Tagar Jangan Jadi Dosen Mewarnai Mayday: Inikah Alarm Sulitnya Mewujudkan Kesejahteraan Pendidik?


MutiaraUmat.com -- Tagar #JanganJadiDosen sempat viral 22 Februari 2024 di X. Sampai awal Maret hal itu masih jadi perbincangan publik. Rendahnya gaji dosen sebenarnya mengonfirmasi kesejahteraan pendidik tidam diwujudkan dalam sistem pendidikan yang ada. Bagaimana bisa diwujudkan jika pendidikan hari ini jadi industri yang dikomersilkan? Di saat yang sama dosen diperas tenaga dan pikirannya tanpa diberikan gaji yang sesuai.

Hal di atas diperkuat dengan penelitian Serikat Pekerja Kampus atau SPK yang dikutip dari Tempo.co (2-5-2024) mengungkap, mayoritas dosen menerima gaji bersih kurang dari Rp 3 juta pada kuartal pertama 2023. Termasuk dosen yang telah mengabdi selama lebih dari enam tahun. Bahkan, 76 persen responden mengaku mengambil pekerjaan sampingan karena gajinya rendah. 

Mayday sepekan yang lalu juga diwarnai aksi SPK yang menyuarakan nasib dosen. Terlebih setelah Mayday adalah peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Bagaimana bisa dosen menjadi pendidik yang fokus jika hidupnya disibukkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya? Karena, faktanya himpitan ekonomi hari ini memang memaksa kepada siapa saja untuk bekerjasama keras, supaya mampu bertahan hidup.

Menyoal Nasib Dosen yang Tidak Kunjung Sejahtera

Gaji pendidik bercanda, padahal pekerjaannya serius. Giliran yang pekerjaannya cuma bercanda tetapi mendapatkan gaji serius. Inilah fakta yang terjadi di negeri ini. Pendidik baik guru maupun dosen gajinya rendah, giliran artis yang pekerjaannya cuma bercanda mendapat gaji ratusan juta bahkan miliaran. Ironi hidup di sistem kapitalisme sekuler, penghibur mendapatkan gaji yang fantastis daripada mereka yang berjuang mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Sebenarnya biaya pendidikan tinggi di negeri ini juga sangat mahal, tetapi ketika mereka lulus, masih banyak yang tidak mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak untuk hidup. Begitu pun dosen yang telah berjuang belajar menempuh S2 juga mendapatkan gaji yang tidak besar. Dikutip dari bbc.com (25-2-2024), sejumlah dosen mengungkapkan gaji mereka yang masih di bawah Upah Minimum Regional (UMR) di media sosial, disertai dengan tagar #JanganJadiDosen. Pengamat pendidikan menyebut gaji dosen rendah dapat berdampak buruk pada kualitas pendidikan di perguruan tinggi.

Menurut hasil survei dari tim riset kesejahteraan dosen dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) yang melibatkan 1.200 dosen dari berbagai institusi yang dikutip dari bbc.com, sebanyak 42,9% menerima gaji yang masih di bawah Rp3 juta per bulan. Padahal, sebagian besar menyatakan harus mengeluarkan biaya hidup per bulan sebesar Rp 3-10 juta. Bahkan, sekitar 12,2% memiliki pengeluaran bulanannya lebih dari Rp10 juta.

Apabila mengamati lebih jauh kondisi pendidikan di negeri ini, wajar jika pemerintah kurang bisa menghargai para akademisi. Pertama, pemerintah hari memiliki sudut pandang sekuler kapitalisme dalam mengelola pendidikan. Dampak dari sudut pandang ini, pemerintah membiarkan pendidikan tinggi diprivatisasi, diliberalisasi, dan dikapitalisasi. Beban biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi dibebankan ke kampus, kampus harus meminimalisir pengeluaranpengeluaran,  seperti gaji dosen dan sebagai. 

