Ironi Tebang Pilih Hukum di Negara Hukum


MutiaraUmat.com -- Sebagaimana yang telah tercantum dalam UUD 1946 pasal 1 ayat 3 di mana di dalamnya telah dipertegas bahwa Indonesia merupakan negara hukum, sehingga rakyat diwajibkan untuk mengikuti aturan hukum yang berlaku. Negara hukum atau yang memiliki istilah 'the rule of law' merupakan sebuah negara yang segala tindakannya harus berdasarkan pada aturan hukum yang berlaku, jika ditemukan seseorang yang melanggar aturan hukum yang berlaku maka ia harus mendapatkan hukuman karena dianggap telah melanggar hukum. Hal itu sengaja diberlakukan bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan sebuah negara yang aman, sejahtera, tenteram, dan tertib. Dengan demikian, setiap warga negara akan dijamin kedudukannya sehingga tercapai keserasian, keseimbangaan, dan keselarasan antara kepentingan perorangan dan kepentingan kelompok. (Dilansir dari liputan6.com, 27/11/2024)

Dari pernyataan tersebut, sebenarnya telah menunjukkan kepada seluruh masyarakat, bahwa setiap warga negara memiliki hak dalam mendapatkan keadilan di negeri ini, sehingga aturan hukum yang diberlakukan seharusnya tertuju pada semua warga negara tanpa terkecuali termasuk pengusaha, pejabat, hingga penguasa negeri. Tetapi, bagaimana jadinya jika fakta yang terjadi hari ini justru menunjukkan sebaliknya? Seperti yang terjadi baru-baru ini, masyarakat ditunjukkan oleh sebuah fakta yang membuat mereka geleng-geleng kepala. 

Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Dradjad Wibowo telah menemukan adanya penerimaan negara yang bocor akibat pengemplang pajak, setelah mengetahui ada kekurangan anggaran negara yang senilai Rp 300 triliun. Ia mengungkapkan bahwa dirinya telah menemukan ada pajak-pajak yang tidak terkumpul, serta ada beberapa sumber yang belum tergali. Kebocoran akibat pajak yang belum dibayarkan salah satunya berasal dari kasus-kasus hukum. Sementara, para pengemplang pajak yang sudah dinyatakan kalah oleh Mahkamah Agung, ternyata belum menyetorkan kewajiban pajaknya sesuai putusan. Karena hal itu, pemerintahan Prabowo berencana akan mengejar potensi pajak yang bisa dikumpulkan. (Kompas.com, 09/10/2024)

Setelah terkuaknya kebocoran anggaran negara tersebut, akibat pengemplang pajak yang bersumber dari pajak pengusaha yang belum dibayarkan selama bertahun-tahun, sedangkan baru diperhatikan baru-baru ini, sebenarnya telah menunjukkan kepada masyarakat bahwa sistem di negeri ini tidak memiliki ketegasan dalam memberlakukan aturan hukum. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh para pengusaha yang tidak mau membayar pajak. Hal ini menunjukkan jika negara tidak tegas memberlakukan aturan hukum kepada para pengusaha.

Meskipun kemudian selanjutnya pajak pengusaha sawit 300 triliun akan menyetor Rp 189 triliun untuk tahap pertama yang sudah dibayar setelah viral hingga Presiden Prabowo sendiri menerima laporannya. Sisa pajak, menurut Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Hashim S Djojohadikusumo, yang juga adik Presiden Prabowo Subianto akan dibayarkan tahun ini dan tahun depan 120 triliun (money.kompas.com, 24/10/2024).

Sementara, masyarakat yang ekonominya di bawah bahkan jauh di bawah para pangusaha itu, justru tampak dikejar-kejar agar bisa membayar pajak tepat pada waktunya. Padahal, untuk memenuhi kebutuhan primer saja masyarakat banyak yang masih tertatih-tatih, belum lagi kebutuhan sekunder dan juga tersier. Kondisi seperti ini telah menjadi bukti bahwa negara cenderung mengistimewakan para pengusaha. Terbukti dari sikap negara yang lebih melunak dalam menghadapi para pengusaha perusahaan dengan berbagai program keringanan pajak, seperti tax holiday, tax amnesty, dan yang lainnya. Berbeda dengan kebijakan pajak yang diberikan pada rakyat, di mana rakyat harus membayar pajak dari berbagai macam bentuk yang bahkan terus mengalami kenaikan. Slogan 'Orang Bijak Taat Bayar Pajak' pun seolah menjadi kata-kata penyemangat yang harus mereka ingat setiap harinya agar tidak lupa dalam  membayar pajak.

