Nikah Beda Agama Tetap Nge-tren: Haruskah Cinta Mengalahkan Iman?

MutiaraUmat.com -- Artis menikah beda agama namun harmonis dan langgeng. Tajuk tersebut menghiasi pemberitaan beberapa media online akhir-akhir ini seiring kabar menikahnya sepasang artis. Tanpa disadari, berita tersebut dapat menggiring opini publik, "Meski menikah berbeda agama toh baik-baik saja. Lantas masalahnya di mana?"

Ya, nikah beda agama masih marak di negeri ini. Bahkan seakan menjadi tren di kalangan artis. Meski suara penolakan terdengar di sana-sini, bahkan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan untuk melegalkan pernikahan beda agama melalui Putusan Nomor 24/PUU-XX/2022, faktanya ada saja Pengadilan Negeri (PN) yang mengesahkannya. Sebagaimana tiga pernikahan pasangan beda agama di Jogja disahkan PN Jogja pada Juni 2023.

Atas nama cinta dan hak asasi manusia (HAM), larangan nikah beda agama diabaikan. Proyek lama deislamisasi dan liberalisasi ini terus berjalan. Bertambah mulus ketika negara memfasilitasi keabsahannya melalui penetapan pernikahan oleh PN dan penerbitan kutipan akte nikah oleh Kantor Catatan Sipil sebagai pernikahan tercatat. Sehingga status pernikahan sah terkait anak, harta bersama, warisan, dan lain-lain. Dengan demikian, tren nikah beda agama tak bisa dilepaskan dari fasilitas sistemis yang bernuansa sekularisme liberalistik.

Iman Minimalis dalam Kungkungan Sekularisme Liberalistik

"Kalau cinta sudah melekat, tai kucing rasa coklat." Masih ingat lirik lagu yang dipopulerkan oleh Gombloh, penyanyi tersohor di masa itu? Ungkapan tersebut tak salah. Realitasnya, berdalih cinta dan mengunggulkannya, seseorang nekat menabrak pagar agama. Melabrak kaidah halal-haram. Rela menikah beda agama hingga murtad demi mengagungkan kata cinta. Cinta apa nafsu? 

Miris. Pernikahan beda agama telah jelas keharamannya dari sisi dalil agama Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun telah mengeluarkan fatwa pada tanggal 1 Juni 1980 bahwa nikah beda agama haram dan tidak sah. Lantas, mengapa nekat? Berikut beberapa faktor penyebab nikah beda agama tetap nge-tren di negeri Muslim Indonesia. 

Pertama, individu rapuh iman. Hidup hanya bermodalkan iman pas-pasan tentu mudah terpengaruh oleh keadaan (perasaan). Hingga rela mengalahkan urgensi iman dibanding cinta pada pasangan. 

Kedua, orang tua (keluarga) abai menanamkan nilai-nilai agama sebagai pondasi kehidupan. Dengan berbagai alasan, orang tua bisa jadi lalai mendidik anak dengan agama. Iman takwa minim ditanamkan. Perkara syariat khususnya yang terkait interaksi pria wanita dan pernikahan tidak pernah diajarkan. 

Ketiga, masyarakat kian permisif dan tidak peduli. Fungsi masyarakat sebagai kontrol nyaris hilang. Kemaksiatan dianggap hal biasa yang tak perlu dicela. Amar makruf nahi mungkar nyaris tak ada. 

Keempat, contoh dari figur publik yang di-blow up media. Media sering memberitakan kalangan artis yang nikah beda agama dan dikesankan harmonis. Ini akan membentuk opini bahwa nikah beda agama itu baik-baik saja, tak ada masalah. 

Kelima, masifnya arus moderasi beragama. Program ini masif disampaikan terutama di institusi pendidikan khususnya sekolah berbasis agama. Intinya mengajarkan tentang toleransi beragama yang kebablasan. Praktiknya, tidak mempermasalahkan nikah beda agama karena itu bagian dari toleransi keberagamaan. 

Keenam, tidak ada sanksi dari negara. Dalam perspektif Islam, pelaku nikah beda agama tak ubahnya pezina. Tapi dalam sistem kenegaraan saat ini, mana bisa pelakunya diberi sanksi? Justru dianggap melanggar hak asasi. 

Demikian penyebab nikah beda agama tetap nge-tren di negeri Muslim Indonesia. Dari semua poin penyebab di atas, nampak paham sekularisme liberalistik mendominasi di semua lini. Dari kehidupan individual, keluarga, masyarakat, hingga negara, semua memiliki satu warna, yaitu sekuler liberal. Jauh dari aturan agama (Islam), hidup bebas memperturutkan hawa nafsunya.

Dampak Nikah Beda Agama terhadap Keimanan Seorang Muslim

Gencarnya wacana nikah beda agama diduga mempunyai benang merah dengan gerakan kristenisasi dan proyek deislamisasi. Hal ini dapat dicermati dari dinamika politik menjelang kelahiran UU Pernikahan yaitu UU No. 1 tahun 1974. 

Pada 31 Juli 1973 pemerintah mengajukan RUU Pernikahan. Ada sejumlah pasal bermasalah yang kemudian diketahui draft RUU ini dibuat oleh kalangan Kristen sekuler. Sedikitnya ada sembilan pasal yang berlawanan dengan prinsip Islam.  Di antaranya Pasal 11 (2) yang menyatakan: “Perbedaan dikarenakan kebangsaan, kesukuan, tanah asal, agama, kepercayaan, dan keturunan, bukan merupakan halangan untuk pernikahan”. 

