Proyek Sawah China di Indonesia, Solutifkah?

Mutiaraumat.com -- Tiongkok bersedia untuk mengembangkan pertanian di Kalimantan Tengah. Dalam hal ini pemerintah perlu memastikan teknologi tersebut menguntungkan, sesuai dan dapat diaplikasikan.

Adanya kesepakatan ini didapat dari ajang High Level Dialogue and Cooperation Mechanism (HDCM) RI-RRC di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (19/4). Disinyalir Tiongkok akan memberikan teknologi padi mereka. Lebih lanjut setidaknya akan ada lahan seluas satu juta hektare yang akan dimanfaatkan untuk mengembangkan sawah secara bertahap. 

Adapun produktivitas dari program tersebut diharapkan mencapai 4 hingga 5 ton per hektare. Sehingga lahan yang tersedia di Pulang Pisang, Kalteng yang mencapai 400 ribu hektare ditaksir mampu menghasilkan dua juta ton. Jika sesuai dengan target maka  permasalahan terhadap ketahanan pangan nasional untuk beras dapat dianggap tuntas. 

Namun mengintroduksi suatu sistem tidak selalu berhasil. Kondisi iklim dan cuaca, sifat tanah maupun hama penyakit pasti mempengaruhi. Belum lagi proses adaptasi yang mesti disadari. Dalam hal ini pemerintah perlu secara aktif turut berdiskusi dengan para pakar pertanian.

Sebelumnya pada tahun 2007, Departemen Pertanian (Deptan) melalui Balai Penelitian Padi pernah melakukan kerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian China. Mereka mengembangkan benih padi hibrida. Hasil silang dari varietas benih kedua negara. Dengan benih padi tersebut, Deptan sudah menghasilkan padi hibrida dengan produktivitas 12 ton perhektar dan tahan penyakit.

Ditambah pada 2008 Deptan mengembangkan Sekolah Lapang Pengendalian Tanaman Terpadu (SLPTT). SLPTT melibatkan kelompok tani dan mengajarkan tentang pertanian terpadu. Hal tersebut meliputi pemberian benih, pengendalian hama, penyediaan teknologi budidaya, dan pupuk secara terpadu.

Sayangnya hasil di lapangan tak menggembirakan. Penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta menunjukkan padi hibrida lebih rentan terhadap serangan sejumlah penyakit. Selain itu, jenis padi ini juga lebih boros terhadap pupuk dan air dibanding bibit lokal. Benih hibrida juga jauh lebih mahal. Apalagi varietas ini kualitas hasilnya akan berkurang jauh jika menggunakan tanaman turunannya.
Sangat disayangkan. 

Padahal ada breeder lokal yang mampu mengembangkan benih unggul. Ditambah benih tersebut memang terbukti unggul dan mampu menguntungkan petani. Tetapi kapitalisme memang berkawan oligarki. Petani dihadapkan UU No. 12 tahun 1992 yang hanya memberikan kesempatan kepada pengusaha untuk menguasai pertanian dari hulu hingga hilirnya.

Jika petani ingin mengedarkan benihnya maka perlu diadakan sertifikasi dan memenuhi standar mutu yang ditetapkan pemerintah. Dalam pasal tersebut juga disinggung masalah pidana dan denda bagi yang melanggar.

Sungguh miris nasib petani hari ini. Meskipun hidup di negeri agraris petani semakin lemah dan jauh dari sejahtera. Petani masih saja dihadapkan sederet permasalahan yang sama. Mulai dari benih, pupuk yang mahal, dan ketersediaan lahan, kurangnya modal, dan akses terhadap teknologi. 

Sebenarnya sumber dari semua permasalahan ini dikarenakan sistem kapitalisme yang telah mengakar. Sistem kapitalisme meniscayakan pengusaha berkuasa melalui kebijakan yang dibuat pemerintah. Sehingga sulit bagi petani kecil untuk berinovasi dan mengembangkan pertaniannya sendiri.

