Khilafah Mampu Menghentikan Praktik Judol


MutiaraUmat.com -- Dittipidsiber Bareskrim Polri telah berhasil menyita uang sebesar Rp 75 miliar terkait dengan kasus judi online yang melibatkan warga negara asal China. Dari total jumlah tersebut, sebanyak Rp 61 miliar teridentifikasi tersebar di 164 rekening. Berdasarkan keterangan resmi yang dirilis pada Kamis (1/5/2025), Bareskrim menerima Laporan Hasil Analisis dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Laporan tersebut mengungkapkan keberadaan 5. 885 rekening yang terkait dengan praktik judi online. Dari jumlah ini, 164 rekening telah berhasil diblokir oleh PPATK. Selain itu, Dittipidsiber Bareskrim Polri juga mengungkap sebuah kasus judi online yang melibatkan website h55. hiwin. care, dengan keterlibatan empat orang tersangka. Informasi ini dirilis oleh CNBC Indonesia (1/5/2025).

Menurut PPATK, nilai transaksi judi online (judol) di Indonesia terus meningkat dengan angka yang fantastis dari tahun ke tahun. Pada tahun 2024, diperkirakan nilainya akan mencapai Rp900 triliun. Namun, angka ini melonjak drastis menjadi Rp1. 200 triliun tahun ini. Dikutip dari MetroTV (30/04/2025).

Kondisi ini bukanlah sesuatu yang patut dirayakan, melainkan sebuah tragedi yang perlu dikutuk dan disesali. Kita harus mengecam judi online karena dampak merusaknya yang sangat besar terhadap masyarakat. Banyak orang yang mempertaruhkan harta mereka untuk sesuatu yang tidak berarti, bahkan terjerat dalam masalah hukum akibat aktivitas ini.

Data dan kasus terkait judi memang sangat mengkhawatirkan. Namun, dalam sistem kapitalisme, sektor apa pun yang mampu menghasilkan keuntungan, termasuk judi, cenderung diberikan ruang untuk berkembang. Kurangnya pengendalian dari pihak berwenang demi mencapai “kebebasan pasar” justru mendorong praktik judi semakin meluas.

Alih-alih berupaya memberantasnya, pihak penguasa terlihat lebih memilih untuk membiarkan judi tetap ada. Hal ini terlihat jelas dari adanya fasilitas seperti platform digital dan iklan yang masif di dunia maya, sementara celah hukum terkait judi justru terlihat sangat longgar.

Banyak orang yang tertarik menggunakan judol karena perasaan bahagia yang muncul saat berjudi, terutama saat meraih kemenangan. Menurut para ahli keamanan siber, kebahagiaan ini disebabkan oleh pelepasan hormon endorfin dalam tubuh pengguna. Namun, sebenarnya kemenangan tersebut dirancang sedemikian rupa agar para pemain terdorong untuk mengeluarkan uang lebih banyak di platform judol. Begitu uang mulai mengalir deras, peluang pemain untuk kalah semakin besar, dan semua ini telah diatur oleh para operator judol.

Fenomena ini mencerminkan kebutuhan masyarakat kita akan kebahagiaan. Ketidakpastian dan tantangan dalam kehidupan sehari-hari yang sekuler membuat mereka merasa sangat haus akan kebahagiaan. Dalam konteks ini, judol sering kali dipilih sebagai jalan pintas untuk mencapainya.

Mengingat bahwa mayoritas pengguna judol berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, kita tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa hal ini berkaitan erat dengan ketimpangan ekonomi yang terjadi antara si kaya dan si miskin. Para penguasa tampak mengabaikan upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat kelas bawah. Buktinya, inflasi telah melanda bagaikan tsunami, daya beli masyarakat menurun, harga barang-barang kebutuhan pokok meroket, pasar dibanjiri barang impor, dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terus menerpa.

