UKT Mencekik, Visi Pendidikan Tak Jelas


MutiaraUmat.com -- Setelah sempat memanas soal kenaikan UKT beberapa waktu lalu diantaranya yang terjadi di beberapa PTN seperti Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Universitas Negeri Riau (Unri), dan Universitas Sumatera Utara (USU Medan. Polemik kenaikan UKT ini dinilai oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbud Ristek Tjitjik Sri Tjahjandarie sebagai sesuatu yang wajar guna untuk meningkatkan mutu pendidikan dan terpenuhinya fasilitas pendidikan tersier PTN (CNBC Indonesia, 19/5/2024).

Ia juga menyebutkan bahwa biaya pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa digratiskan seperti negara lain. Sejalan dengan hal ini sebenarnya bahwa seluruh biaya yang ada di PTN merujuk pada Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT). Perubahan PT menjadi PTN BH ikut berpengaruh dalam menentukan UKT.


Komersialisasi Pendidikan ala Kapitalisme

Di Indonesia sendiri jaminan pendidikan sudah tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun dengan semakin mahalnya biaya pendidikan menjadi bukti nyata bahwa negara tidaklah benar-benar memberikan pelayanan terbaik kepada rakyatnya.

Seharusnya difasilitasi dan diberi kemudahan malah dikomersialisasi dengan alasan untuk meningkatkan hal-hal yang bersifat teknis. Hal yang fundamental hari ini adalah bagaimana negara memberikan pendidikan berkualitas tanpa memberikan level kelas-kelas tertentu. Baik miskin dan kaya tidak boleh ada gap dalam memperoleh pendidikan.

Salah satu hal yang mempengaruhi konsisi PT adalah adanya program WCU (World Class University) yang mengharuskan adanya syarat-syarat tertentu yang tentu membutuhkan biaya yang mahal, termasuk konsep triple helix yang menjalin kerja sama antara pemerintah, perusahaan, dan perguruan tinggi, sehingga membuat orientasi tak lagi pendidikan, namun lebih banyak memmenuhi tuntutan dunia industri.

Pendidikan tidak lagi diarahkan untuk memperbaiki peradaban namun orientasinya adalah bisnis. Akhirnya output dari perguruan tinggi hanya menjadi budak korporasi alih-alih memperbaiki kehidupan bangsa secara universal namun hanya berfokus kepada dirinya. Orientasi materi hanya akan melahirkan generasi yang apatis terhadap kondisi negara yang hari ini yang carut marut.

Belum lagi beban mental dari hasil pendidikan ala kapitalisme hari ini sukses mengantarkan peserta didik memiliki mental yang rapuh. Kita dapat melihat hari ini banyak sekali kasus mahasiswa yang tertekan kemudian memutuskan mengakhiri hidupnya. Sungguh ironi!


Negara Wajib Memberikan Pendidikan Terbaik

Jika dalam sistem kapitalisme pendidikan tinggi yang berkualitas dan siap bekerja adalah sesuatu yang sulit diraih. Beda halnya dengan Islam yang memandang bahwa pendidikan adalah tanggung jawab negara bahkan negara harus memberikan kemudahan dengan fasilitas terbaik tentunya.

Dalam sistem Islam pendidikan murah dan berkualitas semua dibiayai oleh negara yang diperoleh dari Baitul Mal yakni pos fa'i dan kharaj serta pos milkiyyah 'ammah yang memang ditujukan untuk pembiayaan sektor pendidikan. Yang juga berperan dalam pembiayaan pendidikan dalam Islam adalah wakaf dari orang yang kaya (aghniya) dan mencintai ilmu. Mereka menyediakan pendidikan gratis, pengembangan sains dan riset. Individu yang kaya ini terdorong atas landasan ruhiyah dan dikondisikan oleh negara untuk mendermakan hartanya untuk dunia pendidikan semata-mata mengharap pahala dan ridha Allah ta'ala. Maka tak heran kita sering mendengar cerita ketika Islam tegak saat itu banyak orang-orang kaya memberikan hartanya untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.

Pendidikan tinggi dalam Islam bertujuan untuk membangun kapasitas keilmuan, bukan memenuhi tuntutan industri. Negara berupaya keras untuk mencerdaskan rakyatnya semata-mata untuk membangun peradaban manusia yang berkarakter Islami bukan berorientasi materi tanpa dilandasi oleh ruh Islam. Kesadaran seorang Muslim yang berilmu adalah bagaimana mereka menjadi seorang pembelajar untuk dirinya namun memberikan pengaruh juga terhadap perbaikan manusia.

Kita dapat berkaca ketika peradaban Islam eksis selama kurang lebih 13 abad, sukses mencetak generasi sekelas Al Khawarizmi, beliau seorang ahli matematika, dikenal Barat dengan Algebra atau Aljabar. Dengan kecerdasannya, beliau merumuskan hitungan matematika jauh lebih mudah dengan angka nol ketika kala itu Peradaban Romawi masih menggunakan angka romawi yang susah dipelajari.

Juga Ibnu Sina yang dijuluki Bapak kedokteran dunia. Ibnu Sina atau dikenal Avicenna, Ibnu Rusyd, Al-Farabi, dan lainnya menjadi bukti bahwa ulama pada masa peradaban Islam tidak melulu lihai dalam ilmu agama, namun juga menguasai ilmu umum, sains dan teknologi. Generasi seperti ini lahir dari sistem yang baik, mengkondisikan mereka mengenyam pendidikan terbaik didukung dengan sistem kehidupan yang baik kala itu. Sistem Islam yang menjadikan akidah Islam sebagai pondasinya. Masya Allah. Tentu kita merindukan masa itu.

Mengutip perkataan Imam Syafi'i, "Siapa yang menghendaki kehidupan dunia, maka harus disertai dengan ilmu. Dan siapa yang menghendaki kehidupan akhirat, juga harus dengan ilmu". Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Nurhayati, S.S.T.
(Aktivis Muslimah)

0 Komentar