Pragmatisme Partai, Keniscayaan dalam Politik Demokrasi


MutiaraUmat.com -- Presiden terpilih Prabowo Subianto disebut berencana menambah jumlah kementerian di kabinet menjadi 40. Rencana ini tidak lepas dari upaya Ketua Umum Partai Gerindra itu dalam merangkul semua kekuatan partai politik di pemerintahannya kelak (Tempo.co, 8 Mei 2024). Rencana yang semula terganjal karena regulasi yang ada, sekarang seakan telah mendapatkan karpet merah.
 
Pihak Badan Legislatif (Baleg) DPR RI telah menyepakati revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU) Kementerian ditetapkan sebagai inisiatif DPR. Diantaranya yang menjadi revisi adalah pasal terkait wakil Menteri dan jumlah keseluruhan kementerian (Kompas.com, 16 Mei 2024). Ketua badan Legislatif (Baleg DPR) Supratman Andi Agtas mengatakan, semua fraksi di DPR setuju jumlah kementerian tidak dibatasi pada angka tertentu disesuaikan dengan kebutuhan presiden.
 
Tak sedikit yang menyoalkan terkait urgensi penambahan kuris ini. Penambahan jumlah kursi kementerian dinilai justru hanya akan semakin memberatkan beban belanja negara dan peluang munculnya pergesekan antar kepentingan tiap-tiap Menteri akan semakin besar. Aroma akan kepentingan politik lebih tercium pekat daripada kepentingan kinerja. Dikuatkan dengan upaya Prabowo untuk merangkul semua partai politik dalam koalisi pemerintah, sehingga dalam pemerintahan kedepan tidak ada oposisi. Sinyal ini pun ditangkap positif oleh partai-partai yang sedang berada dalam perjalanan masuk ke dalam koalisi setelah capres dan cawapres pemenang Pemilu 2024 diumumkan.
 
Sistem presidensialisme di Indonesia menuntut keberadaan partai koalisi dan partai oposisi untuk menjaga stabilitas demokrasi. Koalisi dibutuhkan untuk melancarkan kebijakan pemerintah, sementara oposisi diperlukan agar negara tidak terjebak dalam pusaran angin politik. Namun ketika putusan untuk oposisi ditiadakan, hal ini jelas menunjukkan bahwa pemerintahan yang ada sedang berupaya melindungi supaya kebijakannya terus berjalan mulus tanpa hambatan. Seluruh anggota akan saling menutupi masalah satu sama lain karena merasa berada pada kubu yang sama. Bibit rezim represif anti kritik akan akan tumbuh subur di negeri ini.
 
Tiap lima tahun, politik dagang sapi berulang terjadi di Indonesia. Praktik tawar menawar kursi Kabinet itu terjadi antara partai politik dan calon presiden yang dinyatakan menang oleh Komisi Pemilihan Umum. Partai meminta jatah berdasarkan tetes keringat yang mereka jatuhkan untuk memenangkan si kandidat. Partai non koalisi ditawari jabatan agar “jinak” di badan legislatif kelak (Tempo.co, 24 Maret 2024) Idealisme partai politik pun tergerus dengan dalih berkontribusi dalam membangun negeri menjadi lebih baik.
 
Pragmatisme yang merupakan suatu keniscayaan dalam demokrasi telah mengubah tujuan politik dari bersifat ideologis menjadi bersifat praktis. Pragmatisme adalah aliran filsafat yang didasarkan ada manfaat dari setiap gagasan. Sikap pragmatisme yang dimiliki oleh partai-partai politik yang ada seakan memberikan kesan manis ditengah masyarakat. Menciptakan momen politik untuk perbaikan kondisi kehidupan masyarakat bersama-sama. Padahal sejatinya, merupakan ajang elit partai untuk mempertahankan oligarki kekuasaannya.
 
Masalah yang ada tidak akan terselesaikan dengan sikap pragmatisme. Pasalnya, sikap ini akan menghalalkan segala cara untuk mewujudkan suatu kepentingan, entah itu akan menabrak prinsip kebenaran, kepantasan dan kebaikan. Sehingga masalah yang ada tidak akan terselesaikan secara keseluruhan. Fokus utama adalah bagaimana merealisasikan kepentingan yang menguntungkan diri dan kelompoknya. Ketika dirasa kebermanfaatannya sudah tidak ada, maka mereka akan mencari kemanfaatan yang lainnya.
 
Pragmatisme dalam politik demokrasi adalah sesuatu yang melekat dari dalam tubuh. Mengingat, politik demokrasi berdiri diatas asas sekularisme. Pemisahan agama dari kehidupan, sehingga halal haram tidak diberlakukan. Selama bermanfaat, akan segala daya upaya akan dilakukan, sebuah aturan akan dipaksakan untuk dilegalkan oleh segelintir pengendali kekuasaan.
Sejatinya, keberadaan partai politik adalah suatu hal yang esensial. Keberadaannya dikembalikan lagi pada makna politik itu sendiri. Politik dalam Islam bermakna pengurusan urusan umat. Sehingga keberadaan partai politik yang terikat dengan ideologi Islam menjadi penting. Posisinya adalah untuk beramar ma’ruf nahi mungkar pada penguasa. Menjaga agar semua hukum Allah tetap diterapkan secara keseluruhan oleh manusia dalam kehidupan sepanjang masa. Pengembaanan dakwah islam untuk menegakkan institusi sahih sesuai dengan yang digasrikan Allah dan Rasul-Nya perlu dilakukan supaya upaya penjagaan peneraapn hukum Allah dapat terealisasikan. Keberadaan partai politik tidak lain adalah untuk memenuhi panggilan Allah dalam QS. Ali Imran ayat 104
 
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali-Imran:104)
 
Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Nahida Ilma
(Aktivis Dakwah Kampus)

0 Komentar