Di sisi lain, penguasa justru tampak bersikap ramah kepada para kapitalis swasta, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Target investasi terus digenjot, namun sayangnya, hal ini tidak berimplikasi positif pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Berbagai kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah cenderung berpihak pada kepentingan korporasi. Salah satu contohnya adalah Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak rakyat merasa terabaikan, tanpa mendapatkan alternatif untuk meraih kebahagiaan. Kehidupan mereka semakin rumit, terutama karena mereka semakin menjauh dari nilai-nilai agama. Alih-alih berpartisipasi dalam pengajian atau majelis talabul ilmi, masyarakat yang terperosok dalam sekularisme malah lebih memilih judol sebagai pelampiasan untuk mencari standar hidup yang bahagia.

Sejatinya, praktik judol merupakan jalan pintas yang tampak menawan, namun sesungguhnya menyimpan banyak bahaya. Bukan hanya sekadar menanti kebahagiaan, judol justru seringkali membawa pada kehidupan yang semakin menderita. Praktik ini terus-menerus menguras harta umat, dan sering kali berkolaborasi dengan fenomena pinjaman online (pinjol). Ketika seseorang kehabisan dana untuk memuaskan hasrat judol, mereka sering kali terpaksa mencari suntikan dana baru, meski harus menggunakan cara-cara yang tidak etis, termasuk melalui pinjol.

Namun, pinjol tidaklah menjadi solusi yang sebenarnya; ia hanya sekadar upaya "gali lubang tutup lubang". Kenyataan ini menunjukkan bahwa judol bukanlah masalah sepele, melainkan sebuah isu yang jelas berbahaya dan memiliki sifat sistemik. Kasus judol mirip dengan lingkaran setan yang sulit diputus. Di tengah era digital yang menjanjikan beragam kemudahan dalam teknologi dan informasi, ternyata sering kali menjadi pisau bermata dua. Teknologi dapat disalahgunakan oleh individu, terutama ketika paradigma hidup serba bebas membuat masyarakat merasa bahwa segala sesuatu adalah boleh.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami seluk-beluk judol dan pinjol, serta keduanya dalam konteks syariat Islam. Masyarakat perlu berpegang teguh pada aturan Islam secara menyeluruh agar hidup mereka lebih terarah. Keterikatan terhadap hukum syarak seharusnya tidak dianggap aneh, mengingat Indonesia adalah salah satu negara Muslim terbesar di dunia.

Sungguh memalukan dan sekaligus memilukan ketika Indonesia, yang merupakan salah satu negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, menjadi "surga" bagi perjudian. Meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, sistem kehidupan yang diterapkan di negara ini adalah sistem sekuler.

Terungkapnya berbagai kasus perjudian mengungkapkan betapa rusaknya sistem sekuler yang ada. Sekularisme, yang menjadi dasar dalam demokrasi kapitalisme, telah menciptakan paradigma hidup yang rusak dan merusak. Selain menjerat masyarakat dalam siklus berbahaya bernama perjudian, sekularisme juga membuktikan dampaknya yang merusak akibat menjauh dari ajaran syariat.

Faktanya, perjudian dengan cepat dapat memicu permusuhan dan kemarahan, bahkan seringkali berujung pada tindakan kriminal, seperti pembunuhan. Hal ini terjadi karena para pelaku perjudian selalu berharap untuk menang. Mereka tidak pernah jera untuk terus berjudi selama masih memiliki uang atau barang yang dapat dipertaruhkan di meja judi.

Ketika mengalami kesulitan finansial atau kehilangan barang, beberapa orang akan berusaha mengambil milik orang lain dengan cara yang tidak sah. Akibatnya, rasa persahabatan dan solidaritas di antara teman-teman pun hilang, digantikan oleh dendam dan sikap licik untuk saling mengalahkan dalam perjudian.

Perjudian juga memberikan dampak sosial dan ekonomi yang merugikan, terutama terhadap stabilitas keluarga. Kasus perceraian yang disebabkan oleh masalah judi mengalami lonjakan signifikan dalam setahun terakhir. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2024 tercatat 2. 889 perceraian akibat judi. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 83,77% dibandingkan tahun 2023. Dilansil CNBC 2 maret 2025. Dengan demikian, bahaya perjudian sudah terbukti membawa dampak negatif sejak dulu hingga kini. Pada titik ini, semestinya kita mengingat kembali pentingnya keterikatan pada syariat sebagai solusi akhir untuk memutus siklus buruk perjudian. Sungguh, tidak ada jalan keluar lain selain kembali kepada sistem Islam.

