Menyelenggarakan Ibadah Haji Tanpa Karut-Marut
TintaSiyasi.id -- Carut marut penyelenggaraan ibadah haji selalu berulang setiap tahun, tak terkecuali tahun ini. Menurut Ketua Timwas Haji DPR sekaligus Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad Syamsurijal, beberapa persoalan mendasar yang masih dihadapi oleh jemaah haji Indonesia adalah tenda jemaah haji Indonesia di Mina yang overkapasitas atau kelebihan daya tampung dan layanan konsumsi belum sesuai dengan standar yang ditetapkan. Menu makanan dan gramasinya tidak sesuai.
Layanan transportasi dan kesehatan, terutama bagi jemaah lansia, juga belum memenuhi standar pelayanan minimal. Temuan lain yang mencuat dalam rapat DPR adalah keterlambatan penerbitan dan pendistribusian kartu nusuk, yang menjadi syarat masuk ke Masjidil Haram. Akibatnya, banyak jemaah yang kehilangan kesempatan beribadah di masjid suci tersebut.
Anggota Tim Pengawas Haji DPR Adies Kadir juga mengungkapkan ada beberapa persoalan yaitu jemaah haji yang diusir dari tempat istirahat pada malam hari, jemaah yang tertinggal dikumpulkan rombongan, hingga keterlambatan distribusi konsumsi. Adies juga mengkritik distribusi petugas haji yang tidak merata. Ia mengatakan petugas haji justru tidak ada di beberapa titik yang padat jamaah.
Semua temuan tim pengawas ini akan menjadi bahan evaluasi dan masukan utama untuk revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Kapitalisasi Ibadah Haji
Revisi Undang-Undang tentu tidak akan menyelesaikan masalah carut-marut penyelenggaraan haji, karena segala permasalahan sebenarnya berakar dari kapitalsasi haji. Kuatnya aroma bisnis dalam penyelenggaraan haji tidak dapat dipungkiri. Hal itu sesuai dengan visi Putra Mahkota Muhammad bin Salman (MBS) 2030, yaitu meningkatkan pemasukan negara dari sektor nonminyak.
Pemerintah Arab Saudi berusaha menggenjot sektor pariwisata, termasuk haji dan umrah. Hal ini berpengaruh pada pengelolaan haji di Arab Saudi yang tidak lagi dilakukan oleh pemerintah, tetapi oleh swasta sehingga berdampak pada praktik komersialisasi haji dan umrah dengan orientasi keuntungan materiil semata. Dampaknya, peran muassasah (BUMN) dalam proses Armuzna digantikan oleh syarikah (perusahaan) tunggal pada 2023 dan diganti lagi dengan multi syarikah pada tahun ini.
Kapitalisasi ibadah haji menyebabkan penghematan pengeluaran untuk penyelenggaraan haji ini. Untuk menghasilkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya tidak heran bila biaya untuk pemondokan, konsumsi, transportasi maupun pengadaan petugas haji ditekan sebesar-besarnya. Akibatnya pelayanan yang diberikan jauh dari standard.
Kapitalisasi ibadah haji dianggap lumrah dalam sistem kapitalisme saat ini. Apapun akan diarahkan untuk mencapai nilai materi (qimah madiyah). Ibadah mahdhah (ritual) seperti haji seharusnya ditujukan untuk meraih nilai ibadah (qimah ruhiyah), tidak boleh ditujukan untuk meraih materi. Melayani rakyat dalam urusan ibadah seharusnya merupakan tugas negara sebagai pengurus rakyat (raa’in), bukan dikapitalisasi.
Kapitalisasi pengelolaan dana haji oleh badan diluar kementrian yaitu oleh oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menunjukkan bahwa negara makin lepas tangan dalam urusan haji. Kapitalisme mengubah fungsi negara yang seharusnya mengurus kebutuhan rakyat menjadi berbisnis dengan rakyatnya. Rakyat hanya dipandang sebagai konsumen, bukan sebagai pihak yang harus diurus sebaik mungkin. Negara hanya sebagai regulator, sedangkan pelaksana sebenarnya adalah swasta, yaitu perusahaan yang mendapatkan tender (kontrak kerja) dari pemerintah. Karena diselenggarakan oleh swasta, aroma bisnis terasa sangat kental dalam ibadah haji.
Pengelolaan Ibadah Haji dalam Negara Islam
Ibadah haji sejatinya fardhu bagi setiap Muslim yang mampu atau istitha’ah. Syariah Islam telah menetapkan Imam/Khalifah untuk mengurus pelaksanaan haji dan keperluan para jamaah haji. Sebabnya, Imam/Khalifah adalah ra’in (pengurus rakyat). Sabda Nabi saw.:
"Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus" (HR al-Bukhari).
