Masalah Pagar Laut, Akankah Terusut?
MutiaraUmat.com -- Deretan pagar bambu yang berdiri di perairan Kabupaten Tangerang telah diketahui setidaknya sejak Juli 2024, menurut kesaksian warga dan kelompok advokasi sipil yang diwawancarai oleh BBC News Indonesia. Namun pagar itu baru dicabut oleh pemerintah setelah persoalan ini viral di media sosial. (Sumber: BBC News Indonesia, 31/01/2025)
Mafia pagar laut yang marak di berbagai daerah kini mencuatkan paradoks. Sumber daya kelautan, pesisir dan pulau kecil kini bisa dikelola seenaknya tanpa campur tangan pemerintah daerah bahkan tanpa partisipasi penduduk lokal.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan potensi sumberdaya kelautan yang mencapai 3.000 triliun rupiah per tahun belum terkelola dengan baik. UU Nomor. 11/2020 tentang Cipta Kerja mereduksi perizinan dan kemudahan investor. (Sumber: Ayo Bandung, 2/2/2025)
Adanya persoalan pagar laut merupakan bukti bahwa saat ini, laut bukan menjadi kepemilikan umum namun kepemilikan individu. Laut yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, akan tetapi malah untuk kepentingan konglomerat. Negara pun tidak tegas dan cenderung berpihak kepada para kapitalis yang sudah jelas menyengsarak masyarakat. Hal ini adalah wujud negara yang berasas kapitalisme, yang mana paham tersebut memisahkan agama dari kehidupan dan hanya mengutamakan keuntungan semata.
Asas ini pun menjadikan manusia sebagai penentu sistem untuk mengatur kehidupannya. Dan menetapkan bahwa Sang Pencipta tidak ada kaitannya terhadap apa yang diciptakan-Nya. Kebebasan manusia dalam kepemilikan mendorong manusia untuk melakukan segala sesuatu tanpa ada batas kepuasan.
Tidak dipungkiri keserakahan dalam hal ini berakibat pada eksploitasi yang melampaui batas terhadap alam dan sesama manusia sehingga menimbulkan ketidakseimbangan lingkungan dan antarmanusia. Meski lingkungan rusak dan rakyat sengsara akibat para kapitalis, Negara pun tidak dapat bertindak tegas untuk menghukum mereka.
Negara terjebak pada kebebasan individu dan tidak bisa melindungi rakyat dari kuasa para kapitalis. Jadilah rakyat harus melawan para kapital sendirian, tanpa ada negara yang berperan. Akibatnya, rakyat mengalami intimidasi dan berada pada posisi yang lemah karena negara tidak berfungsi sebagaimana tugasnya menjadi pengurus (raa’in) dan perisai (junnah). Negara hanya berperan menjadi regulator yang bergerak sesuai dengan arahan para kapitalis, bahkan menjadi penjaga kepentingan mereka.
Berbeda halnya dengan Negara dalam Islam. Negara dengan sistem Islam, akan berfungsi sebagai raa'in dan junnah bagi rakyatnya. Karena yang dijadikan sumber adalah hukum syara', bukan akal manusia semata. Islam sebagai ideologi sempurna mewajibkan negara melindungi harta rakyat dan menjamin kehidupan mereka, karena rakyat adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Mereka layaknya gembalaan yang wajib dijaga dan dilindungi oleh penggembalanya. Sebagaimana Nabi Saw. bersabda,
الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (khalifah) itu pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.”
Islam memiliki 3 konsep kepemilikan, yakni kepemilikan individu, umum, dan negara. Kepemilikan individu adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan oleh setiap individu-individu. Misalnya harta yang bergerak maupun tidak bergerak seperti mobil, tanah, dan uang tunai.
Kepemilikan umum adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan secara bersama-sama. Kepemilikan umum ini terbagi menjadi tiga, yakni: pertama, segala sesuatu yang menjadi kebutuhan mendasar bagi masyarakat, yakni sesuatu yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan masyarakat, misalnya air, padang rumput, dan api.
Rasulullah ﷺ bersabda,
اَلنَّاسُ شَرَكَاءٌ فِي ثَلَاثٍ اَلْمَاءُ وَالْكَلأ وَالنَّارُ
“Manusia berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput, dan api.”
Kedua, segala sesuatu yang secara alami individu tidak berhak memilikinya yakni jalanan, sungai, laut, danau, masjid, sekolah-sekolah negeri, dan lapangan umum.
Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ,
لَا حَمِىَ اِلَّا لِلهِ وَرَسُوْلِهِ
“Tidak ada pagar pembatas kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.”
Makna hadis diatas adalah tidak ada hak bagi siapapun untuk memberikan batasan atau pagar atas segala sesuatu yang diperuntukkan bagi masyarakat umum.
Ketiga, barang tambang yang depositnya tidak terbatas, yaitu barang tambang yang berjumlah banyak yang depositnya tidak terbatas. Adapun jika jumlahnya itu sedikit dan terbatas, maka menjadi kepemilikan individu. Individu boleh saja memilikinya. Barang tambang yang depositnya banyak contohnya adalah tambang emas, perak, minyak bumi, fosfat, dan sebagainya.
Sumbernya berdasarkan dalil hadis yang diriwayatkan oleh Abyadh bin Hamal al-Maziniy, bahwa Abyadh telah meminta kepada Rasul ﷺ untuk mengelola tambang garam. Lalu Rasulullah memberikannya. Setelah ia pergi, ada seseorang yang berkata kepada Rasul, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.” Rasul kemudian berkata, “Tariklah kembali tambang tersebut darinya.”
Sebab dari sikap Rasulullah adalah karena sesungguhnya garam adalah barang tambang seperti air mengalir yang tidak terbatas depositnya.
Selanjutnya adalah kepemilikan Negara. Kepemilikan negara adalah setiap harta yang pengelolaannya diwakilkan pada pemimpin sebagai kepala negara. Jenis harta antara lain: ganimah (rampasan perang), jizyah (pajak untuk orang kafir), kharaj, pajak, harta orang-orang murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, panti-panti, dan wisma-wisma bagi aparat pemerintahan yang dibuka oleh Daulah Islam, dan tanah-tanah yang dimiliki oleh negara.
Dengan prinsip kedaulatan di tangan syarak, maka pemimpin akan menjalankan aturan Islam secara menyeluruh dan haram menyentuh harta rakyat atau memfasiliasi pihak lain mengambil harta milik rakyat. Wallahu a'lam bishshawab. []
Ana Rohmatin, S.Sos.
Aktivis Muslimah
0 Komentar