MutiaraUmat.com -- Makin ke sini peringkat utang Pertamina makin bermasalah atau bahasa lainya makin lama resiko keungan makin membesar. Ini berarti makin lama pertamina akan sulit mendapat utang baru. Kalaupun dapat utang baru maka harus membayar biaya keuangan yang lebih besar. Bukan hanya utang investor pun melihat resiko ini.
Baru baru lembaga pemeringkat yang berkantor di Singapura telah mengafirmasi Peringkat Jangka Panjang Jangka Pendek Issuer Default Rating (IDR) PT Pertamina (Persero) di 'BBB' dengan Outlook Stabil. Peringkat terafirmasi adalah pada program global medium-term note senilai USD20 miliar, dan senior unsecured notes yang ada di 'BBB'. Ini utang lumayan besar kalau dirupiahkan mencapai 320 triliun rupiah.
Peringkat Pertamina disamakan dengan peringkat induknya, negara Indonesia (BBB/Stabil), sejalan dengan Kriteria Peringkat Entitas Terkait Pemerintah. Jadi sebenarnya semua peringkat ini karena Pertamina ditopang oleh perlindungan atau proteksi dari pemerintah.
Namun Profil Kredit Mandiri (SCP) Pertamina tetap berada di 'bbb-', Ini menang agak gawat walaupun kondisi operasi yang terintegrasi secara vertikal, posisi dominan di pasar energi Indonesia, dan posisi biaya yang kompetitif di segmen bisnis hulu. Namun, kekuatan ini sebagian dipengaruhi oleh risiko yang berkaitan dengan kontrol harga bahan bakar eceran dan penerimaan kompensasi tepat waktu oleh Pertamina untuk pemulihan yang kurang karena batas harga bahan bakar.
Lalu masalah terbesar Pertamina lainnya datang dari keterlambatan atau penundaan pembayaran kompensasi oleh pemerintah. Menurut perkiraan kompensasi yang terhutang di pemerintah mencapai 85 % dari total kompensasi sekitar 150 triliun rupiah. Jadi di saat peringkat utang beresiko saat yang sama uang tidak dicairkan oleh Menteri Keuangan. Jadi sudah jatuh tertimpa tangga.
Sementara utang jangka pendek pertamina senilai 57 triliun rupiah yang harus dipikirkan sumber uangnya. Ini tidak dapat diatasi seluruhnya oleh cash Pertamina karena perusahaan perlu uang bagi pengadaan BBM, impor solar, LPG dll.
Mungkin disini pemerintah beralasan bahwa seharusnya subsidi kompensasi bisa lebih kecil jika usaha usaha Pertamina maksimal dalam menata solar subsidi, mengurangi kebocoran solar, aksi pengaturan perusahaan agar LPG 3 kg tepat sasaran untuk menekan subsidi, demikinan juga usaha perusahaan lebih optimal dalam menekan konsimsi Pertalite. Jadi menteri keuangan mungkin mengatakan Gue bayar tapi Loe mesti kerja bagus bagi negara. Tapi namamya utang tetap utang harus dibayar.
Masalah terbesar lainnya adalah Pertamina tidak dapat meningkatkan produksi hulu, namun pada saat yang sama diproyeksikan penjualan BBM meningkat. Jadi ini bukan hanya beban bagi negara karena impor tapi juga beban bagi Pertamina karena masalah harga minyak dunia dan nilai tukar.
Sumber uang satu satunya ke depan datang dari program transisi energi. Tapi apa yang dapat dilakukan? Bekerjasama dengan PLN bagi transisi energi yang lebih cepat, dimulai dengan elektrifikasi di banyak lini dengan membagi bisnis diantara pertamina dan PLN? Atau ada usaha lain yang lebih keras untuk transisi energi? Ini masalah keuangan! Coba dipikirkan.
0 Komentar