Sejarah telah mencatat betapa besar perhatian dan pelayanan yang diberikan para khalifah kepada jamaah haji dari berbagai negara. Mereka dilayani sebaik-baiknya sebagai tamu-tamu Allah. Pelayanan itu dilakukan tanpa ada unsur kapitalisasi, bisnis, investasi atau mengambil keuntungan dari pelaksanaan ibadah haji. Semua adalah kewajiban yang harus dijalankan negara.
Ada beberapa langkah yang diambil oleh negara Islam dalam melayani para jamaah haji.
Pertama: Khalifah akan menunjuk pejabat khusus untuk memimpin dan mengelola pelaksanaan haji dengan sebaik-baiknya. Mereka dipilih dari orang-orang yang bertakwa dan cakap dalam urusan haji. Rasulullah saw. pernah menunjuk ‘Utab bin Asad, serta Abu Bakar ash-Shiddiq ra., untuk mengurus dan memimpin jamaah haji. Rasulullah saw. juga pernah memimpin secara langsung pelaksanaan ibadah haji pada saat Haji Wada’.
Pada masa kepemimpinan Umar ra., pelaksanaan ibadah haji pernah diserahkan kepada Abdurrahman bin Auf ra. Ibadah haji juga pernah dipimpin oleh Khalifah Umar ra. Sendiri hingga masa akhir Kekhilafahannya. Pada masa Khalifah Utsman ra., pelaksanaan haji pernah dipimpin oleh Abdurrahman bin Auf ra juga.
Kedua: Jika negara harus menetapkan ONH (ongkos naik haji), maka nilainya tentu disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jamaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah-Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari Tanah Suci. Dalam penentuan ONH ini, paradigma negara Islam adalah ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jamaah haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis kapitalistik, untung dan rugi.
Ketiga: Khalifah berhak mengatur kuota haji dan umrah. Dengan adanya keterbatasan tempat, maka khalifah akan mengatur kuota haj dengan memperhatikan: (1) Kewajiban haji hanya berlaku sekali seumur hidup; (2) Kewajiban haji hanya berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Bagi calon jamaah yang belum pernah haji dan sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, maka mereka akan diprioritaskan. Dengan demikian antrian panjang haji akan bisa dipangkas karena hanya yang benar-benar mampu yang diutamakan.
Keempat: Khalifah akan menghapus visa haji dan umrah. Karena di dalam sistem Khilafah, kaum Muslim hakikatnya berada dalam satu kesatuan wilayah. Tidak tersekat-sekat oleh batas negara, sebagaimana saat ini. Seluruh jamaah haji yang berasal dari negara Islam berbagai penjuru Dunia Islam bisa bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan bukti kartu identitas, bisa KTP atau Paspor. Visa hanya berlaku untuk kaum Muslim yang menjadi warga negara kafir, baik kafir harbi hukm[an] maupun fi’l[an].
Kelima: Khalifah akan membangun dan menyediakan berbagai sarana dan prasarana untuk kelancaran, ketertiban, keamanan dan kenyamanan para jamaah haji. Dengan demikian faktor-faktor teknis yang dapat mengganggu apalagi menghalangi pelaksanaan ibadah haji dapat disingkirkan sehingga istitha’ah amaniyah dapat tercapai.
Pada masa Khilafah Utsmaniyah, Sultan ‘Abdul Hamid II telah membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji yang dikenal sebagai Hijaz railway. Jauh sebelum Khilafah Utsmaniyah, Khalifah ‘Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid, juga membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah), termasuk membangun saluran air yang menjamin jamaah haji tidak kekurangan air sepanjang perjalanan. Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum, yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal.
Semua aktivitas negara Islam dalam pengurusan haji itu dilakukan dengan prinsip ri’ayah (pelayanan), bukan bersifat komersil atau mengambil keuntungan dari jamaah. Sumber pendanaan dari baitulmal dan negara mempersilakan warga yang kaya untuk memberikan wakaf dan sedekah untuk fasilitas haji. Berbeda dengan hari ini yang hanya mengedepankana keuntungan sehingga menimbulkan carut marut yang tak berkesudahan.
Demikanlah negara Islam mengatur penyelenggaraan haji sesuai syariah akan menghasilkan ibadah yang nyaman tanpa carut-marut. Wallahua’lam bishowab.
Oleh: Kamilah Azizah
Aktivis Muslimah
0 Komentar