Retreat Pejabat, Bermanfaatkah?


MutiaraUmat.com -- Usai menjalani retreat (pembekalan), para menteri Kabinet Merah Putih (KMP) menyatakan siap dr bekerja menjalankan tugas dan tanggung jawabnya kepada rakyat. Para anggota kabinet Prabowo-Gibran ini kembali ke Jakarta pada Ahad (27-10-2024). Retreat yang berbau healing ini berlangsung pada 25—27 Oktober 2024 di Akademi Militer Magelang, Jawa Tengah.

Presiden Prabowo sendiri mengatakan retreat tersebut diperlukan untuk membentuk bonding (rasa kebersamaan) dan team building, serta menyatukan visi dan misi pada seluruh jajaran kabinet di bawah pemerintahannya. Retreat tersebut pun menyita perhatian publik. Tapi justru publik banyak yang mengkritik retreat yang dilakukan presiden terhadap para menteri dan jajaran di bawahnya. Sekalipun didanai dari kantong pribadi Presiden, kritik mengemuka lantaran beragam fasilitas mewah dan terkesan glamor yang digunakan dalam agenda tersebut.


Kebutuhan Rakyat Sesungguhnya

Setelah menjalani retreat dan pembekalan, beberapa menteri menyampaikan pendapatnya tentang retreat. Salah satunya Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin mengatakan kegiatan retreat KMP adalah wujud membangun kekompakan antaranggota kabinet demi tercapainya target kerja dalam mengabdi untuk bangsa dan negara. Hal yang sama juga diungkap Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Menurutnya, kegiatan itu menambah soliditas kabinet dan membentuk kerja sama tim yang solid.

Akan tetapi masyarakat masih menyangsikan perubahan yang ingin dicapai dalam pemerintahan baru. Usai euforia retreat Kabinet Merah Putih, banyak masyarakat menilai kegiatan tersebut hanya berakhir pada retorika tanpa tindak lanjut yang nyata. Semangat kebersamaan serta kesatuan visi dan misi belum menjamin baik buruknya kinerja. Ini karena kabinet tersebut berdiri di atas asas kepentingan dan manfaat yang ingin dicapai dalam koalisi gemuk pemerintahan Prabowo-Gibran.

Berdasarkan asas ini, semangat membara menyukseskan pemerintahan Prabowo-Gibran yang katanya berorientasi kepada kesejahteraan rakyat dan kemandirian bangsa tampaknya sulit terwujud. Pasalnya, pemilihan para menteri dan jajaran di bawahnya tampak dalam rangka berbagi kue kekuasaan. Jumlah kementerian dalam pemerintahan Prabowo-Gibran naik signifikan daripada masa pemerintahan Jokowi, dari 34 kementerian menjadi 48 kementerian, 5 kepala badan, serta 56 wakil menteri. Dengan banyaknya posisi tersebut, bagi-bagi kekuasaan makin mudah untuk menempatkan para klien, loyalis, dan pendukung pemerintahan yang baru.

Orang-orang yang dipilih dan ditunjuk mengisi jabatan tersebut sebagian besar berasal dari elite parpol, jurnalis, pengusaha, dan sukarelawan. Menurut perhitungan lembaga riset Celios mayoritas nama yang dipanggil Prabowo didominasi oleh politisi dengan persentase mencapai 55,6% atau 60 dari 108 kandidat. Proporsi profesional teknokrat hanya sebesar 15,7% atau 17 dari 108 calon. Lalu disusul kalangan TNI/Polri (8,3%), pengusaha (7,4%), akademisi (5,6%), tokoh agama (4,6%), dan selebritas (2,8%). Dari komposisi tersebut sudah terbaca bahwa susunan kabinet yang dibentuk tidak mempertimbangkan integritas dan profesionalitas. Bahkan, porsi akademisi atau ahli sangat sedikit.

Susunan kabinet yang didominasi elite parpol dan loyalis penguasa sesungguhnya hal yang lumrah terjadi dalam demokrasi. Ini karena dalam politik demokrasi, politik transaksional pasti terjadi. Ketika menang, para pendukung sudah pasti meminta jatah kursi dan jabatan. Salah satu bukti dari hasil kesepakatan antara dua partai besar pemenang Pilpres 2024. Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia, mengakui adanya tukar guling jabatan dengan Partai Gerindra. Dalam Kabinet Merah Putih, kader-kader Partai Golkar mengisi delapan kursi menteri dan tiga kursi wakil menteri. Sebagai gantinya, Partai Gerindra dapat mendudukkan kadernya di posisi Ketua MPR RI.

