Mitigasi Bencana Lamban, Rakyat Jadi Korban?
MutiaraUmat.com -- Memasuki pekan kedua Januari 2025, hujan dengan intensitas ringan hingga tinggi terus mendominasi sebagian besar wilayah Indonesia, Jawa, Sumatera dan NTB. Kondisi cuaca ini menyebabkan berbagai bencana hidrometeorologi basah, seperti banjir dan tanah longsor.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari mengatakan bencana hidrometeorologi terjadi di sejumlah wilayah Indonesia, mulai dari Sumatera hingga Nusa Tenggara Barat (NTB).
Di Pulau Sumatera, hujan deras mengakibatkan banjir Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, menjadi salah satu daerah yang terdampak cukup parah. Ratusan rumah warga terendam.
Sementara itu, di Provinsi Riau, Kota Pekanbaru dan Lampung
Di Pulau Jawa, beberapa daerah mengalami bencana banjir, longsor, dan angin kencang. Di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, banjir bandang juga melanda. Bahkan banjir bandang di Morowali Utara mengakibatkan warga meninggal terseret air bah (www.cnnindonesia.com, 11 Januari 2025 )
Penanganan bencana di Indonesia masih banyak persoalan yang seharusnya dapat dicegah dengan mitigasi yang sungguh-sungguh dan professional.
Faktanya, negara selalu gagap ketika terjadi bencana. Dan menjadikan keterbatasan dana sebagai penyebabnya. Akibatnya masyarakat terdampak mengalami penderitaan. Adapun negara, dalam mengatasi kebutuhan dana untuk bencama, mengandalkan swadaya.
Banjir menjadi musibah setiap tahun. Semestinya pemerintah melakukan upaya antisipasi dan mitigasi banjir dengan lebih serius. Kelemahan ini membahayakan nyawa masyarakat. Mitigasi lemah tanda negara tidak menjadi raain. Ini keniscayaan dalam sistem kapitalis di mana negara hanya regulator dan fasilitator yang melayani kepentingan para pemilik modal, sehingga abai pada rakyat.
Bencana ini juga akibat pembangunan ala kapitalisme yang memberi ruang kebebasan bagi oligarki mengubah lahan serapan menjadi lahan bisnis, abai atas keselamatan rakyat dan kerusakan alam, karena hanya mengejar pertumbuhan ekonomi. Pernyataan Presiden tentang pembukaan lahan sawit (deforestasi) tidak membahayakan dapat dijadikan sebagai landasan pembukaan lahan, meski para ahli sudah menyatakan deforestasi akan mengakibatkan berbagai masalah termasuk terjadinya bencana.
Dalam Islam, negara wajib menghindarkan rakyatnya dari kemudaratan, termasuk bencana. Negara akan melakukan perencanaan matang dalam membangun kota/desa dan berorientasi pada kemaslahatan seluruh rakyat. Negara membangun kota berbasis mitigasi bencana. Islam telah mengatur konservasi agar ada larangan berburu binatang dan merusak tanaman demi menjaga ekosistem. Islam juga mengharuskan adanya pemetaan wilayah sesuai potensi bencana berdasarkan letak geografisnya, sehingga akan membangun tata ruang yang berbasis mitigasi bencana, sehingga aman untuk manusia dan alam
Semua dilakukan oleh negara karena Islam menjadikan penguasa sebagai raa’in dan junnah, termasuk dalam menghadapi bencana. Islam menjadikan negara sebagai pengurus rakyat yang bertanggung jawab atas nasib rakyat termasuk saat bencana.
Memang, dalam paradigma kapitalisme, segalanya diukur dari untung dan rugi duniawi. Jika dikembalikan kepada paradigma Islam, tentu saja menjaga harta dan nyawa masyarakat adalah bagian dari kewajiban langsung sang penguasa di hadapan Allah Ta'ala.
Pada masa Kekhilafahan Umayyah (120-126 H) menyediakan dana sebesar 10.000 dirham untuk penanganan bencana. “Imam/Khalifah itu laksana penggembala dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Islam menjamin ketersediaan dana dalam menanggulangi bencana karena memiliki sumber pemasukan dari pos yang beragam. Ketersediaan dana akan selalu terwujud, karena dalam Islam tidak ada model APBN seperti dalam sistem hari ini. Dalam Khilafah, jika ada kebutuhan dana untuk kepoentingan rakyat, negara akan menyediakan secara langsung dari berbagai pos penerimaan yang ada di kas negara atau disebut Baitul Mal.
Wallahu a'lam bishshawab. []
dr. Bina Srimaharani
Aktivis Muslimah
0 Komentar