Menembus Sekat Nasionalisme: Kunci Pembebasan Palestina
MutiaraUmat.com -- Beberapa waktu terakhir, dunia kembali dikejutkan oleh semangat luar biasa umat Islam dan masyarakat dunia dalam aksi Global March to Gaza. Ribuan aktivis dari lebih dari 50 negara bergerak menuju perbatasan Rafah untuk menyuarakan dukungan dan mengirim bantuan bagi rakyat Palestina yang telah lama terjajah. Namun alih-alih disambut sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan, mereka justru ditolak, dideportasi, bahkan diadang oleh negara-negara tetangga Palestina sendiri. Ini adalah potret nyata bahwa sekatan nasionalisme dan sistem negara-bangsa menjadi penghalang utama perjuangan umat untuk membela saudaranya sendiri.
Gerakan Global March to Gaza diikuti ribuan relawan dari berbagai negara. Namun, banyak dari mereka ditolak masuk oleh Mesir, dengan alasan keamanan dan izin diplomatik. Al Jazeera (10 Juni 2025) melaporkan bahwa aksi damai ini justru dianggap sebagai ancaman oleh beberapa pemerintahan, bukan sebagai gerakan solidaritas global. Sementara itu, Kompas TV (12 Juni 2025) menyebutkan bahwa puluhan aktivis asal Indonesia dan negara lain dideportasi oleh otoritas Mesir, bahkan sebelum sempat mendekat ke perbatasan Rafah. Penolakan ini memperjelas posisi negara-negara muslim saat ini yang lebih memilih menjaga batas negara ketimbang menyambut panggilan persaudaraan sesama muslim.
Lebih lanjut, Reuters (13 Juni 2025) memberitakan bahwa beberapa negara seperti Mesir dan Libya melakukan pengamanan ketat serta deportasi terhadap peserta aksi yang melewati jalur darat, laut, maupun udara. Dengan alasan menjaga stabilitas, mereka justru menghambat bantuan untuk korban penjajahan. Tindakan ini memperlihatkan bagaimana sekat negara-bangsa telah mematikan rasa empati global atas nama “kedaulatan”.
Gerakan besar ini seharusnya menjadi momen penting untuk menggalang dukungan dunia terhadap Palestina. Namun apa daya, ketika sekat negara lebih dijaga ketimbang nyawa dan darah saudara sendiri, maka tak ada yang bisa dilakukan selain menyaksikan penghalangan itu dengan kecewa. Nasionalisme yang semula diusung untuk membebaskan diri dari penjajahan, kini malah menjadi tembok yang membatasi ukhuwah Islamiyah dan kerja sama global demi keadilan.
Padahal, umat Islam adalah satu tubuh, tetapi karena sekat negara-bangsa, hubungan itu dipisah-pisah. Akhirnya, urusan kemanusiaan pun diproses lewat jalur birokrasi negara, harus menunggu izin dari pemerintah yang sering kali tunduk pada tekanan negara besar. Ini membuat upaya umat menjadi terbatas, lambat, bahkan gagal total.
Akar dari semua ini adalah diterapkannya sistem dunia saat ini kapitalisme sekuler yang menempatkan negara sebagai entitas tertinggi dan kedaulatan sebagai sesuatu yang tidak boleh diganggu, meski untuk menolong nyawa manusia sekalipun. Maka solidaritas akhirnya kalah oleh kepentingan politik luar negeri, perjanjian diplomatik, dan keinginan untuk tetap berada dalam lingkaran negara-negara adidaya.
Yang lebih menyedihkan, banyak penguasa negeri muslim justru menjadi penjaga pintu bagi musuh-musuh Islam. Mereka lebih takut pada tekanan dari Amerika dan sekutunya, daripada murka Allah atas pengkhianatan terhadap saudaranya sendiri. Tidak jarang mereka justru memblokir bantuan dan mencegah perjuangan, dengan alasan demi stabilitas nasional.
Umat juga masih banyak yang belum sadar bahwa sistem negara-bangsa hari ini adalah warisan kolonial, yang sengaja dibuat untuk memecah belah kekuatan umat Islam. Dulu umat Islam bersatu dalam naungan satu negara dan satu pemimpin. Kini mereka terpecah menjadi lebih dari 50 negara, yang masing-masing sibuk dengan urusan sendiri-sendiri, bahkan saling curiga.
Semua persoalan ini tidak lepas dari sistem kapitalisme yang menjadi akar rusaknya tatanan umat hari ini. Sistem ini mengajarkan kepentingan materi, keuntungan ekonomi, dan kekuasaan politik sebagai prioritas. Maka jangan heran jika yang dibela adalah kepentingan asing, bukan saudara sendiri. Kapitalisme-lah yang melahirkan penguasa lemah, umat yang bingung, dan Palestina yang terus menderita.
