Pendidikan Gratis Hanya dengan Sistem Islam

MutiaraUmat.com -- Menanggapi fakta ironinya dunia pendidikan dalam negeri saat ini, Direktur Pamong Institute Wahyudi Al- Maroky merunut bagaimanakah, pendidikan gratis pada sistem peradaban islam,” paparnya pada YouTube dalam Bincang Bersama Sahabat Wahyu dengan tema Uang Kuliah (UKT), Rezim Jokowi Mau Mencerdaskan Bangsa atau Membodohkan? Rabu, (8/5/2024).

“Saya pikir kalau urusan pendidikan, sejarah memberikan catatan yang begitu penting dalam peradaban Islam itu. Bagaimana sistem pemerintahan yang berlaku kala itu adalah sistem pemerintahan Islam dalam hal ini bisa disebut imamah atau khilafah atau disebut dengan Amirul Mukminin dan sebagainya,” ungkapnya

Wahyudi menjelaskan, para pemimpin-pemimpin tersebut menjalankan kewajiban  mereka dalam mencerdaskan rakyatnya. Dan kalau kita lihat dalam catatan sejarah itu, kampus tertua di dunia yang dibangun di Maroko pada abad ke-9 tahun 859, itu menunjukkan bahwa dalam hal pendidikan Islam jauh memberikan teladan bagaimana mengelola pendidikan.

Bahkan, di zaman Khalifah Umar bin Khattab memberikan contoh bagaimana menggaji guru level dasar yang mengajari ilmu baca menulis huruf iqro di level pendidikan dasar itu, itu dengan 15 Dinar. 

“Saya pikir ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan sekarang. Karena satu dinar itu sama dengan 4,25 gram emas,” sebutnya. 

“Nah saya pikir juga itu yang memberikan contoh, bagaimana pendidikan Islam itu dibangun serius, dicontohkan pada pendidikan-pendidikan Islam yang gratis,” tegasnya. 

Oleh karenanya, itu menjadi kewajiban negara. Sementara sebenarnya, itu hal yang bisa dilakukan dulu. Berarti sekarang lebih bisa kalau dulu khalifah bisa memberikan pendidikan gratis, menggratiskan pendidikan, membangun kampus yang begitu megah, perpustakaan-perpustakaan yang begitu megah tanpa harus membebani masyarakat. 

Ia menambahkan, dalam sejarah peradaban Islam kalau kita lihat sumber daya alam dulu belum dieksplorasi. Di zaman Umar bin Khattab kala itu tambang emas belum digali. Belum dimanfaatkan, tetapi mereka mampu untuk memberikan pendidikan gratis kepada rakyatnya. Dan menggaji para  gurunya di atas kelayakan. Apalagi di zaman Umar bin Abdul Aziz, nah itu bisa dilihat hampir seluruh masyarakatnya hanya butuh 2 tahun lebih tidak ada lagi yang berhak menerima zakat karena semuanya sejahtera, kalau boleh dibilang, kehidupannya mapan di atas rata-rata.

“Saya pikir itu tidak akan terjadi di zaman kapitalis sekarang. Zaman kapitalis sekarang justru kekayaan alam sudah dieksploitasi tambang-tambangnya diambili, kekayaan alam dikeruk, tetapi tidak digunakan untuk menyejahterakan masyarakatnya. Yang ada adalah jurang kesenjangan antara si miskin dan si kaya. Kekayaan alam di kangkangi oleh oligarki dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan mereka bukan untuk kemakmuran masyarakat,” terangnya. 

Kemudian Wahyudi menyampaikan buktinya, ada gunung emas di Papua, tetapi masih ada masyarakatnya di pegunungan yang mati karena kelaparan. Termasuk dalam hal pendidikan. Pendidikan justru sudah dikelola secara kapitalistik dimana pendidikan  berorientasi kepada pengelolaan bisnis bukan model pelayanan kepada masyarakat. 

Ia menyebut di APBN, terdapat aturan undang-undang yang menyatakan 20%nya itu untuk biaya pendidikan. Kalau 20% APBN kita itu 3000 triliun, 20% itu kan besar.  

“Nah pertanyaannya, uangnya ke mana? Kenapa harus juga membebani masyarakat untuk biaya pengelolaan pendidikan ini? Ini yang perlu dipertanyakan, ke mana uang-uang itu, untuk apa saja?” sindirnya. 

Ia mengungkapkan, kalau sampai menyatakan itu sudah habis misalnya, karena biaya pendidikan yang mahal dan sebagainya, oke. Lalu kenapa mampu mengalokasikan dan mau mengalokasikan untuk biaya membangun istana bisa, membangun ibu kota bisa, tetapi kenapa untuk pendidikan masih harus dibebankan kepada masyarakat. Ini persoalan serius.

“Makanya saya bilang ada persoalannya di mindset pengelolaan rezim yang berkuasa ini. Sebab, bisa terlihat bagaimana mereka memahami kewajibannya dalam konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ini, apakah dianggapnya dengan membangun IKN itu lebih untuk  mencerdaskan, atau membangun kampus-kampus dengan membebaskan biaya pendidikan itu yang lebih mencerdaskan, Saya pikir itu yang perlu dipertanyakan kepada para pemimpin-pemimpin di rezim Pak Jokowi,” katanya.

“jadi, risiko menaikkan UKT membebani biaya pendidikan kepada masyarakat itu tidak sejalan dengan amanat konstitusi,” tandasnya []Titin Hanggasari

0 Komentar