Disuruh Pintar dan Maju tapi Akses Pendidikan Sulit
MutiaraUmat.com -- Sungguh miris, ternyata setelah dirata-rata, penduduk Indonesia menempuh pendidikan selama sembilan tahun. Ini artinya, rata-rata pendidikan penduduk Indonesia hanya setingkat tamatan SMP. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2024, rata-rata lama pendidikan rakyat Indonesia adalah 9,22 tahun atau setara lulusan SMP. Penduduk di DKI Jakarta tercatat memiliki rata-rata pendidikan selama 11,5 tahun atau tidak lulus SMA. Sedangkan penduduk di Provinsi Papua Pegunungan rata-rata lama sekolahnya adalah 5,1 tahun atau tidak lulus SD. Sementara itu, hanya 10,2% penduduk Indonesia yang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Temuan ini menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh lulusan SMP, dan banyak penduduk yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sungguh ironis hal ini terjadi di negeri dengan potensi sumber daya manusia yang luar biasa. Ini adalah potret buram kegagalan sistem pendidikan kapitalistik yang diterapkan di negeri ini.
Kesulitan mengakses pendidikan sebenarnya merupakan masalah yang menahun. Sistem pendidikan berbasis kapitalisme terbukti tidak menjamin akses pendidikan yang adil, merata, dan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia.
Memang, pemerintah menjalankan beberapa program untuk mendukung akses pendidikan, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, perluasan akses ke perguruan tinggi negeri, bantuan berupa beasiswa Program Indonesia Pintar (PIP), penguatan pendidikan vokasi, sekolah gratis, sekolah rakyat, dan sebagainya. Akan tetapi, semua itu belum mampu mengatasi kesenjangan dan ketimpangan pendidikan yang ada di Indonesia.
Masalah akses pendidikan ini disebabkan karena pemerintah menerapkan sistem kapitalisme dalam pendidikan yang tidak memosisikan pendidikan sebagai hak rakyat, melainkan sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Upaya negara untuk memenuhi hak pendidikan rakyat masih sangat terbatas dan belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Ketimpangan yang terjadi menimbulkan masalah nyata. Sebagai contoh, kita sering mendengar bahwa jika ingin mendapatkan pendidikan dengan fasilitas yang bagus dan memadai, maka harus bersekolah di tempat yang berbiaya mahal. Namun, jika ingin mendapatkan layanan pendidikan gratis, maka harus menerima fasilitas seadanya.
Layanan pendidikan diserahkan pada mekanisme pasar sehingga biaya pendidikan terus meningkat dan menjadi beban bagi masyarakat. Akibatnya, masyarakat kesulitan menjangkau pendidikan, apalagi pendidikan tinggi. Mereka yang bisa melanjutkan ke jenjang lebih tinggi hanyalah mereka yang memiliki kemampuan finansial. Sementara itu, jutaan anak bangsa terhalang untuk melanjutkan sekolah karena masalah biaya.
Negara tidak hadir dalam pemenuhan hak dasar ini, malah sibuk menjadi fasilitator bagi kepentingan pasar dan korporasi. Padahal, seharusnya pendidikan menjadi tanggung jawab penuh negara agar masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk meningkatkan kualitas hidup melalui ilmu.
Selama sistem pendidikan yang diterapkan masih berdasarkan logika pasar, maka ketimpangan akan terus terjadi. Wajah pendidikan akan berubah menjadi alat pencetak tenaga kerja murah. Pendidikan tak lagi dianggap sebagai hak dasar rakyat.
Semua masalah ini hanya bisa diselesaikan dengan menerapkan sistem Islam, yakni Khilafah Islamiyyah. Dalam sistem Khilafah, pendidikan merupakan hak dasar rakyat yang wajib dijamin oleh negara tanpa memandang status ekonomi.
Negara akan hadir sebagai raa'in yang bertanggung jawab langsung atas penyelenggaraan pendidikan dalam negeri. Pendidikan dalam Islam tidak ditujukan untuk memenuhi kepentingan pasar atau kebutuhan ekonomi, melainkan untuk mencetak manusia yang berilmu, bertakwa, dan amanah sebagai hamba Allah di muka bumi.
Dalam Islam, negara akan menjamin dan memastikan keadilan akses dan mutu pendidikan di seluruh wilayah sebagai bentuk tanggung jawab negara kepada rakyatnya. Dengan demikian, sudah saatnya kita beralih kepada sistem pendidikan Islam dalam naungan Khilafah.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Oleh: Fauziyah Ali
Aktivis Muslimah
0 Komentar