Negara yang menerapkan sistem kapitalisme sekuler ini sengaja membuat sulit setiap warga negaranya yang telat atau belum membayar pajak, dengan menyulitkan urusan mereka yang lainnya. Sehingga, mau tidak mau, masyarakat pun berusaha membayar pajak tepat waktu, walau mereka harus tertatih-tatih bahkan hingga terpaksa mengorbankan kebutuhan primer mereka yang seharusnya mereka dapatkan. Belum lagi masih banyak masyarakat yang bahkan untuk memenuhi kebutuhan primernya saja tidak mampu, apalagi untuk membayar pajak. Fakta ini seharusnya menyadarkan setiap masyarakat jika negara hukum yang didalamnya memberlakukan sistem kapitalisme sekuler terbukti menerapkan kebijakan hukum secara tebang pilih. Penegakan hukum yang diberlakukan di sistem kapitalis diibaratkan 'tajam ke bawah, tumpul ke atas' di mana hukum akan melunak jika dihadapkan kepada kalangan kaya seperti pengusaha, sedangkan hukum akan menjadi tegas jika berhadapan dengan masyarakat di kalangan menengah hingga ke bawah. 

Perbedaan perlakuan dalam penerapan kebijakan hukum seperti pajak, ketika berhadapan dengan perusahaan dan individu merupakan suatu tindakan sewenang-wenang yang tentunya menzalimi rakyat. Terlebih lagi, ketika hal ini bisa menghambat kebutuhan rakyat yang membuat rakyat semakin sengsara. Sementara, selain kebijakan pajak, banyak juga kebijakan-kebijakan lain yang juga tidak adil terhadap masyarakat kalangan menengah ke bawah. Masyarakat perlu tahu, bahwa seperti inilah hakikat sifat dari sistem kapitalisme itu sendiri yang memang tidak bisa berbuat adil, apalagi memberikan keadilan dengan seadil-adilnya, tentu hal itu sangat mustahil.

Berbeda dengan Islam. Islam dengan seperangkat aturan yang lengkap dan sempurna mampu memberikan hukum ataupun kebijakan yang begitu adil kepada setiap masyarakat. Hukum yang diberlakukan dalam Islam pun tidak pandang bulu. Dalam sistem Islam, tidak ada perbedaan dalam pelaksanaan hukum baik terhadap penguasa, pejabat tinggi negeri, pengusaha, hingga masyarakat biasa. Sehingga sistem tebang pilih hukum seperti yang terjadi saat ini, tidak akan di dapati dalam sebuah negara yang memberlakukan sistem Islam.

Selain itu, pemasukan kas negara dalam sistem Islam akan diambil dari berbagai sumber, salah satunya dari pengelolaan sumber daya alam yang dikelola langsung oleh negara. Hasil dari pengolahan sumber daya alam tersebut, nantinya akan membantu memenuhi kebutuhan rakyat maupun negara. Sehingga, rakyat pun akan terjamin kebutuhannya. Terlebih lagi, mereka tidak perlu pusing setiap saat memikirkan kewajiban membayar pajak. Karena, pemberlakuan pajak dalam Islam hanya bersifat temporal/sementara, tidak seperti dalam sistem kapitalis yang bersifat paten. Pajak dalam Islam, hanya akan dipungut dalam kondisi tertentu saja. Seperti kondisi ketika kas Baitul Mal kurang atau kosong, sedangkan ada kebutuhan pokok umat ataupun negara yang belum terpenuhi dan sangat mendesak. Walaupun begitu, kewajiban pajak pun tidak diberlakukan pada setiap individu rakyat, tetapi hanya diberlakukan pada orang Muslim yang kaya saja.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Zahra K. R.
(Aliansi Penulis Rindu Islam)

0 Komentar