Rumah Layak Huni, Akankah Sekadar Impian?


MutiaraUmat.com -- Di tengah hiruk pikuk pembangunan kota dan pesatnya pertumbuhan properti, ironisnya masih ada belasan juta rakyat Indonesia yang antre untuk mendapatkan rumah layak. Dilansir dari Detik.com (4/11/2024) Nixon LP Napitulu, Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk menyampaikan bahwa ada 24 juta keluarga di Indonesia tinggal di hunian yang tak layak huni, sementara 10 juta keluarga lainnya bahkan tidak memiliki rumah. Rumah, yang seharusnya menjadi kebutuhan pokok, kini telah menjadi barang mewah yang tak terjangkau oleh banyak keluarga kelas menengah ke bawah. Harga rumah terus melonjak, bahkan di daerah pinggiran. Ini bukanlah kebetulan, melainkan akibat dari sistem tata kelola perumahan yang didikte oleh prinsip-prinsip kapitalisme.

Dalam sistem kapitalisme, rumah bukanlah sekadar tempat tinggal yang layak untuk semua orang. Rumah telah dikomodifikasi menjadi aset yang memberikan keuntungan besar bagi para pengembang dan spekulan properti. Negara, dalam hal ini, berperan sebagai regulator yang memuluskan jalan bagi pihak swasta untuk terus mendulang untung melalui pembangunan perumahan. Peran negara lebih sering memfasilitasi mekanisme pasar dibandingkan menjamin hak-hak dasar rakyatnya.

Narasi yang digunakan seringkali membingkai seolah-olah negara sedang giat memenuhi kebutuhan rakyat akan rumah layak. Kebijakan subsidi, program KPR bersubsidi, hingga pembangunan rumah murah sering dipromosikan sebagai upaya mulia negara untuk rakyat. Namun, realitasnya menunjukkan bahwa akses terhadap rumah layak masih sangat terbatas, terutama bagi kalangan miskin perkotaan dan masyarakat dengan penghasilan rendah.


Kapitalisme Mengubah Fungsi Rumah Menjadi Alat Kapitalisasi

Dalam paradigma kapitalisme, segala sesuatu dinilai dari potensi ekonominya. Tanah dan rumah adalah komoditas yang bisa dieksploitasi untuk keuntungan sebesar-besarnya. Pembangunan perumahan pun diarahkan oleh kepentingan pasar, bukan kebutuhan riil rakyat. Akibatnya, harga tanah dan properti meroket seiring dengan meningkatnya permintaan, sementara kemampuan daya beli masyarakat tak sebanding dengan laju inflasi tersebut.

Pengembang swasta berperan dominan dalam menyediakan hunian, dan mereka tentu lebih memilih membangun proyek yang memberikan margin keuntungan tinggi. Kawasan elit dan apartemen mewah tumbuh menjulang di tengah kota, sedangkan rumah murah untuk rakyat kecil justru terpinggirkan ke lokasi yang jauh dari pusat ekonomi. Hal ini tidak hanya mempersulit akses ke tempat kerja dan fasilitas umum, tetapi juga memicu masalah sosial lainnya seperti kemacetan dan degradasi kualitas hidup.

Di sisi lain, banyak tanah negara dan aset publik dialihkan kepada pengembang swasta melalui mekanisme privatisasi. Hal ini semakin mempersempit peluang bagi rakyat kecil untuk memiliki tanah atau rumah. Alokasi tanah yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk membangun perumahan rakyat malah menjadi lahan bisnis yang menguntungkan segelintir orang.


Populisme: Ilusi Kepedulian di Tengah Ketidakadilan

Dalam situasi seperti ini, gaya kepemimpinan populis sering kali menjadi pilihan para penguasa. Retorika populis menyuarakan kepedulian terhadap rakyat kecil, tetapi dalam implementasinya, kebijakan yang diambil tetap berlandaskan kepentingan pasar. Pemerintah mengeluarkan program perumahan murah atau bantuan subsidi sebagai solusi instan, namun tidak menyentuh akar permasalahan.

