Oposisi Dalam Demokrasi Bukan Berlandaskan Kepentingan Rakyat


MutiaraUmat.com -- Direktur Pamong Institute Wahyudi Al-Maroky mengatakan oposisi dalam sistem pemerintahan demokrasi mengkritik penguasa bukan untuk kepentingan rakyat, namun hanya demi  mendapatkan benefit politik. 

“Nah kalau ditanya, apakah oposisi perlu  di seluruh sistem pemerintahan (demokrasi)? Perlu oposisi. Hanya saja oposisi mengkritik penguasa, tanpa harus berlandaskan kepentingan rakyat. Biasanya kepentingan rakyat hanya demi mendapatkan benefit politik tertentu atau dukungan rakyat. Setelah dia ikut berkuasa sama kebijakannya. Nah itu yang terjadi," katanya dalam Konsolidasi Koalisi; Politik Dagang Sapi Harga Mati? di kanal Youtube Peradaban Islam, Sabtu (27/04/2024). 

Wahyudi menunjukkan, bahwa yang terjadi dalam praktik demokrasi hari ini, itulah praktik sesungguhnya demokrasi. Jadi ada partai-partai politik yang akhirnya ditawari walaupun kalah dalam kontestasi ditawari untuk bergabung dalam kekuasaan. Dalam posisi yang berkuasa juga dia tidak pede untuk berkuasa sendiri, dia butuh dukungan parlemen, dukungan politik yang lain. Dia menawarkan untuk yang lain ikut bergabung dalam kekuasan. 

“Akhirnya apa? Praktis tidak ada oposisi. Kalau tidak ada oposisi berarti kekuasaannya semakin membesar, tidak ada yang mengoreksi. Sementara rakyat mau mengoreksi dikriminalisasi. Ini yang  menjadikan praktik demokrasi yang buruk terjadi di negeri ini. Sebenarnya bukan hanya sekedar sistem yang buruk, orangnya juga buruk.  Jadi rezimnya buruk, sistemnya juga memberi ruang untuk buruk. Nah, jadi ini kalau kita lihat itulah yang sesungguhnya,” terangnya. 

Lalu, ia menjelaskan perbedaan oposisi dalam Islam dengan demokrasi. Dalam Islam mengkritik penguasa atau menasihati penguasa atau melakukan  koreksi terhadap penguasa, itu bukan hak sebagaimana dalam sistem demokrasi. Kalau dalam sistem demokrasi mengkritik penguasa, mengoreksi penguasa dianggap sebagai haknya warga negara. Tetapi dalam pandangan Islam ini bukan hak, tetapi kewajiban. 

Sementara, kalau mengkritik atau mengoreksi penguasa  dalam pandangan demokrasi dianggap sebagai hak saja, sehingga bisa diajak dan bergabung. Sehingga dia tidak perlu menjalankan haknya, dianggap tidak dapat masalah, tidak dapat dosa dan seterusnya. Tetapi dalam sistem Islam lain, kalau melihat penguasa dia harus mengkritik mengoreksinya dan itu bukan sebagai hak tetapi sebagai kewajiban. Kalau kewajiban tentu dilaksanakan berpahala, ditinggalkan  mendapat dosa. 

Ia pun, menawarkan solusi-solusi lain, ada sistem pemerintahan Islam, sistem politik Islam, untuk perbaikan dalam praktik pemerintahan sistem demokrasi, yang dipraktikkan hari ini. Dan memberikan catatan untuk dipahami bahwa, praktik politik dinasti, praktik kecurangan, praktik adu domba dalam  pesta demokrasi kemarin itu harus dipahami bahwa itulah praktik demokrasi dan bukan praktik sistem Islam atau sistem Khilafah. 

“Jadi kalau hari ini ada yang mengatakan sistem Khilafah itu berbahaya memecah belah bangsa dan seterusnya. Sebenarnya  belum terbukti dan belum pernah ada kasusnya, tetapi dalam konteks praktik demokrasi sudah terbukti dan banyak kasusnya bahkan ada banyak korban yang akhirnya meninggal gara-gara pesta demokrasi. Kan kita bisa melihat, jadi ini juga perlu kita juga dudukkan dalam persoalan  ini,” tegasnya. 