Hanya dalam Islam terdapat aturan yang jelas dan tegas mengenai judi serta cara untuk menanggulanginya, sehingga tidak perlu khawatir akan muncul individu-individu baru yang terjerumus dalam kemaksiatan tersebut. Islam menegaskan bahwa perjudian, dalam bentuk apa pun, adalah transaksi yang haram. Oleh karena itu, harta yang diperoleh dari perjudian juga dianggap sebagai harta yang haram untuk dimiliki.

Apabila ada yang berpendapat bahwa judi merupakan jalan untuk meraih kebahagiaan, patut dipertanyakan seberapa lama kebahagiaan tersebut dapat bertahan? Bukankah kebahagiaan yang mereka rasakan bisa dengan cepat berubah menjadi bencana saat mereka mengalami kekalahan dalam permainan judi?

Oleh karena itu, paradigma tentang standar kebahagiaan sebaiknya direvisi seiring dengan komitmen kita terhadap syariat Islam. Hal ini merupakan konsekuensi dari akidah Islam yang kita anut. Dengan demikian, prioritas dalam beramal juga harus diselaraskan dengan ketentuan hukum syarak. Jangan sampai kita mengaku berakidah Islam tetapi mengabaikan aturan-aturannya. 

Allah Ta'ala berfirman, "Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang fasik." (TQS Al-Maidah [5]: 47).

Dalam ayat tersebut, Allah Ta'ala menggolongkan judi sebagai perbuatan yang berasal dari setan, yang hanya menghasilkan kejahatan dan keburukan. Islam mendorong kaum mukmin untuk menjauh dari praktik judi dan menempatkan tindakan tersebut sebagai tanda keberuntungan.

Di saat yang bersamaan, masyarakat juga memiliki peran penting dalam mengawasi dan melakukan amar makruf dan nahi mungkar ketika melihat kemaksiatan di sekitar mereka, termasuk aktivitas judi. Tingkat kewaspadaan umat terhadap kemaksiatan merupakan suatu bentuk kemuliaan, karena mereka tidak membiarkan keburukan terjadi tanpa tindakan.

Permasalahan judi dapat diatasi secara menyeluruh dengan penerapan aturan Islam kaffah oleh negara Islam (khilafah). Dalam sistem Khilafah, tidak ada ruang bagi transaksi ekonomi yang dilarang oleh syariat, termasuk judi, baik itu dalam bentuk online maupun offline. Ketika dikuasai oleh ideologi kapitalisme, seperti saat ini, teknologi sering digunakan sebagai alat untuk merusak, termasuk melalui konten yang meracuni pemikiran masyarakat, seperti judi.

Oleh karena itu, khilafah akan menerapkan aturan yang tegas untuk merevolusi konten digital dengan memanfaatkan teknologi yang berlandaskan akidah Islam. Tanpa landasan akidah Islam, teknologi dapat menjadi alat yang menghancurkan. Sebaliknya, umat Islam yang tidak memanfaatkan teknologi juga akan tertinggal.

Khilafah memiliki peran penting dalam mendidik masyarakat melalui berbagai tingkat sistem pendidikan, baik formal maupun nonformal. Upaya ini bertujuan untuk menciptakan generasi yang memiliki kepribadian Islami, memahami syariat, dan selalu berusaha menjalankan ketaatan, sehingga terhindar dari pemikiran untuk mencari kebahagiaan melalui hal-hal yang dilarang dan kemaksiatan.

Khilafah juga memberikan ruang yang luas bagi masyarakat untuk melakukan transaksi ekonomi secara halal. Selain itu, Khilafah akan mengatur penggunaan teknologi digital dengan bijaksana, memastikan bahwa teknologi tersebut tidak disalahgunakan untuk aktivitas yang dilarang, seperti perjudian. Lebih lanjut, Khilafah menerapkan sistem sanksi bagi pelaku judi, yang bersifat pencegah dan penebus dosa. Dalam Islam, sanksi bagi tindak pidana perjudian dikenal sebagai takzir, yang merupakan hukuman yang dijatuhkan berdasarkan ijtihad. []


Oleh: Kanti Rahayu
(Aliansi Penulis Rindu Islam)

0 Komentar