Pendidikan adalah hak segala bangsa, bagaimana yang terjadi jika urusan pendidikan diserahkan ke pasar? Dijadikan ladang bisnis dan meraup cuan? Walhasil peserta didik dicekik dengan biaya yang sangat mahal dan gaji dosen rendah. Karena mekanisme perguruan tinggi diserahkan ke pasar dan negara lepas tangan. Para dosen akhirnya tidak lebih seperti buruh yang digaji rendah tetapi memiliki tanggung jawab yang besar dalam memberikan pendidikan kepada mahasiswanya. 

Kedua, sistem kapitalisme menjadikan dosen buruh riset dan abai terhadap tanggung jawab mendidik mahasiswa. Dikutip dari bbc.com, Berdasarkan PP Nomor 15 Tahun 2019, seorang dosen PNS lulusan S2 yang baru memulai kariernya sebagai dosen (golongan IIIb) mendapatkan gaji pokok sebesar Rp2,6 juta. Mereka yang masih berstatus CPNS bahkan hanya bisa membawa pulang 80% gaji pokok tersebut. Baru setelah dua hingga tiga tahun, dosen biasanya mulai mendapatkan tunjangan. Berdasarkan Perpres Nomor 65 Tahun 2007, jumlahnya sebesar Rp 375.000 setelah mereka diangkat jadi Asisten Ahli.

Melihat besaran gaji di atas, banyak dosen beramai-ramai melakukan penelitian dan riset, alasannya demi mendapatkan penghasilan tambahan, sehingga waktunya habis untuk itu. Belum lagi, jika mereka masih mencari pekerjaan sampingan yang mengalihkan tugas utama mereka sebagai akademisi. Inilah akibat jika kondisi dosen tidak sejahtera karena tekanan ekonomi kapitalisme dan rendahnya gaji mereka. 

Ketiga, perjanjian internasional GATS dan WTO menjadikan pendidikan tinggi sebagai komoditas jasa yang dikapitalisasi. Dampak dari kesepakatan internasional perdagangan jasa atau General Agreement On Trade And Service (GATS), pendidikan menjadi salah satu dari 12 komoditas jasa yang dapat diliberalisasi dan diperdagangkan. Indonesia adalah salah satu anggota World Trade Organization (WTO), tentunya Indonesia turut membuat kebijakan-kebijakan yang merujuk pada ketentuan WTO. Sebenarnya akibat dari kesepakatan ini, pemerintah lepas tangan dalam pembiayaan perguruan tinggi dan itu berdampak pada rendahnya gaji dosen. 

Cengkeraman kapitalisme membuat negara abai terhadap nasib pendidik, dosen tak ubah seperti buruh yang diperas tenaga dan pikiran untuk menjalankan roda kapitalisme. Apa pun perjuangan yang dilakukan para akademisi yang memperjuangkan haknya akan sia-sia, jika pangkal masalah sistem kapitalisme tetap diterapkan di negeri ini. Karena sumber malapetaka yang menimpa pendidikan adalah asas sekuler dan kapitalisme yang melatarbelakangi berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Hanya dengan kembali pada sistem Islam, nasib akademisi bisa disejahterakan. Karena Islam memandang pendidikan adalah tanggung jawab negara bukan pasar. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan yang dapat diakses publik dengan biaya cuma-cuma.

Dampak Politik, Pendidikan, Ekonomi, dan Sosial terhadap Nasib Dosen yang Tidak Kunjung Sejahtera

Rendahnya gaji dosen dan nasib mereka yang tidak kunjung sejahtera tentu berdampak pada kondisi negeri ini. Apalagi diurai ada 4 dampak dari paparan di atas. Pertama, dampak politik. permasalahan gaji pendidik akan terus jadi masalah yang tidak kunjung selesai. Karena rendahnya gaji dosen adalah dampak dari penerapan politik kapitalisme. Pendidikan tinggi masuk dalam komoditas jasa yang bisa dikapitalisasi, soal gaji dosen diserahkan ke PT. PT memiliki konsep kapitalisme yang mau untung dan tidak mau rugi, akhirnya gaji yang diberikan kecil terhadap para pendidik dan negara mandul dalam menyejahterakan pendidik. 