Islam tidak mengenal batas nasionalisme dalam persaudaraan sesama muslim. Islam menjadikan seluruh kaum muslimin sebagai satu umat, dengan satu pemimpin dan satu hukum. Rasulullah saw. bersabda: “Perumpamaan kaum muslimin dalam cinta, kasih sayang, dan kelembutan mereka bagaikan satu tubuh. Jika satu bagian sakit, seluruh tubuh ikut merasakannya.” (h.r. Bukhari dan Muslim).
Dalam sistem Islam, wilayah bukanlah batas pemisah, melainkan wilayah kekuasaan yang disatukan oleh akidah. Tidak ada paspor untuk menolong saudara, tidak ada izin diplomatik untuk mengirim bantuan, tidak ada blokade terhadap kebaikan. Pemimpin umat bertanggung jawab langsung menjaga seluruh negeri Islam, termasuk membebaskan negeri yang dijajah.
Islam juga mewajibkan setiap penguasa untuk menolong kaum muslim yang dizalimi. Bukan hanya mengirim doa atau bantuan, tapi dengan kekuatan militer jika dibutuhkan. Karena dalam Islam, melindungi darah kaum muslimin adalah kewajiban utama negara.
Sejarah mencatat bagaimana Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjaga Palestina dengan adil dan penuh tanggung jawab. Ia mengangkat para pemimpin lokal yang amanah, memastikan keamanan dan kesejahteraan rakyat, serta menjamin keadilan hukum bagi semua penduduk, termasuk non-Muslim. Di masanya, Palestina menjadi wilayah yang stabil, dihormati, dan makmur, karena dipimpin dengan ketakwaan, bukan kekuasaan duniawi. Umar bin Abdul Aziz juga tidak segan menolak pajak tambahan dari wilayah tersebut jika dirasa memberatkan, menunjukkan bahwa dalam Islam, penguasa sejati adalah pelayan rakyat, bukan penghisapnya.
Dengan sistem Islam, umat dididik dalam akidah yang benar, dibangun kesadaran politik global, dan diarahkan untuk menjadikan Islam sebagai solusi dalam segala aspek kehidupan. Maka perjuangan seperti Global March to Gaza tidak akan lagi dihambat oleh izin negara, tapi akan dipimpin langsung oleh negara yang memang punya misi menyatukan dan membela umat.
Untuk menghapus hambatan nasionalisme dan menyatukan kembali kekuatan umat, Islam memberikan solusi menyeluruh melalui sistem Islam. Sistem ini bukan sekadar nostalgia sejarah, tetapi tuntunan syariat untuk mengatur umat secara global dengan kepemimpinan tunggal.
Sistem Islam akan menjadi pelindung umat Islam, penjaga kehormatan, dan penggerak kekuatan militer serta diplomasi untuk membebaskan wilayah-wilayah yang dijajah. Tidak ada lagi sekat-sekat negara yang membatasi bantuan, tidak ada lagi pemimpin yang tunduk pada Barat, karena kedaulatan sepenuhnya berada di tangan syariat.
Dengan sistem Islam, umat dididik dalam akidah yang benar, dibangun kesadaran politik global, dan diarahkan untuk menjadikan Islam sebagai solusi dalam segala aspek kehidupan. Maka perjuangan seperti Global March to Gaza tidak akan lagi dihambat oleh izin negara, tapi akan dipimpin langsung oleh negara yang memang punya misi menyatukan dan membela umat.
Apa yang terjadi dalam Global March to Gaza adalah bukti bahwa paham nasionalisme dan sistem negara-bangsa menjadi penghalang utama perjuangan umat. Para aktivis dibungkam, bantuan dicegat, dan perjuangan umat dikerdilkan hanya karena tidak sesuai jalur negara. Ini bukan sekadar kegagalan logistik, tetapi krisis sistemik yang perlu ditumbangkan.
Umat Islam tidak boleh terus berharap pada lembaga internasional atau pemimpin boneka. Sudah saatnya umat bangkit dan mengarahkan perjuangannya secara politik, dengan tujuan menghapus sekat negara bangsa dan mengembalikan kepemimpinan Islam secara global. Sistem Islam adalah solusi sejati yang akan menyatukan kekuatan umat dan membebaskan Palestina, bukan hanya dengan slogan, tetapi dengan tindakan nyata yang diridai oleh Allah Swt.
Wallahualam bissawab
Oleh: Muzaidah
Aktivis Muslimah
0 Komentar