UKT Melangit, Cermin Paradoks Pendidikan di Indonesia


MutiaraUmat.com -- Carut marut masalah pendidikan di Indonesia bukan hal yang baru. Berbagai kebijakan, perubahan kurikulum, metode pembelajaran, dan sistem birokrasi banyak dilakukan namun belum mampu meningkatkan kualitas pendidikan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa lembaga pendidikan saat ini kerap menjadi ladang bisnis. Berbagai pungutan dengan bermacam kedok sering dibebankan kepada orang tua peserta didik.

Pemerintah selalu menggaungkan pendidikan murah dan gratis, faktanya ongkos pendidikan semakin tinggi. Di tingkat SD hingga SMA, untuk sekolah negeri memang bebas biaya, namun bukan berarti orang tua tidak mengeluarkan uang. Masih ada biaya seragam, LKS, kelulusan dan lain-lain. Sedangkan untuk sekolah swasta yang diharapkan kualitasnya lebih baik, orang tua harus merogoh saku lebih dalam lagi.

Terparah, di tingkat universitas, diberlakukan sistem pembayaran UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang penerapannya amburadul dan banyak menuai kritik. UKT ditetapkan berdasarkan kemampuan orang tua atau wali mahasiswa, namun tak jarang ditemukan UKT yang lebih tinggi justru dibebankan pada orang tua dengan pendapatan yang lebih rendah. Sistem ini adalah salah satu dampak dari pengalihan status Universitas Negeri menjadi PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum). Inilah bentuk nyata komersialisasi pendidikan di negara Indonesia.

Mirisnya lagi, pada awal semester ganjil tahun ajaran baru 2024/2025 ini, UKT beberapa PTN diumumkan naik. Pemerintah melalui menteri pendidikan Nadiem Makarim mengkonfirmasi kenaikan tersebut, "Jadi peraturan Kemendikbud ini tegaskan bahwa peraturan UKT baru ini, berlaku kepada mahasiswa baru. Tidak berlaku untuk mahasiswa yang sudah belajar di perguruan tinggi," kata Nadiem dalam rapat kerja Komisi X DPR pada Selasa 21 Mei 2024 (kompas.com, 21/05/2024).

Kendati pemerintah menegaskan bahwa kenaikan UKT hanya bagi mahasiswa baru, hal itu bukanlah hal yang melegakan bagi masyarakat Indonesia khususnya mahasiswa dan para orang tua. Kenaikan UKT jelas makin mencekik leher rakyat. Alih-alih menjawab impian pendidikan gratis, pemerintah memaksa masyarakat mengeluarkan biaya mahal demi pendidikan anak-anaknya. Rakyat bagaimana bagaimana disuguhi buah simalakama, kuliah dengan biaya mahal, atau membiarkan anak-anak tidak masuk universitas. Sementara itu, persaingan dunia kerja makin ketat. Yang berpendidikan tinggi saja sulit mendapat pekerjaan layak, apalagi yang berpendidikan rendah.

Sejatinya, pendidikan adalah pilar utama bagi masa depan sebuah negara. Pemerintah harusnya menyadari bahwa kemajuan dan kemakmuran bangsa dan negara berada di tangan generasi penerus. Kemudian dengan kesadaran tersebut, harusnya tak segan memberikan pendidikan gratis yang berkualitas, yang mampu mencetak calon-calon pemimpin yang tangguh di masa depan. Mahalnya pendidikan menunjukkan bahwa pemerintah tidak memikirkan masa depan negara. Kebijakan yang diambil sebatas aturan pragmatis yang berorientasi keuntungan komersil. Inilah keniscayaan dalam sebuah sistem kapitalis. 

Di sisi lain, pemerintah secara sadar telah menetapkan tujuan pendidikan sejak awal Indonesia merdeka. Tertulis dalam pembukaan UUD 1945 kalimat "mencerdaskan kehidupan bangsa". Artinya, membentuk bangsa yang cerdas dan berpendidikan adalah cita-cita negara. Namun faktanya, pendidikan tinggi dan berkualitas hanya bisa dijangkau oleh orang-orang yang memiliki uang. Inilah paradoks abadi pendidikan di Indonesia.

Jika kita renungkan, pendidikan sangat menentukan kondisi sebuah negara. Meskipun sangat miskin, jika pendidikan baik sehingga masyarakatnya cerdas, maka negara tersebut memiliki peluang besar untuk bangkit dan maju. Indonesia sendiri sebenarnya telah memiliki modal dasar yang lebih dari cukup, baik SDA maupun SDM. Sayangnya, modal besar ini menjadi sia-sia ketika sistem yang diterapkan adalah kapitalisme. Maka, cara menyelesaikan masalah pendidikan ini adalah mengganti penerapan kapitalisme dengan sistem yang lebih baik dan merupakan satu-satunya sistem kehidupan yang benar yaitu Islam.

Penduduk Indonesia merupakan Muslim terbesar di dunia. Fakta ini adalah satu potensi tambahan yang sangat penting sebab seorang Muslim harusnya lebih menyadari pentingnya pendidikan. Islam menanamkan betapa pentingnya menimba ilmu dan betapa mulianya para penuntut ilmu.

Negara bersistem Islam akan sangat mengedepankan pendidikan. Sebagaimana sejarah telah mencatat, hampir seluruh penemu penting dalam hal agama maupun sains berasal dari tokoh Islam. Inilah bukti bahwa Islam sangat memperhatikan dan memfasilitasi pendidikan. Pemerintahan Islam sangat menghargai orang yang berilmu dan tidak segan memberi hadiah besar bagi orang yang menghasilkan karya yang bermanfaat bagi umat. 

Ada satu masa ketika harga buku itu dinilai dengan emas, yaitu pada masa kepemimpinan Khalifah Al Makmun. Khalifah memberikan emas kepada Hunain bin Ishak seberat kitab-kitab yang ia salin ke bahasa Arab dengan ukuran yang sama beratnya. Demikianlah pentingnya ilmu dalam islam. Tiada sistem yang lebih baik selain Islam, yang datang dari Sang Khaliq, Allah SWT. Wallahu a’lam bishshawab. []


Oleh: Dinda Kusuma W T
Aktivis Muslimah

0 Komentar