Garis Kemiskinan: Angka Ilusi, Rakyat Frustasi?
Mutiaraumat.com -- Bicara biaya hidup hari ini, masihkah kita percaya bahwa dengan Rp.600.000 per bulan kita bisa dikatakan hidup dalam kesejahteraan? Jika mengacu pada kebijakan, maka kita sudah bisa dikatakan sejahtera.
Hal ini dipertegas oleh ketetapan Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2023 yang mengatakan bahwa garis kemiskinan Indonesia ada di angka Rp.580.423 per kapita/bulan. Maka, siapapun yang pengeluarannya berada di atas angka tersebut layak untuk disebut sebagai warga yang sejahtera.
Tentunya menjadi pertanyaan, ditengah lonjakan harga barang, lesunya ekonomi, naiknya tarif listrik dan biaya kesehatan yang mencekik, apakah nominal ini realistis atau jangan-jangan hanya menjadi ilusi semu untuk menutup mata kita dari realita?
Faktanya, garis kemiskinan merupakan sebuah gambaran sistem kehidupan yang rapuh. Ia diukur lewat jumlah pemenuhan 2.100 kilokalori per hari ditambah dengan kebutuhan dasar non-makanan yang sangat minim. Rp.600.000 rasanya boleh untuk kita anggap sebagai kegagalan pemerintah untuk bisa melihat fakta dan realitas pahit kehidupan yang dialami oleh masyarakat.
Sebagai contoh, Survey Biaya Hidup (SBH) 2022 dari BPS menunjukkan jika biaya hidup di daerah yang tidak terlalu padat seperti Tegal saja biaya hidupnya bisa mencapai Rp. 7,96 juta per bulan untuk tiap keluarga.
Belum jika kita bicara kota besar seperti Jakarta yang kebutuhannya bisa mencapai Rp 14,88 juta per bulan untuk tiap keluarga. Kesenjangan antara garis kemiskinan yang ditetapkan dengan fakta biaya untuk hidup layak ini secara jelas menunjukkan kepada kita bahwa garis kemiskinan ini hanya sekedar alat legitimasi.
Menjadi sebuah pembenaran bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah sudah berada pada jalur yang benar dengan segala kemajuannya. Namun faktanya, jutaan rakyat masih dipaksa berjuang sendiri.
Ironi Kemiskinan, Buah Pahit Kapitalisme
Tidak bisa ditutupi bahwa fakta kemiskinan hari ini adalah buah dari ditanamkannya sistem kapitalisme sebagai landasan negara. Kapitalisme pada dasarnya menyerahkan kesejahteraan kepada rakyatnya sendiri, melepas tanggungjawab mereka sebagai penjamin kesejahteraan.
Konsep pasar bebas menjadikan rakyat hidup di tengah mekanisme ekonomi yang tidak kenal belas kasihan. Kebutuhan harian didasarkan pada tarik-menarik penawaran – permintaan. Ia menjadi “komoditas: yang dikendalikan oleh mereka para pemilik modal. Ini juga yang melanggengkan adanya kesenjangan.
Para pemodal besar terus mengembangkan bisnisnya dan mengambil keuntungan maksimal, rakyat kecil terpaksa menerima upah seadanya, tidak sebanding dengan biaya hidup yang kian hari semakin mencekik. Negara tidak punya kuasa untuk meng-intervensi, bahkan tidak jarang tunduk pada oligarki.
Islam Tawarkan Solusi Hakiki
Sebagai salah satu negeri dengan jumlah penduduk Muslim terbanyak, penting untuk kita kembali mengkaji bagaimana Islam memandang permasalahan ini. Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang kemiskinan tidak dari angka semata.
Melainkan pada standar terpenuhinya kebutuhan dasar setiap individu seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan juga keamanan. Islam mengembalikan konsep kesejahteraan pada fitrah dasar manusia.
Bahkan tidak hanya tercukupi, Islam memastikan bahwa terpenuhinya segala hal ini berada pada tingkatan ma’ruf, dengan kualitas dan pelayanan yang terbaik.
Ketika Islam diterapkan sebagai landasan pemerintahan, maka negara wajib untuk menjadi “peri’ayah” bagi rakyatnya. Mekanisme yang efektif terus diupayakan untuk memastikan bahwa kesejahteraan dirasakan oleh seluruh individu yang dinaungi pemerintahan Islam.
Khalifah sebagai pemangku kebijakan memiliki kewajiban berpatroli, menyisir penduduk dari rumah ke rumah untuk memastikan bahwa tidak ada dari mereka yang hidup di dalam kesengsaraan. Hal ini dicontohkan oleh para Khalifah terdahulu, termasuk salah satunya Umar Bin Khattab.
Bagaimana ketika beliau berpatroli, ia menemukan ada seorang janda yang merebus batu untuk menenangkan anaknya yang lapar. Saat itu juga beliau dengan sendirinya memanggul sekarung gandum untuk memenuhi kebutuhan janda tersebut.
Tindakan ini tentunya tidak dilakukan untuk pencitraan. Melainkan berangkat dari kesadaran. Bahwa setiap kepemimpinan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Sebuah kesadaran yang tumbuh dari Aqidah dan Keimanan.
Sebagai penutup, penulis kembali menyadarkan bahwa garis kemiskinan merupakan cerminan dari sistem kapitalistik yang sedari awal tidak pernah peduli atas kesejahteraan rakyatnya. Garis kemiskinan menjadi ilusi yang mereka bangun untuk menutupi kegagalan mereka.
Karenanya, perlu kita tanyakan pada diri sendiri, sampai kapan kita mau hidup dibawah sistem dan paradigma yang rusak ini? Sedangkan di sisi lain, ada Islam yang dengan keadilannya terbukti untuk menjadi sebuah solusi kemiskinan yang efektif serta mampu menjamin kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Wallahu a’lam bishshowwab.[]
Oleh: Fathan Haidar
(Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak)
0 Komentar