Trending #janganjadidosen, Bukti Dosen Tidak Sejahtera


Mutiaraumat.com -- Akhir-akhir ini media sosial diramaikan dengan tagar #janganjadidosen dikarenakan banyaknya para dosen yang memperlihatkan slip gaji mereka yang dirasa kurang untuk memenuhi biaya kehidupan. 

Hal ini diperkuat dengan hasil survei Serikat Pekerja Kampus (SPK) yang mengungkapkan tentang gaji bersih yang diterima mayoritas dosen tidak kurang dari Rp. 3 juta pada kuartal 2023. Hal ini juga di alami oleh dosen yang telah mengabdi lebih dari 6 tahun di sebuah instansi kampus (Tempo.co, 2 Mei 2024).

Sekitar 76% dosen yang mengikuti survei SPK, mengaku memiliki pekerjaan sampingan selain menjadi dosen untuk mencukupi biaya kehidupan. Pekerjaan sampingan ini menjadikan tugas utama sebagai dosen terhambat dan mengalami penurunan kualitas. 

Menurut pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga, Gitadi Tegas, mengatakan, minimnya upah dosen ini akibat dari tidak optimalnya pengaturan kebijakan pemerintah tentang hal ini. Buntut dari kebijakan ini nantinya, menjadikan lulusan terbaik enggan menjadi dosen.

Tuntutan yang Tidak Sesuai

Terlepas dari survei yang dilakukan SPK, menjadi dosen adalah pekerjaan yang memerlukan pengorbanan yang tidak sedikit. Maka harus di imbangi dengan imbalan yang sesuai dengan apa yang telah dikorbankan sebelumnya. 

Untuk mengejar pekerjaan dosen, tidak sedikit diantara para calon dosen yang masih mengembangkan potensi dirinya dengan menempuh S2 dan S3 dengan biaya yang tidaklah sedikit. 

Selain itu, agar memiliki tingkatan pekerjaan yang baik dalam sebuah instansi, tak jarang juga dosen dituntut untuk memiliki karya yang tembus dalam ranah internasional berindeks setingkat Scopus. Dari sini, selayaknya gaji yang diberikan kepada dosen haruslah optimal sesuai dengan beban dan tuntutan yang diterima oleh dosen.

Pada kenyataannya yang terjadi adalah, gaji dosen tidaklah sesuai dengan tuntutan yang dibebankan kepada dosen. Gaji minim yang diperoleh dosen tidak mencukupi kebutuhan hidup, menjadikan dosen berpikir dua kali untuk mencari pekerjaan sampingan. Maka tak jarang jika dosen memilih proyek-proyek sampingan yang menghasilkan upah lebih besar dibanding mengajar. 

Akibatnya tak sedikit dosen yang mengorbankan waktu mengajarnya dengan modal meninggalkan tugas pada mahasiswanya, untuk memenuhi proyek-proyek sampingan yang upahnya lebih besar daripada upah mengajar di kelas.

Kondisi semacam ini, membuktikan bahwa kebijakan negara tidaklah mampu mensejahterakan dosen. Apabila dosen ingin memiliki upah yang tinggi, maka dosen dituntut untuk memenuhi tugas agar bisa menaiki jabatan yang lebih tinggi, sehingga memiliki upah yang tinggi pula. Hal ini tentu menyulitkan dosen disamping beban mengajar, juga memiliki beban dalam meraih jabatan yang lebih tinggi. 

Akhirnya dosen dipandang hanya sebatas profesi semata. Dan menjadikan banyak lulusan terbaik enggan menjadi dosen dan memilih pekerjaan yang lebih baik dan layak. 

Hal demikian, wajar terjadi pada sistem kapitalisme yang hanya memikirkan untung dan rugi semata. Selain itu pekerjaan dosen tanpa jabatan yang tinggi tidaklah lebih dihargai daripada dosen yang memiliki jabatan yang tinggi.

Kesejahteraan Dosen dalam Dunia Islam

Peraturan Islam merupakan peraturan yang sempurna dan sangat layak untuk diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Dalam Islam, pemilik ilmu sangat dihargai karena memiliki kedudukan yang tinggi terlepas dari jabatan yang ada.

Bahkan, adanya pemilik ilmu, membuat murid dituntut untuk memiliki adab yang baik terhadap pengajar. Dalam Islam, dosen tak hanya sebatas profesi semata. Melainkan, dosen memiliki peran yang penting untuk mencetak generasi emas agar kedepannya dapat meneruskan peradaban Islam. Maka, dosen wajib untuk dihargai, dijunjung tinggi, dan diberikan imbalan yang layak.

Sebagai gambaran, pada masa Khalifah Umar bin Khattab, upah guru sebesar 15 dinar per bulan. 1 dinar sama dengan 4.25 gr emas. Jika disesuaikan dengan harga emas saat ini, satu gram emas seharga Rp. 1.308 jt. Maka 15 dinar seharga Rp. 83,385 jt per bulan.

Pada masa kekhalifahan Abbasiyah, upah pengajar saat itu mencapai 1000 dinar per tahun. Ditambah, apabila pengajar tersebut bisa menghasilkan sebuah buku, maka buku tersebut akan ditimbang. Berat yang dicapai buku tersebut akan disamakan dengan berat emas, sehingga buku yang dihasilkan akan dihargai seberat emas pula.

Penghargaan besar tersebut merupakan bukti bahwa dosen selayaknya dihargai dan dihormati dengan baik. Agar dosen tidak perlu lagi mencari pekerjaan sampingan dan bisa fokus mencetak generasi emas pemimpin bangsa sekaligus bisa fokus mengembangkan potensinya sendiri.

Bagaimana negara bisa memuliakan dosen? Dalam hal ini, Islam memiliki cara tersendiri untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Adanya baitul mal, bisa memuliakan dosen. Sumber dari baitul mal sendiri adalah, ghonimah, fai, kharaj, jizyah, dan pengelolaan SDA secara mandiri tanpa adanya campur tangan swasta. Semua sumber ini akan dikelola dengan baik sehingga bisa memuliakan seluruh rakyatnya termasuk upah dosen. 

Ketika dosen hidup sejahtera, dosen bisa fokus mencetak generasi emas yang sesuai dengan kepribadian Islam, pola sikap dan pola pikir juga sesuai Islam. Maka negara juga terbantu oleh peran dosen yang demikian. Setelah generasi emas ini menyelesaikan pendidikannya, mereka dapat menyebarkan ilmu yang bermanfaat ini dan bukan sekedar mencari uang semata. Maka sudah saatnya kita kembali pada syariah Islam yang akan membawa kesejahteraan dosen. Wallahua'lam bishshawab.[]

Oleh: Hanif Fika
(Aktivis Muslimah)

0 Komentar