Kerusuhan Bangladesh, Umat Butuh Perubahan Hakiki


MutiaraUmat.com -- Kemerdekaan Bangladesh dideklarasikan pada 26 Maret 1971. Bangladesh adalah negara muslim terbesar kelima di dunia. Penduduknya hari ini mencapai 170 juta jiwa. Namun mirisnya, seperlima dari populasi itu adalah pengangguran. Kemiskinan pun menjadi fenomena biasa.

Pengangguran yang sangat banyak membuat rakyat frustasi untuk mendapatkan hidup yang layak. Sebab aturan negara pun berpihak pada sebagian orang yang dianggap sebagai keluarga veteran. Mereka ini merupakan keturunan para pejuang kemerdekaan Bangladesh. Keluarga veteran ini mendapatkan kesempatan untuk PNS lebih besar dari rakyat biasa. Mereka ibarat kelompok elit yang mendapatkan perlakuan istimewa dari undang-undang negara.

Ketidakadilan hukum negara membuat rakyat marah. Para pengunjuk rasa melemparkan batu bata dan batu ke arah polisi yang membalas dengan tembakan senapan, gas air mata dan granat suara.

Kebakaran di mana-mana, kendaraan-kendaraan yang terbakar dan dirusak ditinggalkan di jalan, barikade yang didirikan oleh polisi serta pengunjuk rasa membongkar penghalang jalan baja dan mematahkan ranting-ranting yang berserakan di jalan. Korban nyawa pun berjatuhan, banyak yang mengalami luka, dan fasilitas umum pun hancur.

Ini merupakan demonstrasi yang terbesar sejak Perdana Menteri Sheikh Hasina terpilih kembali untuk keempat kalinya berturut-turut tahun. Ribuan mahasiswa turun ke jalan menuntut diakhirinya sistem kuota yang menyediakan hingga 30% pekerjaan di pemerintahan bagi keluarga veteran yang berperang dalam perang kemerdekaan Bangladesh (CNBC, 21/7/2024).

Apa yang terjadi di Bangladesh kini hampir sama dengan kejadian reformasi 1998 di negeri kita, Indonesia. Juga mirip dengan kerusuhan yang terjadi di beberapa wilayah timur tengah. Sayangnya semuanya hanya melahirkan perubahan semu semata. Kemarahan masyarakat berakhir dengan tragis, nyawa pun jadi taruhan. Pergantian kepemimpinan pun terjadi. Akan tetapi sebagaimana yang terjadi di negeri kita, demonstrasi dulu ternyata belum lah menghasilkan perubahan yang berarti. Sebab turunnya penguasa dari kekuasaan tidak otomatis mengubah kehidupannya rakyat selama aturan hidup tetap sekuler dan sistem yang diterapkan tetap demokrasi kapitalis.

Buktinya hari ini, setelah seperempat abad reformasi keadaan Indonesia tidaklah lebih baik. Kemiskinan terus bertambah, pengangguran membludak, dan paling miris hutang luar negeri tidak berkurang malah terus menggunung. Lebih tragis lagi setelah reformasi, kekayaan alam negara kita makin terkikis habis dijarah asing atas nama investasi yang terus dijajakan oleh penguasa negeri.

Ini terjadi karena pasca reformasi, sistem sekuler yang menjauhkan agama dari kita tetap menjadi aturan hidup. Semua persoalan hidup diselesaikan dengan undang-undang buatan manusia, sementara aturan Allah justru ditinggalkan. Lebih parah lagi, orang-orang yang menyerukan kebenaran dipersekusi dengan sebutan radikal dan ekstrimis. Orang-orang yang mengkritisi kebijakan penguasa pun dibungkam dan masuk bui.

Seharusnya Bangladesh mengambil pelajaran dari reformasi Indonesia tahun 1998 dan dari revolusi berdarah negara-negara timur tengah. Perjuangan yang ada hari ini tidak boleh sekedar pergantian penguasa, apalagi jika ujung-ujungnya rakyat tetap sengsara seperti pepatah "keluar dari mulut buaya masuk ke mulut harimau". 

Umat Islam adalah umat yang satu. Perjuangannya juga satu yaitu meninggikan kalimat Allah dengan menerapkan aturan Islam dalam kehidupan. Aturan terbaik itu adalah Islam. Allah SWT berfirman yang artinya, "Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?Wallahu a'lam. []


Nurjannah Sitanggang
Aktivis Muslimah

0 Komentar