Penistaan Agama (Islam), Mengapa Terus Terjadi?
MutiaraUmat.com -- Berbagai bentuk penistaan agama (Islam) masif terjadi hingga hari ini. Mulai dari menjadikan Allah, Rasulullah maupun syariat Islam sebagai bahan candaan atau lelucon, hingga fenomena perlakuan buruk dan keji pada Al-Qur’an.
Berita terbaru adalah viralnya kasus oknum pejabat Kementerian Perhubungan yang melakukan sumpah yang disinyalir dengan sengaja menginjak Al-Qur’an sebagai bukti kepada sang istri bahwa dirinya tak selingkuh.(Kompas.com, 17/05/2024)
Menurut kbbi.web.id, penistaan berasal dari kata nista,yang bermakna rendah dan hina. Penistaan merupakan sikap atau kegiatan yang menjurus kepada tindakan menghina, mencela bahkan merendahkan. Dalam pengertian umum, penistaan agama adalah tindakan penghinaan atau perilaku merendahkan terhadap kepercayaan dari seseorang atau golongan.
Faktor-Faktor Pencetus Penistaan Agama (Islam)
Pertama, kebencian dan ketakutan pada agama dan syariat Islam. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 120 yang artinya: “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)." Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah”.
Kaum Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah ridha sampai umat Islam mengikuti agama mereka. Berbagai cara mereka lakukan agar kaum Muslim mengikuti ajaran agama mereka termasuk di antaranya dengan menghina dan menista agama Islam.
Kedua, faktor ketidaktahuan tentang Islam dan syariatnya. Selama ini, Islam lebih sering diopinikan sebagai agama yang kejam dan intoleran. Sehingga bagi mereka yang tidak mengenal Islam dan syariatnya, akan menelan mentah-mentah narasi-narasi yang buruk tentang Islam. Akibatnya akan mudah melakukan penistaan.
Ketiga, kebebasan berpendapat dan berekspresi yang berlebihan. Tidak dipungkiri bahwa paradigma kebebasan yang dianut oleh negara mempunyai konsekuensi logis berupa kebebasan dalam berekspresi dan berucap meski hal tersebut mengolok-olok ajaran agama. Dengan dalih kebebasan berpendapat dan berperilaku, para penista itu melakukan penghinaan terhadap Islam tanpa takut ditindak aparat. Sehingga sangatlah mustahil jika umat Islam mengharapkan hukuman yang setimpal bagi pelaku penistaan Islam dalam sistem yang berlaku saat.
Keempat, faktor ekonomi. Frida Kusumastuti, Dosen Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang, mengatakan bahwa sekarang ini motif penistaan agama bukan hanya soal kebencian, melainkan karena ingin viral dan mempunyai jumlah followers yang banyak agar bisa mendapatkan sejumlah uang. (voi.id, 20 April 2024)
Kelima, lemahnya posisi umat Islam saat ini. Para penista agama Islam di negeri ini tahu persis bahwa umat Islam tidak akan mampu bertindak lebih jauh terhadap setiap perbuatan maupun kalimat yang dilontarkan untuk memberikan citra buruk dan merendahkan umat dan ajaran Islam.
Keenam, tidak ada sanksi tegas yang menimbulkan efek jera bagi penista agama Islam. Sebagian besar kasus penistaan agama Islam hanya selesai dengan permintaan maaf dari pelaku, tanpa ada proses hukum.
Itulah sebabnya mengapa penistaan Islam terus berulang, bahkan hingga hari ini.
Maka wajar jika muncul opini di masyarakat bahwa penistaan agama Islam sengaja dibiarkan, bahkan dipelihara untuk mengalihkan isu yang sedang mencuat atau untuk mengalihkan perhatian publik atas berbagai kasus besar di negeri ini.
Sanksi bagi Penista Agama dalam Syariat Islam
Sistem Islam mewajibkan menjaga dan memuliakan agama. Demikian juga simbol-simbol agama yang merupakan bagian dari aqidah tak boleh dinodai oleh siapa pun.Karena itu, penistaan terhadap Islam, Al-Qur’an dan syariatnya merupakan kejahatan besar yang mengharuskan pelakunya dijatuhi hukuman mati.
Bagi pelaku penistaan agama Islam dan ajarannya secara sengaja atau tidak sengaja,atau menjadikan Allah, Rasulullaah dan Al-Qur’an sebagai bahan candaan atau lelucon, maka sanksinya adalah hukuman mati. Hal ini ditegaskan Allah dalam QS At-Taubah ayat 65-66 yang artinya “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab, sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan rasulNya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman”.
Apabila pelaku penista Islam adalah kafir harby, maka hukuman yang berlaku bukan hanya bagi pelaku yang bersangkutan, namun juga berlaku hukum perang. Negara akan mengumumkan kondisi perang kepada kafir harby penista agama tersebut. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Baqarah ayat 193 yang artinya, ”Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allâh belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim."
Penista agama Islam yang terkategori kafir dzimmi mendapatkan sanksi berupa hukuman mati. Meski berstatus ahlu dzimmah, tidak menghalangi ditegakkannya had atas mereka karena mereka dibunuh karena kekafirannya.
Begitu juga jika pelakunya adalah seorang Muslim, maka yang bersangkutan dijatuhi hukuman mati.
Beratnya sanksi hukum bagi para penista agama diharapkan akan memberikan efek jera bagi para pelakunya. Dan semua sanksi hukum itu hanya bisa ditegakkan di dalam negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. Karena salah satu tujuan diterapkannya syariat Islam adalah menjaga kemuliaan agama.
Wallahu a’lam. []
Pujiati S.R.
Aktivis Muslimah
0 Komentar