Peran Keluarga Mandul, Anak Amburadul


MutiaraUmat.com -- Bulan Mei adalah bulan yang di dalamnya ada peringatan Hari Pendidikan Nasional bagi bangsa Indonesia. Namun sangat disayangkan bahwa tahun ini semakin banyak anak-anak usia sekolah di Indonesia yang terlibat dengan persolan hukum

Salah satu di antara kasus yang mencuat awal bulan Mei adalah anak remaja di Sukabumi yang masih berusia 14 tahun, telah membunuh serta nyodomi seorang anak yang masih berusia 6 tahun (Sukabumiku.id, 02-05-2024)

Di Sukabumi sendiri, persoalan anak remaja yang melakukan tindak kriminalitas sodomi serta pembunuhan bukan satu-satunya kasus di bulan Mei ini, masih ada banyak kasus kriminalitas lain dengan pelaku remaja atau pemuda yang terjadi.

Selain Sukabumi, kasus yang juga mencuat adalah yang terjadi di Propinsi Jambi, yaitu penganiayaan santri Pondok Pesantren Raudhatul Mujawwidin, di Kabupaten Tebo. Miris, perilaku anak remaja yang menjadikan tindak kriminalitas seolah menjadi solusi atas permasalahan yang mereka alami.

Maraknya kriminalitas anak merupakan gambaran betapa buruknya output generasi hasil didikan dalam sistem pendidikan kapitalisme. Kapitalisme merupakan sistem yang memandang segala sesuatu berdasarkan materi.

Kapitalisme menjadikan pandangan yang dimiliki orang tua terhadap anak, tak luput dari penilaian materi tersebut, akibatnya orang tua beranggapan bahwa peran mereka adalah cukup dengan memberikan materi kepada anak, yaitu mencukupi makanan, pakaian, memberikan uang saku, memasukkan anak ke sekolah, dan yang semisalnya. Untuk mencukupi semua kebutuhan tersebut orang tua disibukkan dengan urusan pekerjaan demi mengejar dan meraih materi. Akibatnya, anak tidak mendapatkan pariayahan yang ideal dalam keluarga, baik pengasuhan maupun pendididikan.

Di sisi lain, pendidikan yang diterima anak di sekolah diarahkan oleh kurikulum pendidikan kapitalisme yang sarat dengan orientasi materi serta sangat kurang dalam nilai-nilai agama. Anak hanya dirangsang serta dituntut untuk mengejar prestasi akademik tanpa ada bimbingan dan arahan untuk mengenal jatidirinya sebagai makhluk yang diciptakan oleh Sang Pencipta. Alhasil, anak tidak memiliki standar akhlak yang benar serta tidak memiliki kesadaran untuk taat terhadap Sang Pencipta.

Ketika anak melakukan sebuah pelanggaran hukum, kapitalisme juga tidak menerapkan sanksi yang tegas. Sehingga tidak ada efek jera bagi anak yang pernah terlibat urusan hukum. Jika pelaku berusia kurang dari 18 tahun, mereka akan diadili dalam peradilan anak, sehingga hukuman yang diberikan tidak akan membuat pelaku merasa jera. Dengan demikian, kejahatan semakin merajalela, pelaku yang tidak jera sehingga berpeluang mengulang kejahatannya, ditambah pelaku-pelaku baru karena tidak terbentuknya akhlak serta ketaatan pada anak.

Islam saat ini tidak lagi dikenal sebagai sistem aturan dalam kehidupan. Hilangnya penerapan Islam dalam kehidupan, telah membuat umat kehilangan gambaran utuh tentang Islam.

Padahal, ketika Islam diterapkan sebagai aturan kehidupan, maka di antara tatanan aturan yang ada dalam Islam adalah bagaimana menjaga generasi dari kehancuran dan kerusakan. Islam memiliki mekanisnya yang nyata untuk mewujudkan generasi yang berkualitas, baik dari aspek, keimanan, keilmuan, serta perilaku.

Pendidikan di dalam Islam bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyah). Sistem pendidikan Islam ini telah terbukti mampu menghasilkan generasi-generasi yang memiliki kepribadian Islam. Tolok ukur kepribadian Islam ini dilihat dari pola pikir (aqliyah) serta pola sikap (nafsiyah). Terbentuknya kepribadian Islam pada generasi akan mendorong senantiasa berada pada ketaatan dan terbentuk kesadaran untuk menjauhkan diri dari kemaksiatan.

Sistem pendidikan Islam juga akan melahirkan generasi-generasi yang siap serta mampu mengemban amanah, salah satunya adalah amanah menjadi orang tua. Generasi Islam yang mendapatkan pendidikan dengan benar serta memiliki kepribadian Islam, akan paham dengan hak dan kewajibannya ketika berada dalam ikatan pernikahan. Walhasil, keluarga yang terbentuk serta generasi yang terlahir dalam keluarga tersebut juga generasi yang Islami.

Dalam Islam, keluarga dianggap memiliki peran yang sangat penting bagi terbentuknya generasi, dari sini maka Islam menganggap bahwa peran seorang Ibu sangatlah penting, sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak. Maka didikan seorang ibu yang berlandaskan syariat Islam, akan mampu mewujudkan anak-anak yang shalih dan salihah. Sementara peran ayah dibutuhkan sebagai penentu kebijakan dalam keluarga. Ibarat Ibu sebagai Guru, maka ayah sebagai Kepala Sekolah. Sinergitas peran ibu serta ayah memiliki pengaruh dan dampak yang sangat besar bagi perkembangan serta pendidikan anak.

Dalam Islam, keamanan anak-anak akan terjamin karena Islam memiliki sistem sanksi yang tegas. Peradilan kepada pelaku kejahatan ditegakkan bukan berdasarkan usia yang berstandar angka sebagaimana dalam sistem kapitalisme. Islam menetapkan bahwa penentuan hukuman bagi pelaku kejahatan batasannya adalah baligh. Siapa saja yang telah baligh maka dia adalah mukalaf (terkena beban hukum).

Islam menetapkan bahwa pelaku penganiayaan yang berujung pada pembunuhan dikenakan sanksi qishas. Adapun pelaku sodomi akan dikenakan had liwath yaitu dijatuhkan dari tebing atau dari tempat yang tinggi sampai mati. Penerapan sanksi hukum dalam Islam yang tegas akan mampu mencegah orang lain dari kemaksiatan yang semisal, sementara bagi pelaku maksiat, sanksi hukum berfungsi untuk menebus dosanya. Maka, penerapan sistem sanksi yang tegas inilah yang akan mampu menghilangkan kemaksiatan secara tuntas. Untuk bisa menerapkan sistem sanksi yang tegas ini, maka dibutuhkan keberadaan sebuah institusi penegaknya. Institusi inilah yang dikenal dengan sebutan Daulah Khilafah Islamiyah. []


Erlis Agustiana
Aktivis Muslimah

0 Komentar