemimpinan sebagai pengurus rakyat (raain) yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, bukan sebagai pemeras rakyat. Akidah Islam justru menjadikan dalam menjalankan sistem pemerintahan berjalan sesuai dengan tuntunan syariat, sarat dengan moral kebaikan, dan praktek amar makruf nahi munkar, sehingga terwujud masyarakat yang adil dan sejahtera.
Islam punya perangkat aturan yang jika diterapkan secara kaffah akan mampu meminimalisir munculnya kasus pelanggaran seperti korupsi, penyalahgunaan jabatan, dan lain-lain. Dan pada saat yang sama tetap mampu menjamin kesejahteraan masyarakat sehingga tidak membuka celah kerusakan, seperti korupsi.
Dalam Islam, korupsi dianggap sebagai dosa besar dan perbuatan yang sangat tercela. Pelaku korupsi diancam dengan hukuman duniawi dan akhirat. Hukuman duniawi bisa berupa sanksi takzir yang ditetapkan oleh penguasa, seperti penjara, denda, bahkan sampai pada hukuman mati, tergantung pada tingkat keparahan korupsi dan kebijakan penguasa.
Sementara hukuman akhirat bagi pelaku korupsi adalah siksa pedih di neraka, karena mereka telah mengambil hak orang lain secara tidak sah dan melanggar prinsip keadilan dalam Islam.
Dalam daulah Islam, sistem penggajian penguasa dan pejabat negara didasarkan pada prinsip keadilan dan kesejahteraan umat. Gaji yang diberikan oleh negara harus sepadan dengan tanggung jawab dan pekerjaan yang diemban, agar tidak terjadi penyelewengan anggaran.
Adapun prinsip-prinsip penggajian dalam Daulah Islam yang terdapat dalam kitab 'Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam' dan kitab 'Ajhizah Dawlah al-Khilafah' karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani adalah:
Pertama, keadilan dan keseimbangan. Gaji yang diperoleh harus adil dan seimbang dengan tanggung jawab dan pekerjaan yang dilakukan.
Kedua, kebutuhan dasar terjamin. Negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan dasar berupa sandang, papan, pangan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan, untuk seluruh rakyat. Termasuk para pemimpin juga pegawai.
Ketiga, sumber pendapatan. Sumber utama gaji adalah berasal dari dana Baitul Mal, yang merupakan harta milik umat.
Keempat, penerimaan yang wajar. Penguasa dan pejabat negara tidak boleh menerima lebih dari yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang wajar.
Kelima, larangan penyalahgunaan kekuasaan. Tidak boleh ada penyalahgunaan kekuasaan dalam pengaturan gaji atau pemotongan gaji.
Fakta sejarah keemasan Islam ini telah menjadi bukti, bahwa masyarakat yang ideal tanpa korupsi dan penyimpangan benar-benar bisa dicegah dan masyarakat dapat hidup dalam level kesejahteraan yang tinggi ketika Islam diterapkan dalam naungan Khilafah Islamiyah. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Marissa Oktavioni, S.Tr.Bns.
Aktivis Muslimah
0 Komentar