Fatamorgana Anggaran Ketahanan Pangan, Besar tetapi Tak Signifikan
MutiaraUmat.com -- Pemerintah menganggaran Rp124,4 triliun pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN 2025 untuk mewujudkan harapan yang seringkali digadang-gadang; memperkuat ketahanan pangan. Anggaran tersebut didistribusikan untuk sisi pra-produksi, produksi, distribusi, pemasaran, hingga konsumen.
Rancangan anggaran yang akan dialokasikan untuk program Makan Bergizi Gratis pada tahun 2025 adalah sekitar Rp71 triliun atau 0,29 persen terhadap PDB, yang termasuk biaya makanan, distribusi (safe guarding), dan operasional lembaga yang menangani program Makan Bergizi Gratis. (antaranews.com, 16/8/2024)
Pengamat Pertanian Syaiful Bahari menilai orientasi RAPBN untuk ketahanan pangan di 2025 lebih banyak mengalokasikan cadangan pangan dan bantuan sosial pangan. Lebih jauh Syaiful menilai, tidak ada upaya serius dari pemerintah memperbaiki produktivitas pertanian, mulai dari hulu sampai hilir. Misalnya penyediaan pupuk dan bibit berkualitas yang di mana anggarannya terus berkurang. Demikian juga di pasca panen, Indonesia tertinggal jauh dari negara-negara lain dalam pasca panen, sehingga produk pertanian dalam negeri sulit bersaing dengan negara lain. Belum lagi pembangunan infrastruktur pertanian, seperti bendungan yang tidak tepat sasaran, karena irigasi tersiernya tidak dibangun, akibatnya mubazir. (mediaindonesia, 16/8/2024)
Keluhan yang Terus Berulang
Hal yang seringkali dikeluhkan oleh para petani salah satunya adalah betapa sulitnya mendapatkan pupuk bersubsidi. Hal ini sudah menjadi masalah klasik dan selalu terjadi di setiap musim tanam dan terus berulang.
Regulasi yang "ribet" dan sering berubah-ubah dan tanpa sosialisasi kepada para petani menjadikan masalah tersendiri di kalangan petani. Untuk mendapatkan pupuk bersubsidi, petani harus bisa menunjukkan Kartu Tani. Tanpa kartu itu, para petani harus merogoh kocek lebih dalam karena harus membeli pupuk dengan harga normal yang sulit dijangkau.
Berbeda dengan musim tanam sebelumnya, petani harus menunjukan KTP asli berikut fotokopinya dan mau difoto sebagai penerima subsidi pupuk murah. Namun, bagi mereka yang tidak tercantum dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), tidak akan dilayani untuk mendapatkan pupuk subsidi.
Tidak sampai disitu permasalahannya, petani yang mendapatkan pupuk dengan harga subsidi, itupun dibatasi. Mereka hanya mendapat setengahnya dari kebutuhan pupuk setiap musim tanamnya. Padahal, para petani itu tetap harus mengeluarkan uang untuk membeli pupuk subsidi bukan mendapatkannya secara gratis.
Dari sisi produksi, sektor pertanian pangan khususnya produksi padi menghadapi tantangan yang cukup besar. Ini mengurangi minat petani untuk mengembangkan usahanya. Survei menunjukkan bahwa petani terpaksa meminjam uang kepada individu, kepada bank dan sisanya ke lembaga keuangan lain seperti koperasi. Hal itu membuat banyak petani kesulitan dalam berproduksi sehingga sebagian terjerat oleh pinjaman rentenir yang menawarkan bunga tinggi. Bahkan, sejumlah petani harus terpaksa menjual lahannya dan beralih menjadi buruh tani, sungguh ironi!
Islam Menjamin Ketahanan Pangan
"Orang bilang tanah kita tanah Surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman," begitulah katanya Indonesia. Letak strategis Indonesia yang diapit oleh 2 samudra juga benua menjadikan Indonesia sangat subur dan melimpah kekayaan alamnya. Dengan begitu, seharusnya Indonesia sudah mampu menjadi negara yang memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Tak perlu lagi bergantung pada kekuatan impor.
Namun, dengan sederet PR yang harus dituntaskan oleh pemerintah lalu melihat fakta di lapangan, rasa-rasanya mewujudkan Indonesia sebagai negeri lumbung padi masih sebatas mimpi.
Dalam perspektif Islam, ketahanan pangan merupakan persoalan penting bagi negara, bahkan menyangkut kedaulatan negara. Sehingga, negara mendorong penuh produksi barang kebutuhan pokok guna menjaga ketersediaan barang serta kestabilan harga. Biaya modal untuk mendukung produksi, seperti benih terbaik, pupuk, serta sarana dan prasarana pertanian, dapat diperoleh dari Baitul Mal jika petani mengalami kesulitan dengan secara cuma-cuma tanpa harus melalui proses regulasi yang berbelit-belit.
Dalam negara Islam biaya produksi menjadi lebih efisien karena tidak ada biaya sewa lahan pertanian yang memang dilarang dalam syariah. Tanah juga dijaga produktivitasnya dengan larangan atas pemiliknya menelantarkan lahan pertanian selama lebih dari tiga tahun. Negara juga bertanggung jawab dalam mendistribusikan tanah kepada mereka yang membutuhkan dan mampu menggarap tanah. Negara juga memberikan dukungan untuk mengadopsi input pertanian terbaik serta teknologi terkini agar hasil pertanian dapat ditingkatkan produktivitasnya secara lebih efisien.
Pada masa Daulah Islam, sektor pertanian diperhatikan dengan serius karena merupakan salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh negara bagi setiap penduduknya, tanpa terkecuali.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Irna Purnamasari
Aktivis Muslimah
0 Komentar