Kedua, dampak terhadap pendidikan. Ketika gaji pendidik atau dosen rendah pasti itu berpengaruh terhadap kinerja mereka sebagai dosen. Bagaimana menuntut hasil pendidikan yang tinggi, jika gaji yang diberikan kepada pendidiknya rendah? Kondisi pendidikan tinggi hari ini mencetak manusia-manusia yang pragmatis, sekuler, dan liberal. Mereka sibuk mengejar nilai di atas kertas tanpa dibarengi kepribadian unggul yang beriman dan bertakwa. 

Ketiga, dampak ekonomi. Himpitan ekonomi makin parah memaksa para dosen mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi keburu hidupnya. Ada beberapa kasus dari mereka terjebak pinjaman bank atau pinjaman online dengan bunga yang tinggi. Hal itu menyebabkan hidupnya makin tertekan karena harus dikejar-kejar debt collector. Ada beberapa kasus sampai melakukan tindakan kriminal sampai pembunuhan untuk melunasi utang-utangnya. 

Keempat, dampak sosial. Munculnya banyak kasus kriminalitas. Contohnya, mereka terjebak pada aktivitas korupsi, atau jual beli ijazah, atau kasus-kasus kriminalitas lainnya. Sebenarnya, gaji rendah berdampak pada kesehatan para akademisi juga. Mereka yang keimanan dan ketakwaan rendah banyak yang stres, depresi, bahkan sampai bunuh diri karena tekanan ekonomi yang ada. Selain itu, gaya hidup hendonis dan lingkungan toxic kerap mewarnai dunia pendidikan tinggi. Mereka tidak hanya terjebak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi mereka terbawa arus liberalisme sehingga menuntut mereka bergaya hidup hedon. Hal ini berpotensi menciptakan lingkungan toxic yang tidak baik juga.

Dampak utama dari rendahnya kesejahteraan pada dosen adalah mereka tidak diperlakukan selayaknya manusia. Seharusnya negara menerapkan dan menegakkan aturan yang sesuai fitrahnya, memuaskan akal, dan menentramkan jiwa. Aturan tersebut tidak lahir dari hawa nafsu para kapitalis yang tamak, melainkan aturan tersebut hanya mampu lahir dari sistem Islam yang diterapkan secara sempurna dalam kehidupan bernegara. Karena jika masih mempertahankan sistem sekuler kapitalisme, solusi apa pun yang dikeluarkan pemerintah itu hanya tambal sulam dan akan memperparah kondisi yang ada.

Strategi Islam dalam Menyejahterakan Pendidik

Islam memandang pendidikan adalah hak seluruh umat manusia. Terutama pendidikan dan edukasi Islam adalah sebuah kewajiban karena pendidikan adalah bagian dari syiar Islam. Oleh karena itu, negara dalam pandangan Islam, wajib menyelenggarakan pendidikan dengan biaya murah bahkan gratis. Selain itu, wajib menyejahterakan pendidik, karena pendidik atau guru adalah ujung tombak lahirnya generasi-generasi rabbani yang akan membangun peradaban emas selanjutnya. 

Di sinilah ada peran negara yang bertanggung jawab penuh, bukan malah menyerahkan urusan pendidikan ke pasar dan membiarkan para kapitalis mamasukkan pendidikan sebagai target industri mereka. Dalam Islam, negaralah yang wajib menyelenggarakan pendidikan bukan pihak swasta atau malah asing. Menyelenggarakan pendidikan memang butuh biaya yang mahal. Apalagi dalam menyelenggarakan pendidikan murah dan gratis tentunya tidak mudah dan Islam memiliki solusi atas tingginya biaya pendidikan tersebut. Pertama, sistem pendidikan Islam memiliki visi dan misi yang jelas sehingga memiliki standar pendidik yang memiliki kepribadian Islam dan kompetensi keahlian yang jelas. Segala bentuk kebijakan turunan tidak boleh melenceng dari tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencetak generasi berkepribadian Islam. Dari sini, pendidik akan terbantu dengan sistem yang mendukung untuk menciptakan lingkungan kondusif. 

Kedua, penyelenggaraan pendidikan dibiayai negara (baitulmal). Baitulmal adalah tempat untuk menyimpan dan mengelola berbagai kekayaan yang menjadi penerimaan negara. Sumber pemasukan negara Islam berasal 3 bagian: Fai dan kharaj, kepemilikan umum, dan sedekah. Sumber pendapatan ini berbeda dengan negara kapitalisme yang menjadikan utang riba dan pajak sebagai sumber utama pendapatan, sehingga membebani rakyat. 

