Proyek Sawah Cina, Solusi Ketahanan Pangan Indonesia?


Mutiaraumat.com -- Wacana Sawah Padi 1 juta Hektare, pemerintah Indonesia berencana akan menggandeng China untuk menggarap sawah yang direncanakan di Kalimantan Tengah. Hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam unggahan di instagram pribadinya.

Wacana ini sebagai kesepakatan dari pertemuan ajang High Level Dialogue and Cooperation Mechanism (HDCM) RI-RRC di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur pada hari Jumat, 19 April 2024 yang dilakukan oleh Luhut dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi. (voaindonesia.com, diakses pada 03/05/2024).

Luhut menyampaikan bahwa wacana ini akan menggunakan setidaknya seluas 1 juta hektare di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Menurutnya Kalimantan Tengah dapat dimanfaatkan untuk pengembangan sawah melalui kerjasama dengan China dan juga menggandeng mitra lokal setempat yaitu Bulog dan juga anak-anak muda yang mempunyai kemampuan di bidang pertanian.

Ia berharap keberhasilan proyek ini dapat menjadikan Indonesia sebagai swasembada beras di masa depan. Wacana ini juga sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan impor beras dari pihak luar yang setiap tahunnya mencapai jutaan ton. Kontribusi China dalam wacana pemerintah ini adalah sebagai pentransfer teknologi padi, karena China sendiri sudah sangat sukses menjadi swasembada. 

Tidak Belajar dari Pengalaman
Mengenai wacana pemerintah ini tak lepas dari para ahli dalam bidang pertanian. Seperti disampaikan oleh Andreas Santosa Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), menurutnya wacana penggunaan 1 juta hektare lahan itu terlalu luas ketika baru tahap awal. Menurutnya lebih baik sedikit dulu jika memang berhasil baru diperluas lagi.

Andreas juga mengatakan proyek ketahanan pangan seperti ini bukanlah hal baru di Indonesia. Sebelumnya pada masa Presiden Soeharto, kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan terakhir pada masa Presiden Joko Widodo luas lahan yang digunakan totalnya berjuta-juta hektare namun tidak ada satupun yang berhasil. Maka menurutnya dibandingkan membangun proyek baru, pemerintah seharusnya konsisten dalam pembenahan terlebih dahulu (bisnis.tempo.com, diakses pada 03/05/2024).

Kritik juga disampaikan oleh Dekan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Suryo Wiyono, ia mempertanyakan terkait teknologi seperti apa yang nantinya akan diterapkan di Indonesia. Karena, teknologi yang diterapkan harus tepat guna dan dapat diadapatasikan dengan baik dengan kondisi sawah Indonesia. 

Karena bisa jadi jika diterapkan di China berhasil sedangkan di Indonesia tidak berhasil, maka semuanya harus berdasarkan science-based policy. Maka belajar pada negara yang berhasil dalam bidang pertanian itu perlu, namun tidak perlu selalu menganggap hanya satu negara saja yang selalu lebih unggul, maka seharusnya perhatikan juga apa yang menjadi keunggulan Indonesia (voaindonesia.com, diakses pada 03/05/2024). 

Tidak Memberdayakan Petani Lokal
Indonesia sebenarnya memang memiliki lahan yang sangat menjanjikan untuk mewujudkan ketahanan pangan. Bahkan jumlah petaninya pun masih cukup untuk mewujudkan ketahanan pangan. Namun hari ini semua itu tidak diberdayakan dengan maksimal. Pemerintah amat abai dengan kondisi petani lokal, petani lokal dibiarkan bergelut dengan mahalnya berbagai kebutuhan tani dan dibiarkan bersaing dengan para produsen yang notabennya adalah produsen besar. 

Para petani lokal juga tidak didukung dengan edukasi, alat, juga dukungan berupa harga benin maupun pupuk yang murah. Akibatnya petani lokal tidak mampu lagi bersaing dengan produsen besar karena petani lokal masih bertani dengan cara manual mulai dari proses tanam sampai panen, sedangkan produsen besar sudah menggunakan berbagai kemajuan teknologi. Maka jelaslah ini bukan persaingan yang sebanding. 

