MutiaraUmat.com -- Maraknya perkawinan anak dianggap sebagai penghalang dalam terbentuknya generasi yang berkualitas, penghambat pembangunan, dan faktor pendorong penurunan kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia sendiri, perkawinan anak mungkin menjadi hal yang lumrah bagi sebagian kalangan.
Bukan tanpa sebab. Banyaknya kasus perkawinan anak kerap kali berkaitan dengan himpitan ekonomi keluarga (kemiskinan). Anak menjadi obyek jalan keluar dari faktor kemiskinan keluarga. Dengan harapan, ketika sudah menikah kehidupan anak tersebut menjadi lebih sejahtera.
Saat ini juga tidak mengherankan, bahwa perkawinan anak menjadi jalan keluar dari kasus hamil di luar nikah, sebab pergaulan bebas yang merajalela. Dengan pernikahan tersebut, seolah menjadi tameng untuk melindungi kehormatan keluarga.
Dari sini, perkawinan anak mendapat mendapatkan tudingan, sebagai penyebab buntut panjang dari kasus putus sekolah, tingginya angka perceraian, kematian ibu dan bayi, terjadinya stunting, dst. Sehingga pemerintah saat ini menyoroti ‘perkawinan anak’ ini, dan menilai hal tersebut harus dicegah dan dientaskan.
Untuk mencapai hal tersebut, pemerintah perlu untuk mengangkat remaja sebagai agen pencegah perkawinan anak. Sebagai bentuk aksinya, pemerintah mengadakan ‘Seminar Nasional Cegah Kawin Anak’ di Semarang pada Kamis(18/09/2024).
Kegiatan tersebut dihadiri oleh ratusan siswa dari MAN 1 Semarang, MAN 2 Semarang dan beberapa SMA swasta lainnya. Kegiatan ini menjadi bukti sekaligus upaya pemerintah dalam mencetak agen perubahan untuk mencegah perkawinan anak. Program pencegahan kawin anak bagi anak-anak usia sekolah MA sendiri, menjadi fokus Kemenag, sebagaimana yang dikatakan oleh Agus Suryo S. Selaku Kasubdit Bina Keluarga. (
kemenag.go.id)
Sebelumnya, pemerintah menggelar acara ‘Workshop Gerak Penghulu Sejuta Catin Siap Cegah Stunting Zona 1’ pada Selasa(17/09/2024). Kegiatan ini diadakan secara daring oleh BBKBN bersama asosiasi penghulu republik indonesia(APRI). Dalam acara tersebut, Toto Supriyanto, Ketua Tim Kepenghuluan Kemenag Provinsi Jawa Barat, memaparkan 7 cara yang bisa dilakukan penghulu untuk membimbing para calon pengantin sejak masa perencanaan pernikahan, dalam mencapai pelaksanaan intervensi spesifik pencegahan stunting.
Sementara itu, Riswanto dari APRI, menuturkan bahwa penghulu dapat memanfaatkan platform media sosial sebagai tempat penyososiliasian program pemerintah ini melalui visual dengan bentuk desain infografis.(
kemenag.go.id)
Benarkah Demikian?
Kesimpulan ini dari penyebab terjadinya berbagai persoalan hari ini yang ditujukan pada perkawinan anak, sungguh ironis. Pasalnya, saat ini remaja juga dihadapkan pada derasnya arus pornografi dan kebijakan yang pro seks bebas.
Tidak adanya pembatasan postingan, menjadikan mudahnya seseorang dalam menjumpai konten-konten porno pada sosial media. Yang jelas hal ini dapat merangsang syahwat seseorang. Bagi para pelaku yang masih membujang, pemerintah justru memberi wadah penyalurah syahwat mereka melalui kebijakan pro seks bebas. Salah satunya yakni melalui UU yang membolehkan zina, dengan syarat belum menikah. Belum lama ini juga pemerintah justru memfasilitasi para remaja dengan alat kontrasepsi.
Gerakan pemerintah dalam mengatasi masalah hari ini, seharusnya terfokuskan pada kebijakan yang mencegah anak dalam pergaulan bebas, bukan mengkambing hitamkan perkawinan anak , kemudian mencegahnya. Dalam kasus ini, anak didefinisikan sebagai seseorang yang masih di umur 18 tahun, bukan definisi anak secar syara’, yakni ketika seseorang sudah mencapai aqil baligh, sehingga sebenarnya, perkawinan mereka sah menurut syara’.
Upaya pencegahan perkawinan anak, sejatinya propaganda Barat dalam menghancurkan keluarga muslim melalui amanat SDGs yang merupakan program Barat yang harus diterapkan di negeri-negeri muslim. Program tersebut, tentu bercokol pada paradigma Barat yang jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Target yang akan dicapai salah satunya yakni pengentasan stunting dan pencegahan pernikahn anak, yang dijadikan proyek nasional dalam RPJMN 2020-2024.
Sudut Pandang Islam
Lain halnya dengan islam, Islam memiliki aturan yang sangat terperinci & mendetail soal kehidupan manusia. Melalui negara berbasis Islam, negara akan menjaga penerapan berbagai aktivitas untuk tetap dalam koridor syariat. Berbagai persoalan yang muncul sebab diterapkannya sistem kufur, Sekuler-Kapitalis pun dapat terselesaikan hanya dengan Islam.
Maka, dalam sistem pergaulan antara lelaki dan perempuan, Islam mengaturnya, yakni seperti adanya larangan tabarruj bagi wanita, perintah untuk menundukkan pandangan, larangan kholwat dan ikhtilat, dll. Islam juga mengatur muamalah antar lelaki dan wanita hanya dalam 4 perkara yaitu, jual beli, pendidikan, kesehatan, dan kesaksian. Sehingga dengan hal itu, terjadinya pergaulan bebas dapat tercegah.
Adapun pernikahan, Islam menilai tidak hanya sebagai tempat pemuasan hawa nafsu semata. Namun juga sebagai bentuk pelaksanaan ibadah dan perintah Allah dan Rasul-Nya. Pernikahan menjadi bentuk penjagaan kehormatan dari Allah kepada hamba-Nya. Melalui pernikahan seorang muslim dapat terpenuhi kebutuhan nalurinya tanpa menjatuhkan kehormatannya. Pernikahan sendiri, boleh dilakukan tatkala seseorang sudah mencapai aqil baligh.
Dengan hal itu, seseorang dapat terhindar dari perzinahan. Maka, jelas, pencegahan perkawinan anak justru bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Selain itu, Islam akan menjadikan media sosial hanya sebagai wasilah dalam menguatkan kepribadian Islam, menyaring tiap tontonan yang akan disajikan. Pun dalam sistem ekonomi, Islam akan menjamin terwujudnya kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian, islam mampu menjaga generasi dari berbagai kerusakan hari ini. Dan perlu kita tahu, bahwa penerapan islam secara menyeluruh hanya bisa melalui Daulah Khilafah.
Oleh: Darisa Mahdiyah
Aktivis Muslimah
0 Komentar