Populisme dalam sistem kapitalisme hanyalah upaya untuk meredam gejolak sosial tanpa menyelesaikan masalah struktural. Program-program tersebut sering menjadi alat politik untuk membangun citra positif di mata publik. Padahal, kebijakan jangka panjang yang berpihak kepada rakyat seperti reformasi agraria sejati, pengendalian harga tanah, atau penyediaan perumahan oleh negara jarang sekali menjadi prioritas utama.

Gaya kepemimpinan seperti ini jauh dari prinsip riayah, yakni kepemimpinan yang benar-benar memelihara dan melindungi hak-hak rakyat. Kepemimpinan yang muncul dari sistem kapitalisme tidak memiliki dimensi ruhiyah (spiritual), karena orientasinya semata-mata adalah keuntungan materi, bukan kesejahteraan holistik masyarakat.


Pandangan Islam tentang Kebutuhan Asasiah

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang rumah sebagai salah satu kebutuhan asasiah (pokok) yang wajib dipenuhi oleh negara. Selain rumah, kebutuhan pokok lainnya seperti sandang, pangan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan juga menjadi tanggung jawab negara untuk memastikan setiap individu terpenuhi hak-haknya.

Dalam Islam, negara adalah penanggung jawab utama kesejahteraan rakyat, bukan hanya sebagai regulator atau fasilitator bagi swasta. Penguasa dalam sistem Islam memiliki peran sebagai raa’in (pengurus) yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kesejahteraan rakyatnya di hadapan Allah. Oleh karena itu, negara tidak boleh lepas tangan dalam urusan pemenuhan kebutuhan dasar seperti rumah layak.

Sistem politik ekonomi Islam menekankan bahwa sumber daya alam, tanah, dan kekayaan milik umum harus dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat, bukan untuk keuntungan segelintir elite. Negara juga memiliki kewajiban untuk menciptakan support system yang mempermudah rakyat untuk memiliki rumah layak. Beberapa langkah konkret dalam sistem ini antara lain:

Pertama. Sistem politik sentralisasi. Negara memiliki wewenang penuh untuk mengatur kebijakan perumahan secara terpusat dan terkoordinasi, sehingga tidak ada kepentingan kapital yang mendominasi.

Kedua. Sistem ekonomi dan keuangan Islam. Sistem ekonomi bebas riba dan praktik monopoli menjamin distribusi kekayaan yang adil. Tanah dan properti tidak boleh menjadi objek spekulasi yang merugikan rakyat banyak.

Ketiga. Sistem pendidikan dan kesadaran sosial. Negara membangun kesadaran kolektif bahwa kepemilikan rumah adalah hak setiap individu, bukan sekadar impian yang hanya bisa dicapai oleh mereka yang beruntung secara ekonomi.

Keempat. Menuju solusi hakiki, sistem Islam kaffah. Realitas hari ini menunjukkan bahwa sistem kapitalisme gagal memberikan solusi atas permasalahan kepemilikan rumah yang layak bagi rakyat. Selama paradigma pembangunan masih bertumpu pada keuntungan material semata, jutaan rakyat akan terus antre dalam ketidakpastian untuk memiliki tempat tinggal yang layak.

Islam menawarkan solusi hakiki melalui penerapan syariat Islam secara kaffah (menyeluruh). Negara yang menerapkan sistem Islam tidak hanya berfungsi sebagai penyedia kebijakan, tetapi juga pelaksana yang memastikan setiap warga negara mendapatkan hak-haknya secara adil. Dengan demikian, impian memiliki rumah layak bukanlah kemewahan, melainkan sebuah keniscayaan yang dijamin oleh negara.

Hanya dengan kembali kepada sistem politik ekonomi Islam, belasan juta rakyat yang antre untuk memiliki rumah layak dapat benar-benar merasakan kesejahteraan. Negara yang berlandaskan syariat Islam tidak akan membiarkan warganya terlantar, karena penguasa dalam Islam sadar bahwa kepemimpinannya adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat. []


Oleh: Rutin, SEI
(Aliansi Penulis Rindu Islam)

0 Komentar