Pemerintah dengan kondisi ini bukannya mencari solusi untuk memberdayakan petani lokal justru malah impor beras dari luar negeri dengan alasan harga. Padahal jelas yang menjadikan beras petani lokal menjadi mahal adalah karena segala sesuatu berupa alat dan bahannya mahal dan tidak ada dukungan dari negara. Kalaupun ada berupa bantuan maka jumlahnya sangat terbatas.

Maka kesungguhan untuk mengatasi masalah pangan ini bukan sekedar membuka lahan baru secara terus-menerus setiap pergantian kepemimpinan, melainkan bagaimana upaya nyata pemerintah dalam membuat kebijakan untuk memutus berkuasanya oligarki di negeri ini. Maka sangat nyata akar dari permasalahan ketahanan pangan ini adalah karena penerapan sistem ekonomi kapitalisme. 

Kapitalisme yang asasnya adalah materialisme telah memberikan ruang kebebasan kepada para kapitalis yang menjelma menjadi penguasa dan juga pengusaha untuk menguasai berbagai sektor usaha, mulai dari hulu sampai proses distribusi di hilir, inilah akhirnya yang menjadikan petani lokal kesulitan dalam mendapatkan stok bahan pertanian seperti pupuk, benih berkualitas, obat, dan lain sebagainya. 

Negara yang seharunya menjadi penjamin bagi kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat tak lebih hanya sekedar regulator bagi para oligarki yang punya kepentingan pribadi. 

Paradigma Islam tentang Persoalan Pangan

Islam sebagai agama yang sempurna memiliki paradigma yang khas untuk mengatasi masalahan ketahanan pangan. Karena dalam paradigma Islam, ketahanan pangan bukan hanya persoalan ekonomi tetapi juga berhubungan dengan persoalan politik karena ada peran pemerintah dalam membuat kebijakan. Islam akan menjadikan pemimpin negara untuk memiliki politik dengan asas yang shahih dan kuat untuk berdaya secara ketahanan pangan. 

Hal ini diwujudkan dengan menerapkan Islam sebagai dasar negara, baik untuk mengatur urusan politik maupun juga urusan ekonomi. Negara akan menyerahkan tanggung jawab urusan pertanian misalnya kepada ahlinya, negara akan memberikan dukungan biaya yang cukup dan juga mendorong agar ahli mampu mengembangkannya. 

Selain itu negara juga akan mengelola mulai dari proses produksi sampai konsumsi agar terpenuhi dengan baik. Negara tidak akan membiarkan rantai pangan ini berjalan dengan sendirinya, atau bahkan malah menyerahkannya kepada pihak swasta atau pihak asing, karena akan terjadi kerusakan dari merusak harga, kecurangan, penimbunan barang dan monopoli. 

Islam tidak cukup memandang ketahanan pangan sebagai sekedar memenuhi kebutuhan masyarakat dalam masalah pangan. Namun Islam memandang ketahanan pangan sebagai jaminan kepada masyarakat bahwa yang dikonsumsinya adalah makanan yang halal dan juga baik. 

Semua solusi ini hanya bisa diterapkan ketika dasar suatu negara adalah Islam secara kaffah dalam naungan Daulah Khilafah Islaminyah yang terwujudnya harus senantiasa kita lakukan sebagai bentuk ketaatan kita terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya, dan agar kesengsaraan yang saat ini dapat terhapuskan dengan penerapan Islam secara kaffah. Sebagaimana janji Allah bahwa kesejahteraan adalah ketika Islam diterpkan. Sebagaimana firman Allah:

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

“Andai saja penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Namun, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Oleh karena itu, Kami menyiksa mereka karena perbuatan mereka itu.” (TQS Al-A’raf [7]: 96). 

Oleh: Hemaridani
(Aktivis Muslimah)

0 Komentar