Pajak THR Memberatkan Rakyat


MutiaraUmat.com -- Potongan pajak atas penghasilan dan tunjangan hari raya (THR) di bulan Maret lalu menuai protes dari publik. Hal ini disebabkan oleh semakin besarnya potongan pajak yang dikenakan pada bulan diterimanya THR ini.

Usut punya usut, protes ini berlangsung sejak penetapan skema baru penghitungan dan pemungutan pajak penghasilan (PPh) melalui mekanisme TER (Tarif Efektif Rata-Rata) yang diterapkan sejak Januari lalu yang terasa memberatkan rakyat.

Penjelasan singkatnya mengapa pajak THR dengan mekanisme TER ini semakin besar karena jumlah penghasilan yang diterima lebih besar sebab terdiri atas gaji dan THR.

Di dalam sistem Kapitalis, pajak merupakan salah satu sumber pemasukan negara. Setiap warga baik pekerja maupun non-pekerja dikenai wajib bayar pajak di berbagai aspek.

Jika melanggar atau tidak mematuhi bayar pajak maka akan mendapat hukuman, seperti bunga, denda, hingga kurungan penjara.

Penarikan pajak dinilai sebagai cara termudah mengumpulkan dana untuk penyelenggaraan negara. Sebagaimana konsep dari sistem ekonomi Kapitalis itu sendiri yakni meminimalisir usaha untuk mendapat keuntungan sebesar- besarnya.

Padahal disisi lain, negara memiliki berbagai sumber daya alam( SDA) yang berlimpah yang apabila dikelola dengan baik akan mampu memenuhi kebutuhan rakyat secara aggregate. Namun diserahkan kepada swasta dan dijadikan sebagai bisnis untuk memperkaya segelintir orang.

Dalam sistem Islam, sumber pemasukan negara bermacam- macam. Mulai dari SDA, fa'i (harta rampasan perang), jizyah (harta yang dibayarkan non-muslim yang tinggal di wilayah negara Islam sebagai jaminan), kharaj (pungutan atas tanah rampasan perang), seperlima harta rikaz (barang temuan), dan zakat.

Negara boleh menetapkan pajak jika ini merupakan pilihan terakhir saat kas negara atau disebut Baitul Mal sedang kosong dan tidak ada sumber pemasukan seperti yang disebutkan sebelumnya.

Pungutannya pun hanya diwajibkan kepada aghniya (orang kaya) yang dilandasi atas dasar keimanan kepada Allah dan ketaatan kepada pemimpin untuk menyedekahkan hartanya membantu perekonomian negara. Pungutan ini berakhir ketika keuangan negara sudah stabil kembali.

Artinya haram menjadikan pajak sebagai salah satu pemasukan negara, karena hal ini merupakan kedzoliman terhadap rakyat. Berdasarkan beberapa dalil yang disebutkan berikut:

Tidaklah seseorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga.” (HR Bukhari- Muslim).

"Telah ditampakkan pada diriku tiga golongan pertama yang akan masuk ke dalam neraka, yaitu seorang pemimpin yang berbuat durhaka, orang kaya yang tidak mau menunaikan hak- hak Allah, dan orang miskin yang congkak." (HR Ibnu Hibban dan' Uyainah)

Terlihat jelas bahwa sistem Islam jauh berbeda dengan sistem Kapitalis yang diterapkan saat ini. Sistem Kapitalis yang berdasar pemisahan agama dari kehidupan, tidak memiliki standar halal dan haram yang jelas, serta menjadikan materi sebagai tujuan utama, maka bisa saja menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan tersebut.

Sedangkan Islam, landasannya adalah keimanan dan ketaatan kepada Allah. Tujuan utama adalah menjadi hamba yang bertakwa. Maka seluruh komponen dalam masyarakat baik itu individu hingga negara saling berlomba untuk meraih ketakwaan. Berikut memanfaatkan instrumen pendukung seperti ruang hidup dan potensi kehidupan sebagai ajang untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Nuril Hafizhah
(Aktivis Muslimah)

0 Komentar