Jeritan Pilu Anak-Anak Gaza, Kelak Mereka Menuntut, Kita Bisa Apa?
MutiaraUmat.com -- Setiap hari, Gaza menangis. Tangisan itu bukan hanya suara ledakan atau sirine ambulans, tapi jeritan pilu dari ribuan anak yang kehilangan rumah, keluarga, dan masa depan. Berdasarkan laporan PBB yang dikutip oleh berbagai media, sejak agresi brutal Israel dimulai kembali, rata-rata 100 anak Palestina tewas setiap hari (Eraterkini.id, 5/4/25). Bahkan lebih menyayat hati, lebih dari 39.000 anak-anak di Gaza kini menjadi yatim-piatu akibat kekejaman yang terus berlangsung (liputan6.com, 6/4/2025).
Ini bukan sekadar angka. Ini adalah nyawa, mimpi, dan kehidupan anak-anak yang tercabut dengan kejam. Dunia menyebutnya sebagai "krisis kemanusiaan", namun sejatinya ini adalah genosida terhadap sebuah generasi. Ironisnya, semua ini terjadi di tengah gemerlap narasi tentang Hak Asasi Manusia (HAM), hukum internasional, dan konvensi perlindungan anak yang digadang-gadang sebagai simbol peradaban modern.
Namun pertanyaannya, di mana suara lantang lembaga-lembaga internasional itu saat anak-anak Gaza dibantai? Di mana Dewan Keamanan PBB, UNICEF, dan badan-badan lainnya saat puluhan ribu anak menjadi korban kebiadaban Zionis?. Hukum internasional terbukti lumpuh, tak lebih dari dokumen penuh jargon kosong.
Realitas ini menyadarkan kita pada satu hal penting:
Tidak ada yang bisa kita harapkan dari dunia internasional yang dikendalikan oleh kepentingan politik dan ekonomi negara-negara adidaya. Keadilan tidak lahir dari institusi yang melayani penguasa zalim. Perlindungan tidak mungkin datang dari sistem yang membiarkan penjajahan terus berlangsung lebih dari 75 tahun.
Anak-anak Gaza kelak akan menuntut tanggung jawab kita. Mereka yang hari ini menangis, menderita, bahkan yang tidak sempat tumbuh dewasa, akan menjadi saksi betapa dunia menutup mata. Namun yang lebih memilukan, mereka akan mengingat umat Islam yang diam, yang bungkam, yang hanya menyimak berita lalu berlalu begitu saja.
Apakah cukup kita hanya berdonasi dan berdoa? Apakah kita akan terus menatap layar sambil berharap ada keajaiban yang turun dari langit tanpa upaya nyata dari bumi? Anak-anak Gaza butuh lebih dari sekadar simpati. Mereka butuh perlindungan sejati, butuh sistem yang mampu menghentikan penjajahan, bukan hanya mengutuknya.
Di sinilah pentingnya kita merenungkan kembali peran kepemimpinan Islam dalam sejarah. Dalam Islam, negara bukan sekadar penjaga wilayah, melainkan rā’in (pengurus urusan umat) dan junnah (perisai pelindung). Dalam sistem Khilafah, pemimpin bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan dan kesejahteraan rakyatnya, termasuk anak-anak. Tidak akan dibiarkan penjajah menginjak tanah umat, apalagi menumpahkan darah mereka.
Kita bisa belajar dari sejarah. Selama belasan abad, Khilafah Islam menjadi benteng yang melindungi umat dari kezaliman. Di bawah naungan sistem ini, anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang aman, pendidikan yang layak, dan sistem sosial yang mendukung mereka menjadi generasi terbaik. Anak-anak bukan hanya diselamatkan dari kematian, tetapi diarahkan untuk menjadi pemimpin dan pembangun peradaban.
Lalu, di mana Khilafah hari ini saat Gaza berteriak?
Jawabannya jelas: Khilafah telah lama tiada, runtuh pada tahun 1924. Sejak itu, dunia Islam terpecah-pecah menjadi negara-negara lemah yang mudah dikendalikan. Tidak ada satu pun yang mampu berdiri tegak menantang Zionis dan sekutu-sekutunya. Tidak ada yang benar-benar melindungi Gaza dengan seluruh kekuatan militer, politik, dan diplomatik yang seharusnya dimiliki umat ini.
Maka, perjuangan membebaskan Palestina tidak bisa dilepaskan dari perjuangan menegakkan kembali Khilafah. Hanya dengan sistem ini, umat Islam memiliki perangkat kekuasaan yang sah untuk menggalang kekuatan, mengusir penjajah, dan mengembalikan hak anak-anak Palestina. Hanya dengan kepemimpinan Islam global, kita bisa memastikan bahwa darah anak-anak Gaza tidak lagi ditumpahkan dengan impunitas.
Sebagian mungkin berkata bahwa perjuangan ini utopis, terlalu jauh, atau tidak realistis. Tapi kenyataannya, jalan selain Khilafah justru telah terbukti gagal. Sudah berapa kali perundingan damai digelar? Sudah berapa resolusi PBB yang dibuat? Hasilnya nihil. Penjajah tetap menjajah, anak-anak tetap terbunuh.
Kita perlu menegaskan bahwa umat Islam punya tanggung jawab besar dalam tragedi ini. Tanggung jawab itu bukan hanya kemanusiaan, tapi juga keimanan. Sebab dalam Al-Qur’an, Allah menyeru umat ini untuk tidak membiarkan saudara mereka disakiti tanpa pembelaan. Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa tidak peduli terhadap urusan kaum Muslimin, maka dia bukan bagian dari mereka." (HR. Thabrani)
Setiap Muslim wajib mengambil peran dalam perjuangan ini. Tidak semua harus turun ke medan perang, tapi semua bisa berkontribusi sesuai kapasitasnya. Dimulai dari menyadarkan lingkungan sekitar tentang pentingnya kepemimpinan Islam, mendukung dakwah penegakan khilafah, hingga memperkuat barisan umat agar tidak lagi tercerai-berai dalam sekat nasionalisme yang diciptakan penjajah.
Anak-anak Gaza kelak akan bertanya, "Di mana kalian saat kami dibantai?"
Dan jawaban kita tidak boleh sebatas: "Kami menyaksikannya."
Mereka butuh jawaban yang lebih mulia: "Kami memperjuangkan Khilafah agar tak ada lagi anak-anak yang menangis seperti kalian."
Hanya dengan begitu, kita bisa punya hujjah di hadapan Allah dan sejarah.
Penutup
Anak-anak Gaza hari ini hidup dalam ketakutan, kelaparan, dan kehilangan. Mereka adalah generasi yang terancam punah karena dunia gagal menjalankan keadilan. Namun kita, umat Islam, tidak boleh gagal. Kita harus hadir bukan hanya sebagai penonton tragedi, tapi sebagai bagian dari solusi.
Perjuangan ini bukan pilihan, tapi kewajiban. Dan kemenangan hanya akan datang jika umat ini bersatu kembali dalam satu kepemimpinan yang sah, kuat, dan adil—yaitu Khilafah Islamiyah. Di bawah panjinya, anak-anak Gaza akan kembali tersenyum, dan dunia akan melihat Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. []
Oleh: Rutin
(Aliansi Penulis Rindu Islam)
0 Komentar