Begitu pula dengan pupuk. Sangat sulit dijumpai sistem pemupukan tradisional. Kini petani beralih menggunakan pupuk pabrik. Padahal harga pupuk tengah melambung tinggi. Hal ini dikarenakan bahan bakunya yang mesti import. Jika ingin mendapat pupuk subsidi maka petani harus siap dengan ketatnya persyaratan. Misal, setiap petani diharuskan memiliki lahan dan terdaftar di e-RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok). Maka tak heran jika banyak petani mengeluh tak dapat optimal menggarap lahannya.
           
Tak jauh berbeda dengan kepemilikan lahan. Berdasarkan catatan KPA, pada tahun 2016 terdapat sekitar 28 juta petani yang statusnya tak memiliki lahan. Meskipun sudah dilaksanakan redistribusi tanah dan legalisasi aset 9 juta hektar bagi petani namun kebijakan tersebut dinilai tak berkelanjutan. Hal ini dikarenakan terdapat kasus petani yang tak bisa menunjukkan lokasi 9 juta hektar lahan tersebut.
            
Jika kondisi ini diteruskan, maka di masa depan dapat dipastikan tidak ada lagi anak muda yang mau menjadi petani. Petani dianggap profesi yang berat dan kurang menguntungkan. Sementara hasil yang didapat seringkali tak menentu. Padahal kondisi hari ini seseorang dituntut untuk memiliki stabilitas finansial. 
             
Sesungguhnya untuk memajukan sektor pertanian tak bisa dipisahkan dari sektor-sektor lain yang mendukungnya. Maka dari itu diperlukanlah kebijakan revolusioner yang mendukung sektor pertanian. Mulai dari kebijakan politik pertanian itu sendiri yang menerapkan solusi jitu atas permasalahan ini.
              
Aturan negara yang berlandaskan syariat islam senantiasa mendorong warga negaranya untuk menggarap tanah. Hal ini berlandaskan sabda Nabi Muhammad Saw. “Barang siapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ia menanaminya atau ( jika tidak dilakukan maka ) diberikan kepada saudaranya.” Dengan demikian tanah atau lahan yang ada adalah tanah yang produktif dan berdaya guna.
            
Dan dengan pendapatan Negara Islam yang melimpah seperti jizyah, fai, kharaj dan ghanimah. Dalam pengelolaannya juga dapat dimanfaatkan untuk membantu petani. Sehingga petani mendapatkan sumber-sumber yang dibutuhkan untuk dapat mengolah lahannya.
             
Ditambah teknologi serta inovasi dalam negeri akan lebih utama untuk dikembangkan. Sehingga pengadaan bibit unggul, pupuk berkualitas serta teknik pertanian modern tidak bergantung kepada asing. Diiringi kebijakan dalam edukasi teknologi dan juga penyediaan sarana-prasarana yang mendukung pertanian.
             
Mengingat sektor pertanian adalah proyek strategis. Ketersediaan pangan merupakan hal krusial yang wajib disediakan oleh sebuah negara. Karena dari pangan dapat pula tercipta lapangan kerja. Mulai dari pengolahan bahan baku hingga distribusi.
             
Negara dengan sistem Islam akan memastikan kedaulatan pangan terlaksana. Karena yang demikian merupakan penjagaan negara terhadap masyarakat dalam pemenuhan hak mereka terhadap kesehatan dan gizi.
            
Sungguh sistem Islam telah mengatur politik pertanian sebagai bagian integral dalam kehidupan. Politik pertanian diatur sedemikian rupa untuk mensejahterakan warganya. Setiap langkah dan kebijakan yang diambil akan senantiasa disandarkan pada apa yang telah ditetapkan Allah hingga tercipta kondisi ideal. Wallahua’lam bishshawwab.

Oleh: Izzatur Nur Cholifah
(Aktivis Muslimah)


0 Komentar