Traumatis Jemaah Haji di Sistem Kapitalis!


MutiaraUmat.com -- Bulan Dzulhijah adalah bulan yang dinanti-nanti kehadirannya oleh sebagian orang. Mengapa? Karena di bulan itulah sebagian masyarakat Indonesia berangkat ke tanah suci Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Di mana banyak masyarakat khususnya di Indonesia telah menunggu giliran keberangkatan ke tanah suci. Ditambah lagi upaya keras yang dilakukan masyarakat baik dari tenaga maupun harta untuk bisa menjadi tamu Allah di Makkah. Banyak dari mereka yang telah menabung untuk bisa membayar tiket keberangkatan yang tentu tidaklah murah, uang saku saat di sana, mempersiapkan perlengkapan kebutuhan haji, dan mempersiapkan kesiapan diri baik dari segi ilmu, tata cara dan kelayakan untuk bisa melakukan ibadah haji dengan sempurna di mata Allah. Ikhtiar ini totalitas dilakukan banyak dari rakyat Indonesia dalam kurun waktu yang cukup lama, lima tahun bakan lebih. Dan apabila waktu dan giliran telah tiba, hal ini sangat dinanti begitu antusias bagi siapapun yang telah menunggu giliran antri keberangkatan yang cukup lama.

Namun, penantian itu harus berbuah menjadi kekecewaan mendalam yang dialami salah seorang calon jemaah haji asal Bandung, Jawa Barat, Heri Risdyanto. Heri, calon jemaah haji bahkan telah tiba di Kota Jeddah, lalu ditolak masuk untuk melaksanakan ibadah karena dianggap ada yang membatalkan visanya dari pihak yang tidak diketahui. Heri yang telah mempersiapkan dokumen dengan lengkap dan rapi merasa tidak membatalkan visanya atau tidak menentukan tenggat waktu visa keberangkatannya. Petugas penyeleksian dokumen memberikan waktu satu jam untuk Heri mengurus visa yang bermasalah, namun Heri hanya bingung karena semua dokumen dan keberangkatan telah diurus oleh kemenag. Dan ketika istrinya mengecek aplikasi sistem Hajiku dari kemenag, pengisian identitasnya raib dan kosong. Heripun yang telah memboyong istri dan kedua orang tuanya yang lansia tidak bisa bersikap apa-apa. Dan demi keamanan, pihak Arab Saudi tidak mengizinkan Heri dan keluarga untuk melanjutka ibadah haji dan terpaksa memulangkannya ke tanah air. Dengan masih berpakaian ihram, Heri tidak mampu berupaya lebih, hanya dibekali tiket pesawat pulang ke tanah air membawa istri dan kedua orang tuanya. Mengalami kejadian itu semua, Heri menuntut beberapa poin diantaranya jaminan keberangkatan di tahun berikutnya juga mendapatkan rehabilitasi akibat dampak traumatis dan psikis yang dialaminya.

Peristiwa yang dialami Heri adalah peristiwa yang bisa jadi terjadi kesekian kalinya. Harusnya pihak pemerintah memahami ini bukan perosalan yang main-main. Ini menyangkut ibadah dengan risiko yang cukup besar karena menyangkut kedua belah pihak negara. Namun apa? jaminan demikian ibarat angan di sistem demokasi yang berasas kapitalis. Di mana negara hanya berfungsi seperti regulator hanya pembuat kebijakan lalu mudah lepas tangan apabila ada hal-hal yang menimpa rakyatnya. Bahkan menjadikan haji sebagai sektor meraup keuntungan dilihat dari penawaran harga lebih mahal untuk haji plus yang mana akan dapat previellege haji yang lebih mewah dan jaminan yang lebih dari haji yang biasanya. Dan apabila terjadi kesulitan yang menimpa masyarakat tidak jarang berakhir tanpa solusi dan jaminan yang seharusnya diberikan. Inilah sistem negeri berasas kapitalis, yaitu abai dan berorientasi keuntungan semata.

Sebenarnya akan berbeda dengan bagaimana sistem Islam yakni khilafah jika diterapkan di suatu negeri. Asas yang dipakai adalah ri’ayah su’unil ummah, yaitu mengurusi kebutuhan rakyatnya. Hanya sistem yang berlandaskan islamlah yang mampu memahami urjensi ibadah, maka akan diupayakan sebenar-benarnya dalam pemenuhan umat terhadap kebutuhan ibadah haji itu. Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Ainun Syaifia
(Aktivis Surabaya)

0 Komentar