Kenaikkan Pajak Menyengsarakan Rakyat
MutiaraUmat.com "Di antara tanda sebuah negara akan hancur adalah makin besar dan beragam jenis pajak yang dipungut kepada rakyatnya." (Ibnu Khaldun).
Rencana kenaikan pajak PPN menjadi 12% yang mulai diberlakukan Januari 2025 hanya akan menambah beban rakyat. Rencana kenaikan ini menuai banyak protes dari masyarakat. Kenaikan ini akan memengaruhi daya beli dan berdampak pada dunia usaha dan industri.
Apabila PPN naik, maka beban perusahaan akan bertambah besar. Pendapatan perusahaan akan menurun, dan ini akan berpengaruh terhadap pembayaran gaji karyawan. Dan yang disebut karyawan adalah bagian dari rakyat itu sendiri. Jadi, rakyat merasakan secara langsung efeknya. Selain itu kenaikan PPN ini akan mengganggu roda ekonomi yang sedang lesu. Daya beli masyarakat sekarang benar-benar lemah. Kondisi ini akan makin parah jika PPN dinaikkan.
Pemerintah beralasan kenaikan pajak ini harus dilakukan karena merupakan amanat UU harmonisasi peraturan perpajakan yang disahkan tahun 2021. Beban APBN 2025 yang tinggi membuat pemerintah mencari cara agar mendapat pemasukan tambahan. Dan memang pajak merupakan pemasukan utama untuk memenuhi kebutuhan APBN ini. Pemerintah memandang kenaikan PPN ini sebagai kebutuhan untuk menjaga kesehatan APBN di saat prospek penerimaan seret akibat kondisi global yang tidak menentu.
Untuk meyakinkan rakyat, kemudian pemerintah menyampaikan sedang mempersiapkan beberapa perencanaan untuk meredam dampak kenaikan PPN di antaranya dengan menaikkan UMR dan berjanji mengembalikan pajak kepada rakyat berupa bantuan sosial dan subsidi. Akan tetapi rakyat sudah banyak yang tidak percaya bahwa pajak kembali kepada rakyat berupa fasilitas publik atau jaminan sosial karena sudah menjadi keumuman, pajak banyak yang dikorupsi.
Beginilah jika sistem kapitalisme diterapkan. Pemungutan pajak dianggap wajar karena pajak adalah instrumen penerimaan utama negara selain utang. Jadi jika pemerintah menaikkan pajak atau menambah instrumen objek yang kena pajak itu dianggap hal yang wajar. Itulah konsekuensi penerapan sistem kapitalisme. Masyarakat menganggapnya wajar karena tidak tahu sistem pembanding yang tidak menerapkan kewajiban pajak secara 'brutal' seperti dalam kapitalisme.
Kebijakan kewajiban pajak ini seharusnya membuat rakyat sadar bahwa ini adalah sistem yang dzalim. Rakyat dipaksa membayar pajak untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan negara padahal sebenarnya seharusnya pemasukan APBN bisa didapat dari Sumber Daya Alam (SDA), tetapi sayangnya negara kapitalisme meliberalisasi SDA, sehingga SDA itu dikuasai para kapital, dan negara tidak memiliki anggaran untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Abainya negara terhadap kesulitan rakyat mengonfirmasi negara bukan pelindung dan pengurus bagi rakyat. Negara tampak tidak peduli bagaimana nasib rakyat terutama yang di bawah garis kemiskinan jika pajak dinaikkan. Negara makin menampakkan keberpihakan pada para kapital.
Berbeda dengan sistem Islam. Islam tidak menjadikan pajak sebagai instrumen utama dalam penerimaan negara. Negara hanya akan mengambil pungutan pada kaum Muslimin yang memiliki kelebihan harta.
Pajak akan diberlakukan jika kas di Baitul Mal kosong atau tidak cukup untuk membiayai kemaslahatan umat. Dan juga dalam situasi darurat, misalnya jika ada situasi paceklik dan kondisi lain yang jika pembiayaan tidak dipenuhi akan menimbulkan bahaya bagi umat.
Selain itu, negara hanya akan mengambil pajak dengan jumlah sesuai yang dibutuhkan. Dan pungutan tidak akan dilakukan jika kas negara sudah kembali terpenuhi untuk mengurusi rakyatnya. Begitulah sistem Islam mengaturnya.
Wallahu alam Bisshowab
Oleh: Fauziyah Ali
Aktivis Muslimah
0 Komentar