Sesungguhnya yang dibutuhkan rakyat saat ini bukan hanya kedisiplinan dan sinergitas antar pejabat. Rakyat membutuhkan visi baru perubahan yang fundamental, bukan sekadar retorika dan narasi indah yang dikemas dengan berapi-api. Visi baru tersebut ialah perubahan yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang membelit negeri ini, di antaranya kemiskinan, pengangguran terbuka, kriminalitas, kesehatan, pendidikan, ketahanan pangan, keamanan, dan kesejahteraan rakyat.

Rakyat tidak hanya membutuhkan pemimpin yang disiplin dan sinergi tetapi juga harus punya visi baru untuk perubahan. Selain itu rakyat juga membutuhkan pemimpin yang mengayomi dan mengutamakan kepentingan mereka, bukan memuluskan kepentingan kapitalis/korporasi melalui berbagai kebijakan dan regulasi. Faktanya, ketika ada koreksi dan kritik kepada pemerintah dan menyampaikan solusi syariat Islam, malah distigma negatif, dipersekusi, bahkan dibungkam dengan dalih tidak menghormati pemimpin dan cinta tanah air. Rakyat memerlukan penguasa dan pejabat yang memprioritaskan terpenuhinya kebutuhan dasar mereka. Faktanya, penguasa justru menaikkan tarif pajak, mengurangi subsidi, dan membuat harga pangan melambung tinggi. Rakyat tidak membutuhkan penguasa dan pejabat yang gemar memperkaya diri, memanfaatkan suara rakyat hanya ketika ingin mendapat simpati, berperilaku korup, dan mengkhianati amanat dan tanggung jawabnya.

Sepanjang dalam kepemimpinan yang baru ini sistem pemerintahan demokrasi diterapkan, ekonomi kapitalisme berjalan, dan sekularisme menjadi paradigma kehidupan maka keadilan dan kesejahteraan tidak akan terwujud. Apalagi spirit KMP adalah bagi-bagi kekuasaan. Di sisi lain, demokrasi menghalalkan segala cara demi nafsu berkuasa.

Dalam sistem kapitalisme, kesejahteraan rakyat nihil terjadi sebab sistem ini mengagungkan kebebasan kepemilikan yang memungkinkan siapa saja yang memiliki modal besar untuk menguasai berbagai aset, termasuk aset milik umum dan negara.

Penerapan sistem demokrasi dan kapitalisme saling terkait. Calon penguasa disokong para kapitalis, lalu saat penguasa menang, mereka harus membalas budi dengan menetapkan kebijakan atau regulasi yang menguntungkan kepentingan para pemilik modal (kapitalis).


Sistem Islam 

Dalam sistem pemerintahan Islam, pejabat dipilih bukan untuk berbagi kekuasaan. Pejabat dipilih sebagai pembantu pelaksanaan tugas Khalifah. Kepala negara (khalifah) memiliki otoritas dan wewenang dalam memilih pejabat yang tepat. Pejabat dipilih berdasarkan integritas atau kepribadian dan keahlian atau kapabilitas dan tentu jauhdari konflik kepentingan. Integritas yang dimaksud ialah pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan Islam. Adapun kapabilitas dilihat dari kemampuan secara fisik dan keilmuan yang dimiliki individu calon pejabat.

Dalam sistem Islam, aturan yang diterapkan adalah aturan Allah yang bersifat baku dan tetap, yakni mengikat semua pihak, baik pejabat, aparat, maupun rakyat. Dengan konsekuensi ini, tidak akan ada celah bagi perilaku jual beli hukum, revisi aturan, pejabat korupsi, curang, konflik kepentingan, dan bagi-bagi jatah kursi dan kekuasaan. Aneka perilaku maksiat tersebut akan dicegah dengan sistem politik ekonomi dan sosial pendidikan yang berbasis akidah Islam.

Ketika kehidupan Islam terbentuk dan aturan Islam diberlakukan maka hak-hak yang dipimpin akan dijamin dan dipenuhi. Selain itu dengan penerapan Islam akan tercipta kebiasaan beramar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat. Masyarakat sendirilah yang menjadi pengontrol dan pengoreksi para pejabat negara. Penerapan aturan Allah ini akan menjadika kehidupan tenang, damai, sejahtera dan terwujud rahmat bagi seluruh alam.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Fauziyah Ali
Aktivis Muslimah

0 Komentar