Karut Marut Pelaksanaan Haji, di Mana Peran Negara?


MutiaraUmat.com -- Haji adalah ibadah sakral yang merupakan rukun Islam kelima, menunaikan ibadah haji sangat dirindukan oleh setiap Muslim yang beriman. Namun untuk bisa menunaikannya banyak sekali rintangan yang dijumpai oleh kaum Muslim di negeri ini. Di antaranya antrian yang panjang selama puluhan tahun bahkan hampir 30 tahun menunggu untuk bisa menunaikannya. 

Memang ibadah haji adalah ibadah panggilan dari Allah SWT, namun ada persyaratan yang harus dipenuhi yaitu sesuai kemampuan. Makna kemampuan meliputi kemampuan secara fisik, mampu dalam perjalanan (tidak ada hambatan dalam perjalannya) dan mampu secara finansial.

Tahun 2025 ini, banyak dijumpai karut marutnya pelaksanaan ibadah haji, mulai dari visa haji, kartu nusuk, menyebabkan banyak calon jamaah yang batal berangkat bahkan sudah sampai di Bandara King Abdul Aziz Jeddah terpaksa dipulangkan karena visa hajinya tidak ada. Sebagaimana yang dialami oleh jamaah haji reguler asal Bandung. (republika.co.id, 2 Juni 2025)

Tak kalah mengenaskan dari hasil temuan timwas haji DPR banyak sekali ditemukan layaanan yang buruk seperti, ketersediaan pemondokan, keterlambatan pemberian kartu nusuk, persiapan armuzna, tranportasi, konsumsi, dan kesehatan. (Tempo.co, 3 Juni 2025)

Semua ini menjadikan ketidak nyamanan bagi para jamaah menyebabkan ketidakkhusyu'an dalam menunaikan ibadah. Karut marut pelaksanan ibadah haji tahun ini menunjukkan bahwa pengurusan ibadah haji tidak diurusi secara maksimal oleh negara. Hal ini menunjukkan lemahnya perencanaan koordinasi dan eksekusi dari pihak-piihak yang bertanggung jawab baik negara pelaksana yaitu arab saudi dan negara asal jemaah. Dalam konteks ini negara sebagai pihak yang seharusnya menjamin kelancaran ibadah umat justru terlihat abai dan tidak sigap menghadapi persoalan teknis. 

Sebagian pihak menuding kebijakan baru yang diterapkan oleh Arab Saudi, sebagai penyebab utama kekacauan, namun jika ditelusuri, akar persoalan sebenarnya tidak hanya pada aspek teknis. Justru yang paling mendasar adalah paradigma pengurusan haji di negeri ini.

Ketika pengelolaan haji lebih mengedepankan aspek bisnis profit dan birokrasi yang berbelit, pelayanan yang semestinya menjadi amanah justru menjadi beban. Dengan kompleksnya pengurusan haji, kewajiban haji bukan hanya sekedar ibadah individual namun merupakan urusan publik yang memerlukan pengaturan dari negara. 

Dalam Islam negara berposisi sebagai raain (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung) maka seharusnya pengaturan haji dilakukan dengan profesional, amanah dan memudahkan umat dalam menjalankan ibadah, negara harus hadir dalam mengurusi keperluan jamaah, mulai dari admisintrasi, transportasi akomodasi, kesehatan hingga memastikan ketenangan spiritual jamaah selama menjalankan ibadah.

Penyelenggaraan haji yang dikelola dengan paradigma pelayanan bukan komereialisasi adalah bentuk nyata tanggung jawab negara dalam sistem Islam.

Layanan paripuran ini hanya bisa dilaksnakan jika negara memiliki sistem keuangan yang kuat dan stabil. Negara Islam memiliki pendapatan yang tetap, berupa fai, kharaj, jizyah, zakat, sumber daya alam. Kekuatan ini semakin besar karena kekuatan umat Islam disatukan dalam satu kepemimpinan khilafah, dengan demikian negara memiliki kemampuan maksimal dalam penyenggaraan haji dengan layanan terbaik tanpa membebani rakyat. Wallahu a'lam bishshawab. []


Dewi Asiya
(Aktivis Muslimah)

0 Komentar