Matinya Nurani Dunia: Saatnya Umat Bangkit
MutiaraUmat.com -- Genosida terhadap rakyat Palestina belum berakhir. Hingga hari ini, penjajah Zionis terus melancarkan serangan tanpa henti. Bahkan bayi-bayi yang belum sempat mengucap kata pertama menjadi korban kekejaman yang tak berperikemanusiaan. Dalam pandangan Zionis, kesalahan mereka hanya satu: mereka adalah bayi Muslim, bagian dari generasi Palestina.
Israel terus melancarkan serangan di Jalur Gaza. Badan pertahanan sipil Gaza mengatakan pada hari Rabu (21/5), bahwa serangan Israel semalam menewaskan sedikitnya 19 orang, termasuk seorang bayi yang baru berusia seminggu. (news.detik.com, 21/05/2025)
Yang lebih tragis, kelaparan kini dijadikan senjata. Pemblokiran bantuan makanan, air bersih, dan obat-obatan sengaja dilakukan untuk membunuh secara perlahan. Serangan terus berlangsung, bahkan saat umat Islam merayakan Hari Raya Iduladha beberapa hari lalu.
Setidaknya 78 warga Palestina tewas dan banyak lainnya terluka di Jalur Gaza, Sabtu (7/6/2025) pagi, ketika serangan udara dan tembakan Israel menargetkan beberapa wilayah yang masih dalam suasana perayaan Idul Adha. (Kompas.id, 09/06/2025)
Namun dunia memilih bungkam. Negara-negara besar diam, dan lebih menyakitkan lagi, para pemimpin negeri-negeri Muslim hanya sibuk dengan pernyataan politik tanpa langkah nyata. Tak ada pasukan yang dikirim. Tak ada pembelaan bersenjata yang diberikan. Padahal, rasa kemanusiaan seharusnya menjadi panggilan nurani, terlebih saat yang menjadi korban adalah anak-anak tak berdosa.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kita sedang hidup dalam sistem global yang sudah kehilangan nuraninya. Kapitalisme telah menjadikan materi dan kepentingan politik sebagai tolak ukur semua keputusan. Tak ada tempat bagi empati tulus atau solidaritas sejati dalam sistem ini, kecuali jika ada keuntungan di baliknya.
Begitu pula nasionalisme—warisan pemikiran kolonial yang memecah belah umat Islam. Ia menjadikan setiap negeri Muslim berdiri sendiri, seolah-olah tidak bertanggung jawab terhadap saudara seiman di negeri lain. Maka tak heran, meski umat di Palestina disiksa dan dibantai, penguasa Muslim di negeri lain merasa tak punya kewajiban untuk bertindak. Padahal umat Islam adalah satu tubuh.
Palestina tidak akan bebas dengan kecaman semata. Tidak akan terbebas oleh konferensi atau bantuan kemanusiaan jangka pendek. Sejarah membuktikan bahwa penjajahan hanya dapat diakhiri dengan kekuatan politik dan militer. Dan dalam Islam, kekuatan itu hanya bisa dibangun dalam kerangka negara—negara yang menjadikan syariat sebagai dasar hukum dan jihad sebagai bagian dari kebijakan luar negerinya.
Itulah khilafah, sistem pemerintahan Islam yang pernah mempersatukan kaum Muslim dan menjadi pelindung bagi seluruh umat. Dalam sistem inilah jihad bukan sekadar semangat, melainkan kebijakan negara untuk membela kehormatan Islam dan umatnya.
Sudah saatnya umat menyadari, bahwa membebaskan Palestina adalah tanggung jawab kolektif yang membutuhkan solusi sistemik. Dan itu tidak akan terwujud selama kita masih berada di bawah naungan sistem kapitalisme-sekular yang telah membuktikan kegagalannya dalam membela kemanusiaan.
Maka, umat Islam perlu menjawab seruan para pengemban dakwah yang menyerukan tegaknya khilafah. Bukan dengan kekerasan, tapi melalui dakwah yang konsisten dan pembinaan umat secara intelektual dan ideologis. Hanya dengan itulah jalan menuju kemuliaan bisa terbuka lebar.
Kini, saatnya umat bangkit. Bukan hanya menangis untuk Palestina, tapi bergerak untuk mewujudkan kekuatan politik Islam yang akan benar-benar membebaskan tanah suci itu dari cengkeraman penjajah. Sebab, kemenangan tidak akan datang hanya dengan harapan. Ia datang ketika kita bergerak menjemput pertolongan dari Allah, nashrullah. Wallahu a'lam. []
Lia Julianti
(Aktivis Muslimah Tamansari)
0 Komentar