Contoh sumber kepemilikan umum yang dikelola negara adalah sumber daya alam. Sumber daya alam dijadikan sumber pendapatan untuk menyelenggarakan pendidikan yang murah bahkan gratis. Berbeda dengan kapitalisme yang menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada swasta atau kapitalis asing. Kekayaan yang seharusnya dikelola untuk kesejahteraan umat justru dinikmati oleh segelintir orang. 

Dari pembiayaan infrastruktur pendidikan dan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan negara, dapat dipastikan gaji guru juga ditanggung negara. Sehingga pemberian gaji manusiawi dan layak didapatkan pendidik. Selain itu, sarana dan prasarana dipenuhi negara tanpa membebani pendidik maupun peserta didik. 

Ketiga, pendidikan yang utama harus dimiliki peserta didik adalah bangunan akidah yang kuat setelah itu mereka akan didorong mempelajari sains dan teknologi demi kemaslahatan umat. Semua ilmu yang digali adalah salah satu cara untuk menguatkan ketakwaan dan mewujudkan Islam rahmat bagi seluruh alam. Boleh belajar sains dan teknologi kepada orang-orang kafir simi secara profesional. 

Sebenarnya tidak hanya pendidikan, kesehatan juga menjadi jaminan negara. Harapannya jika semua komponen mendukung jalannya pendidikan dan kesehatan maka akan banyak lahir generasi-generasi emas yang akan meneruskan tonggak estafet kepemimpinan Islam. Hal tersebut hanya mampu diwujudkan apabila negara menerapkan sistem Islam secara sempurna dalam naungan Khilafah Islamiah.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Cengkeraman kapitalisme membuat negara abai terhadap nasib pendidik, dosen tak ubah seperti buruh yang diperas tenaga dan pikiran untuk menjalankan roda kapitalisme. Apa pun perjuangan yang dilakukan para akademisi yang memperjuangkan haknya akan sia-sia, jika pangkal masalah sistem kapitalisme tetap diterapkan di negeri ini. Karena sumber malapetaka yang menimpa pendidikan adalah asas sekuler dan kapitalisme yang melatarbelakangi berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Hanya dengan kembali pada sistem Islam, nasib akademisi bisa disejahterakan. Karena Islam memandang pendidikan adalah tanggung jawab negara bukan pasar. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan yang dapat diakses publik dengan biaya cuma-cuma.

2. Dampak utama dari rendahnya kesejahteraan pada dosen adalah mereka tidak diperlakukan selayaknya manusia. Seharusnya negara menerapkan dan menegakkan aturan yang sesuai fitrahnya, memuaskan akal, dan menentramkan jiwa. Aturan tersebut tidak lahir dari hawa nafsu para kapitalis yang tamak, melainkan aturan tersebut hanya mampu lahir dari sistem Islam yang diterapkan secara sempurna dalam kehidupan bernegara. Karena jika masih mempertahankan sistem sekuler kapitalisme, solusi apa pun yang dikeluarkan pemerintah itu hanya tambal sulam dan akan memperparah kondisi yang ada.

3. Islam memandang pendidikan adalah hak seluruh umat manusia. Terutama pendidikan dan edukasi Islam adalah sebuah kewajiban karena pendidikan adalah bagian dari syiar Islam. Oleh karena itu, negara dalam pandangan Islam, wajib menyelenggarakan pendidikan dengan biaya murah bahkan gratis. Selain itu, wajib menyejahterakan pendidik, karena pendidik atau guru adalah ujung tombak lahirnya generasi-generasi rabbani yang akan membangun peradaban emas selanjutnya. 

Oleh: Ika Mawarningtyas
Direktur Mutiara Umat Institute

MATERI KULIAH ONLINE UNIOL 4.0 DIPONOROGO, Rabu, 8 Mei 2024
Di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Huum. #Lamrad #LiveOpperessedOrRiseAgainst

0 Komentar