Anak, Barak, dan Tanggung Jawab Pengasuhan


Mutiaraumat.com -- “It takes a village to raise a child”
Belakangan ini, kebijakan Pemprov Jawa Barat tentang pengiriman anak nakal ke barak cukup menjadi sorotan di tengah-tengah masyarakat.

Tidak bisa dipungkiri, di Jawa Barat sendiri tercatat dalam Pusat Data dan Statistik Diskominfo Jabar bahwa di tahun 2022 ada 10.890 kasus kenakalan remaja yang didominasi oleh tawuran antar sekolah, penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas dan tindak kriminal lainnya.

Kebijakan ini mengundang apresiasi dari beragam pihak karena negara “seakan” turun tangan mendidik generasi mudanya.

Sebagai “shock therapy” mungkin hal ini bisa menjadi sentilan untuk para pelaku. Namun, bisakah perbaikan moral dan perilaku dilakukan lewat barak? Pasalnya, jika kita bicara kondisi kenakalan remaja, ada isu yang jauh lebih kompleks.

Dari Keluarga Hingga Negara

Tentunya keluarga sebagai tempat pertama anak tumbuh mempunyai tanggung jawab besar untuk mendidik anak-anak. Tetapi, seberapa banyak anak hari ini yang bisa tumbuh dengan privilege tersebut?

Kesadaran pentingnya pengasuhan masih menjadi momok yang belum terselesaikan. Masih banyak orangtua yang terjebak dalam pola pengasuhan yang tidak ideal, tidak membuka ruang untuk anak berekspresi, tidak membuka ruang untuk anak berdiskusi. Banyak orangtua yang tidak punya visi misi jangka panjang tentang seperti apa anak mereka dididik. Tentu saja hal ini membuat anak-anak menjadi generasi yang mudah terbawa arus negatif.

Lingkungan sosial dan masyarakat yang tidak ramah terhadap anak seakan menambah garam pada luka di tengah kondisi anak-anak kita. Lingkungan tempat tinggal yang memiliki keterbatasan fasilitas publik, banyak diisi oleh paparan negatif seperti kekerasan, obat-obatan atau bahkan premanisme dapat memberikan pengaruh buruk.

Termasuk sosial media dan internet dimana anak-anak dapat dengan mudah berselancar dan terpapar dengan banyak konten negatif tanpa adanya pengawasan baik itu dari orangtua, masyarakat maupun negara.

Terakhir tentunya belum hadirnya negara secara utuh untuk membantu tumbuh kembangnya generasi kita. Kemiskinan masih merajalela di mana-mana, akses pendidikan masih sulit untuk dirasakan semua anak-anak di Indonesia.

Padahal, pertumbuhan generasi perlu ditunjang juga oleh ragam kebijakan berkaitan dengan pendidikan, kesejahteraan dan banyak hal lainnya. Rakyat seakan dipaksa berjuang sendiri untuk mendidik generasi.

Islam Memandang Pengasuhan Anak

Dalam melihat hal ini, sebagai seorang Muslim penulis coba mengajak pembaca untuk melihat alternatif solusi lain. Alih-alih bicara solusi kuratif seperti pengiriman anak ke barak, ada solusi preventif berbasis Islam yang menurut paham penulis menjadi penting untuk kita pikirkan dan usahakan bersama.

Pertama, ketakwaan individu menjadi pondasi terciptanya generasi yang madani. Nilai ketakwaan mencegah generasi kita untuk berbuat kenakalan dan kemaksiatan karena mereka yakin segala hal yang mereka lakukan tidak lepas dari pengawasan dan penilaian Allah SWT. Mengantarkan mereka untuk hidup mengejar ridho Allah SWT, mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya.

Kedua, orangtua sebagai madrasah pertama untuk anak-anaknya. Orangtua memiliki peran besar menanamkan nilai-nilai ketakwaan pada anak-anak semenjak belia. Orangtua berperan besar menjadi contoh teladan untuk anak-anaknya. Perlu diingat bahwa anak bukan makhluk yang perlu makan dan tempat tinggal saja. Mereka juga butuh kasih sayang, butuh bimbingan dan semua itu akan dimintai pertanggungjawaban di akherat kelak.

Ketiga, masyarakat sebagai penjaga generasi kita. Islam mengajarkan kita untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Saat pemahaman ini sudah hidup di tengah masyarakat, maka rasa tanggung jawab menjaga dan mendidik generasi akan menjadi milik bersama. 

Tidak seperti hari ini ketika kita digerus oleh sifat individualisme yang menjauhkan kita dari melihat dan peduli urusan dan masalah di sekitar kita. Termasuk kepada generasi muda kita.

Keempat, negara yang hadir dan berperan aktif menemani proses pendidikan generasi muda. Negara sebagai pemegang kebijakan memiliki tanggung jawab besar dalam proses pendidikan. Mulai dari menyediakan fasilitas lingkungan yang ramah, menjamin akses kesehatan dan kehidupan yang layak, sekolah terbaik untuk mereka belajar, hingga menjaga kondusifitas perkembangan generasi muda kita dari gangguan dan buruknya pengaruh luar. 

Negara berperan aktif menjaga anak-anak sejak mereka di dalam kandungan. Karenanya, pendidikan anak bukanlah tanggung jawab pihak tertentu saja melainkan kolaborasi seluruh pihak. Tapi bisakah itu terjadi di sistem hari ini? 

Sistem kapitalisme yang tidak pernah benar-benar peduli tentang urusan mendidik dan membangun generasi. Kita perlu berpikir lebih jauh. Benarkah yang menjadi masalah adalah sekadar kenakalan remaja, atau gagalnya sistem kehidupan di negeri kita dalam mengurusi pendidikan generasi mudanya? Wallahu a’lam.[]

Oleh: Fathan Haidar
(Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak)

0 Komentar