Wacana Larangan Investigasi, Jurnalis: Banyak Pihak Takut Belangnya Terungakap

MutiaraUmat.com -- Merespons aturan dalam wacana revisi Undang-Undang Tentang Penyiaran (RUU Penyiaran) yang akan melarang penanyangan eksklusif jurnalisme investigasi, jurnalis senior Mujiyanto menilai hal itu dikarenakan banyak pihak yang takut belangnya (kasusnya) terungkap oleh pers. 

"Nah ini saya kira itu (investigasi) sangat dikhawatirkan oleh pihak-pihak (banyak pihak) yang takut ya belangnya itu terungkap oleh pers," tuturnya dalam Kabar Petang, Selasa (21/5/2024) di Kanal YouTube Khilafah News. 

Dia menilai bahwa memang tampaknya apa yang dilakukan oleh media sekarang dengan kebebasannya itu juga mengkhawatirkan rezim yang sekarang dan yang akan datang karena banyak hal yang sebelumnya menjadi kontroversial, saat pergantian rezim nantinya bisa muncul kembali ke permukaan (terungkap ke publik) dengan aktivitas pers/investigasi gitu. 

Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa itu (wacana larangan investigasi jurnalisme) adalah satu upaya dari pihak-pihak tertentu. Sebab beberapa waktu lalu muncul alasan dari seorang anggota DPR bahwa investigasi itu akan tidak diperbolehkan dengan alasan itu akan mengganggu penyidikan, misalnya di Kepolisian atau di Kejaksaan dan lainnya. Namun, tidak diketahui alasan sebenarnya di balik itu semua. 

"Tetapi kita bisa meraba sebagai kalangan pers bahwa selama ini pers itu mampu menyajikan investigasi-investigasi yang membuat orang tercengang bahkan membuat aparat negarapun itu baru tahu terhadap berbagai peristiwa-peristiwa dari hasil investigasi. kan dalam "membuat malu" lah aparat negara gitu ya. Yang kedua adalah bahwa banyak di kalangan investigator dari kalangan jurnalis ini menyajikan hal-hal yang memang jauh maju ke depan dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh pihak-pihak lain di luar dari pers," paparnya. 

Hal itulah menurut Mujiyanto bisa membua aparat negara menjadi seolah-olah kalah dalam persaingan. Walaupun tidak dapat diketahui yang sebenarnya, tetapi yang jelas bahwa dengan adanya pelarangan ini, akan membuat dunia pers itu menjadi mandul/tidak bisa berbuat apa-apa. Hal itu karena ujungnya nanti bahwa pers itu hanya akan memberitakan sesuatu yang datang dari pihak-pihak resmi bukan dari hasil investigasi. 

Kalau sudah seperti itu, lanjutnya maka semua informasi hanya datang dari satu arah. Padahal dunia pers itu tidak mudah percaya begitu saja, apakah yang datang dari satu arah itu pasti benar meskipun itu dikemukakan oleh lembaga resmi. Karena itulah pers mungkin akan mencari tahu. Sehingga kalau kemudian upaya mencari tahu, upaya menginvestigasi ini kemudian dilarang, maka pers sudah tidak ada gunanya lagi. Pers itu hanya seolah-olah menjadi humas saja dari lembaga-lembaga resmi yang ada. 

"Nah jadi masyarakat akan mendapatkan hal-hal yang akhirnya remeh-temeh dan tidak mendalam. Kita tahu bahwa karakteristik dari jumpa pers, karakteristik dari humas itu adalah menyampaikan hal-hal yang sifatnya permukaan, tidak mendalam. Nah hal-hal yang mendalam inilah yang kemudian "dimakan lah" oleh media massa dengan melakukan investigasi. Nah kalau ini dilarang berarti nanti akhirnya yang terjadi adalah masyarakat enggak akan tahu banyak tentang hal-hal di balik layar. Tentang hal-hal pelanggaran yang disembunyikan, yang itu hanya akan muncul dengan investigasi," paparnya. 

Dia menegaskan kalau itu (revisi uu pers) di sahkan dan tidak ada koreksi, maka masyarakat itu hanya seperti mendengarkan pidato dari pejabat negara atau orang-orang resmi saja, dan akhirnya pers seakan tidak berguna lagi. Padahal salah satu fungsi pers itu adalah kontrol sosial. Pers juga tidak sekadar media informasi tapi juga merupakan media untuk kontrol sosial. Kontrol sosial dari masyarakat kepada negara. Kontrol sosial masyarakat kepada wakilnya dan seterusnya. 

"Nah fungsi ini akan semakin hilang kalau jurnalisme investigatif itu dihilangkan. Saya kira itu apa namanya hal yang akan didapatkan kalau ini tidak dikoreksi gitu dan akan terjadi monopoli informasi dari satu arah. Hal ini saya kira tidak baik bagi perkembangan masyarakat kita gitu," cemasnya. 

Negara Jadi Otoriter? 

Terkait dugaan potensi negara akan otoriter dibalik pelarangan investigasi jurnalisme itu, ia menilai hal itu sangat mungkin terjadi karena dengan media  yang dipegang semuanya umtuk menyampaikan informasi yang hanya dari negara saja. "Apa bedanya kemudian negara ini dengan komunis yang menjadi negara yang diktator, otoriter, dan orang lain tidak boleh bersuara yang berbeda?," tukasnya. 

"Nah ini yang ini yang kita akan khawatirkan karena tampak sekali bahwa salah satu pilar sekarang kalau orang bicara tentang demokrasi, pilar yang masih hidup sekarang dalam demokrasi itu adalah pers, yang lain-lain pilarnya mungkin sudah bisa terkooptasi ya, mungkin sudah mulai goyang kanan goyang kiri, satu arah saja tidak berani. DPR misalnya, tidak berani mengkritik pemerintah padahal fungsi dia adalah kontrol, tetapi sudah hilang," imbuhnya. 

Lebih lanjut, dia mengatakan yang bisa melakukan kontrol sekarang tinggal pers/jurnalis. Kalau kemudian kontrol sosial melalui media massa ini juka dipangkas, maka yang terjadi adalah negara bisa otoriter. Bisa sangat mungkin negara itu akan mendominasi dan menutup semua akses-akses yang menginginkan hal yang sebenarnya terjadi. 

"Nah ini yang butuh kritik sosial dan kritik sosial itu butuh media massa yang berani untuk menyuarakan kebenaran gitu. Nah ini yang saya kira perlu untuk kemudian menjadi perhatian karena itu kalau sampai undang-undang ini disahkan tentu pasti akan terjadi gejolak. Kalau kemudian Gejolak ini tidak diakomodasi maka ini adalah tanda-tanda negara menuju diktator gitu, otoritarian gitu ya yang kemudian membungkam pers," pungkasnya.[] Rasman

0 Komentar