Pendidikan ala Militer bagi Siswa "Nakal" Bisa Jadi Solusi?


MutiaraUmat.com -- Program pengiriman siswa “nakal” ke barak militer yang diinisiasi oleh Kang Dedi Mulyadi mendapat dukungan sejumlah pihak, termasuk Menteri HAM (Hak Asasi Manusia) dan pengamat pendidikan. Anak-anak yang dikirim adalah mereka yang mengalami masalah perilaku serius seperti kecanduan miras, game online, dan terlibat tawuran atau geng motor, serta hal lain yang sudah tidak bisa ditangani oleh guru dan orangtua karena keterbatasan mereka. Para siswa yang didatangkan ke barak militer mendapat pendidikan seputar bela negara, wawasan kebangsaan, pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K), kedisiplinan, anti-narkoba, pendidikan keagamaan, dan lain-lain. (Kompas.com, 25/04/2025)

Langkah ini dipandang sebagai intervensi yang tepat sasaran, terutama bagi mereka yang tidak tertangani oleh sistem pendidikan formal maupun keluarga. Namun, pendekatan ini lebih bersifat simptomatik—menangani gejala tanpa menyentuh akar masalah. Masalah perilaku menyimpang dalam remaja sering kali merupakan akibat dari lingkungan yang kehilangan nilai-nilai spiritual dan integritas moral, akibat dominasi sistem sekuler yang diterapkan dengan memisahkan agama dari kehidupan. Dalam konteks ini, barak militer hanya memperkuat kedisiplinan fisik, namun tidak menjawab kebutuhan mendalam remaja yaitu pembentukan kepribadian, pemaknaan hidup, dan spiritualitas.

Program siswa nakal dikirim ke barak militer yang diinisiasi oleh Gubernur Jawa Barat KDM berpotensi menjadi program nasional. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri HAM, Natalius Pigai pada Selasa (6/5/2025). Serta para pengamat pendidikan sekaligus pendiri Ikatan Guru Indonesia (IGI), Satria Dharma, menyambut baik gagasan tersebut. Dia menilai, siswa nakal yang dikirim ke barak militer adalah mereka yang tidak bisa ditangani lagi oleh sekolah maupun orangtuanya dan bisa membuat visi pelajar lebih cerah ke depan.

Beberapa hal mungkin tidak diajarkan di sekolah mereka, apalagi di rumah dan lingkungannya. Bahwa kebijakan tersebut sebagai intervensi tepat sasaran, khususnya bagi mereka yang selama ini tersisih dari sistem pendidikan konvensional. Banyak dari mereka yang dicap ‘nakal’ sebenarnya bukan bermasalah secara moral, melainkan kehilangan ruang untuk merasa berhasil, baik di sekolah maupun di rumah.

Pendidikan reguler sering gagal dalam membangun hal tersebut, terlebih adanya kebijakan “teaching to the test” yang akan dikembalikan oleh Kemendikdasmen saat ini. Kebijakan tersebut yakni di mana keberhasilan siswa diukur semata-mata dari skor, bukan dari kompetensi nyata atau integritas personal.

Jika hanya mengandalkan pendekatan militeristik, maka reformasi karakter remaja hanya bersifat sementara. Tanpa sistem yang menyentuh dimensi ruhiyah dan akhlak, mereka kembali pada perilaku lama saat kembali ke lingkungan asal yang tidak berubah. Lebih jauh, pendidikan berbasis “teaching to the test” yang dihidupkan kembali dalam sistem pendidikan nasional turut menyempitkan makna keberhasilan hanya sebatas skor, bukan karakter dan kontribusi nyata.


Kerusakan Sistemis karena Sistem Sekuler

Dalam Islam, perilaku menyimpang seperti tawuran, kecanduan miras dan kecanduan game adalah akibat dari sistem kehidupan sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam sistem ini, pendidikan kehilangan fungsinya sebagai ghayah (tujuan) pembentukan insan berkepribadian Islam. Maka solusi Islam kaffah tidak cukup hanya merespons akibat (anak nakal), tetapi juga memperbaiki sistem penyebabnya.

Islam mewajibkan pendidikan yang berbasis akidah Islam, bukan sekadar kedisiplinan militer. Rasulullah ï·º telah mendidik para sahabat dari latar belakang beragam dengan membentuk pola pikir dan pola sikap Islam. Barak militer bisa melatih fisik dan disiplin, tetapi tidak menyentuh dimensi ruhiyah dan perubahan pola pikir yang menjadi inti dalam pembentukan kepribadian Islam.


Peran Keluarga dan Masyarakat Diperkuat Melalui Sistem Islam

Orang tua adalah tempat untuk mendidik yang paling utama. Negara bertugas menjamin pendidikan Islam dan mendukung peranan keluarga agar dapat menjalankan perannya secara optimal. Anak perlu dibina dengan pendekatan ruhiyah, akhlak, dan intelektual untuk membangun sense of achievement sesuai Islam kepercayaan diri remaja bukan dari angka-angka skor, melainkan dari seberapa keberhasilan dalam menjalankan perintah Allah, menjadi bermanfaat bagi umat, dan meneladani Nabi dan para sahabat.

Rasulullah ï·º sendiri menugaskan kepada anak-anak muda seperti Usamah bin Zaid (usia 17 tahun) mampu memimpin pasukan, bukan karena nilai akademiknya yang dilihat, tapi karena integritas dan kepribadiannya dalam menjalankan Islam yang kokoh. Mengirim siswa nakal ke barak militer hanyalah solusi parsial. Islam menawarkan solusi menyeluruh secara kaffah dengan cara pendidikan berbasis akidah Islam, keterlibatan penuh orang tua, masyarakat, dan negara. Sistem kehidupan Islam yang menjaga akhlak dan pergaulan anak serta lingkungan yang menanamkan sense of purpose sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi. []


Febri Hasan
(Aktivis Intelektual Muslim)

0 Komentar