Ia mengingatkan kembali, tidak harus  mendorong semua partai untuk oposisi, tetapi juga tidak  mendorong semua untuk gabung dalam kekuasaan. Oleh karenanya, semestinya dalam praktik kehidupan bermasyarakat ada peran. Peran yang pertama adalah yang berkuasa. Kalau berkuasa, berkuasalah dengan benar dengan  baik dan kedua, kalau sedang di luar kekuasaan maka jalankan fungsi kewajibannya, yaitu mengkritisi dan mengoreksi penguasa yang hukumnya dalam pandangan Islam adalah wajib. 

“Tentu cara pandang koreksinya juga harus koreksi pandangan Islam sehingga berpahala. Kalau mengoreksi hanya dalam pandangan kepentingan pribadi, kepentingan partai politik, bukan kepentingan masyarakat, kepentingan yang  tidak dibenarkan oleh syariat maka praktis tidak bermanfaat dan tidak berpahala,” imbuhnya. 

Wahyudi mengatakan kalau pemerintahannya baik, semua pemerintahan yang melaksanakan malaikat, mungkin rakyat tenang. Hari ini orang yang duduk berkuasa itu punya banyak  hutang politik di mana-mana, janji politik di mana-mana, termasuk mungkin juga penggunaan dana kampanye yang begitu besar bahkan ada potensi untuk segera merancang untuk mengembalikan biaya-biaya  kampanye. 

“Lalu bagaimana kita bisa berbaik sangka bahwa mereka itu seperti malaikat yang tidak butuh duit, tidak butuh  menyelewengkan kekuasaan. Jadi ini yang persoalan sangat serius. Jadi kalau menurut saya kalau semua berbondong-bondong berkuasa  berarti, akhirnya gotong-royonglah korupsi itu bersama-sama, tidak ada yang mengkoreksi lagi, tidak ada yang mengkritik lagi dan rakyat tinggal menonton saja. Bahkan mungkin rakyat tidak tahu persis apa yang dikorupsi, apa yang dilakukan, tahu-tahu saja pajak naik, tahu-tahu saja pertalite hilang, tahu-tahu saja sembako mahal, tahu-tahu saja harga-harga naik semua,” tegasnya. 

Ia menjelaskan praktik yang terjadi sesungguhnya dalam kebijakan pemerintahan sistem demokrasi yang di mana rakyat harusnya berkuasa, tapi dia tidak berkuasa .Hanya dalam kontek kekuasaan ketika memilih itu saja di bilik suara. 

“Itulah fakta demokrasi yang sesungguhnya. sehingga kalau kita melihat dalam ini kalau dibilang semua diajak berkuasaah. Nah ini justru mereka praktis punya rencana  untuk sama-sama mengembalikan biaya-biaya politik itu secara bersama-sama dengan apa, dengan  bahasa kita menunggangi  kekayaan-kekayaan negara, kekayaan-kekayaan alam kita. Maupun mungkin, APBN kita juga mereka kelola bersama-sama dan ujungnya apakah untuk rakyat?  “Untuk prioritas pertama adalah mengembalikan hutang-hutang politik, mengembalikan adalah dana-dana kampanye, dan dana-dana biaya politik Sebelumnya. Saya pikir itu yang harusnya diwaspadai dengan sungguh-sungguh,” tambahnya. 

Ia menduga, kalau ada yang mengajak  untuk koalisi permanen apalagi koalisi besar. Justru  itu menimbulkan kecurigaan publik bahwa akan ada upaya mengajak bersama-sama dalam mempraktikkan  kolusi, korupsi, nepotisme secara bersama-sama yang tentu akan dianggap lebih dahsyat, lebih brutal daripada di masa orde baru lalu. 

“Kalau dulu reformasi lalu kita  mengkritik mengoreksi sehingga melakukan reformasi karena orde Baru melakukan praktik KKN (Nepotisme Korupsi Kolisi) dan seterusnya. Hari ini praktik itu bukan sama dengan orde baru, tetapi semakin brutal dan semakin telanjang di depan mata rakyat bagaimana mereka mempraktikkan KKN itu, termasuk juga praktik  politik dinasti. Nah itu, yang  terjadi itu plusnya hari ini,” pungkasnya. [] Sri Nova Sagita

0 Komentar