Para tokoh Islam merespons keras RUU tersebut. Mereka menilai, RUU ini adalah jalan memaksa kaum Muslimin, golongan mayoritas untuk meninggalkan syariat agamanya. Organisasi-organisasi Islam berdemonstrasi dan melobi pemerintah agar melakukan perbaikan RUU. Prof. Dr. H.M. Rasyidi, mantan Menteri Agama menuding, ada “kristenisasi dalam selubung”. Menurutnya, pasal dalam RUU pernikahan ini satu paket gerakan kristenisasi oleh misionaris di Indonesia seperti pembangunan gereja di berbagai tempat. 

UU Pernikahan akhirnya disahkan dengan berbagai perubahan mendasar. Namun, UU sebagai hasil perjuangan keras umat Islam ini terus diusik. Di baliknya ada proyek deislamisasi yang bersenyawa dengan liberalisme. Di dalamnya termasuk kalangan misionaris yang sejak lama kecewa terhadap keberadaan UU ini. Kini, para aktivis liberal pun giat mengopinikan bahwa pernikahan beda agama tidak ada masalah dari perspektif ajaran agama (Islam). 

Umat Islam layak khawatir jika opini kaum liberal ini kian masif. Terlebih jika nikah beda agama dibolehkan/dilegalkan dengan alasan HAM, dan sebagainya. Berikut dampak buruk nikah beda agama terhadap keimanan seorang Muslim. 

Pertama, membuka pintu lebar bagi pemurtadan. Selama ini, diduga nikah beda agama banyak digunakan untuk pemurtadan. Berdalih cinta, keluar dari agama (Islam) mengikuti agama pasangannya. 

Kedua, melegalkan perzinaan. Dalam pandangan Islam, nikah beda agama haram dan tidak sah. Konsekuensinya, pelakunya dinilai berzina. Maka, bagaimana bisa meraih tujuan pernikahan sakinah mawaddah wa rahmah dalam tindakan berbalut kemaksiatan? 

Ketiga, liberalisasi hukum Islam berujung pada deislamisasi. Pembolehan ini akan menjadi pintu untuk meruntuhkan banyak ketentuan Islam, terutama yang terkait dengan akibat pernikahan seperti hukum waris, perwalian, nafkah, hubungan pria wanita dalam pernikahan, dan sebagainya

Keempat, merembet pada tuntutan agar ragam pernikahan yang dilarang Islam juga dilegalkan. Misalnya, pernikahan sedarah, pernikahan sejenis, dan praktik perzinaan lain akan minta dilegalkan.

Kelima, menurunkan loyalitas dan ketaatan Muslim pada Allah SWT. Muslim/Muslimah pelaku nikah beda agama berpotensi tergerus loyalitasnya pada agama Islam. Alih-alih demi toleransi pada pasangannya, ia akan melonggarkan keterikatan pada syariat Allah dan Rasul-Nya. Saat larangan Allah untuk nikah beda agama saja dilanggar, bagaimana ia akan mampu menjalankan syariat Islam lainnya? 

Keenam, melahirkan generasi yang lemah agamanya. Perbedaan agama pasangan tentu berakibat pada perbedaan visi misi atau cara pandang mereka terhadap kehidupan. Berikut berpotensi memunculkan pola asuh berbeda. Bagaimana mungkin akan lahir generasi berkepribadian Islam yang khas dan mumpuni dari pernikahan gado-gado seperti ini?

Ketujuh, mengokohkan eksistensi sistem sekularisme liberalistik. Maraknya nikah beda agama lambat-laun akan dianggap sebagai peristiwa biasa. Kemaksiatan yang dilakukan terus-menerus akan dianggap sebagai sebuah kebenaran. Masyarakat akan terbiasa dengan praktik penyimpangan agama. Hal ini kian mengeksiskan praktik sistem sekularisme liberalistik. 

Demikianlah dampak buruk nikah agama. Akumulasi dampak di atas akan membuat keimanan seorang Muslim, terlebih bila ia pelakunya, akan kian tergerus. Bagi Muslim lainnya, praktik nikah beda agama yang terus-menerus terjadi, akan dianggap sebagai hal biasa dan wajar. Bila demikian, rusaklah suasana keimanan dalam umat Islam.

Konsep Pernikahan yang Dilandasi Rasa Cinta namun Tetap Mengutamakan Keimanan

Jika kita cermati, upaya menggugat aturan agama bahkan yang sudah jelas dalilnya  akan terus berlangsung  selama sistem demokrasi diterapkan di negeri ini. Sistem demokrasi memberi peluang berpendapat sekehendak hatinya karena demokrasi menganut prinsip kebebasan; beragama, kepemilikan, berpendapat, dan bertingkah laku. Maka 'wajar' seseorang berpendapat walau bertentangan dengan Islam. 

Sistem Islam sangat berbeda dengan demokrasi. Perkataan dan perbuatan seorang Muslim wajib terikat hukum syara’. Tidak bebas sekehendaknya, termasuk yang terkait dengan hukum pernikahan beda agama bahwa kaum Muslim dan Muslimah haram menikah dengan non-Muslim. 

Allah SWT berfirman: “Janganlah kalian menikahi para wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita Mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Jangan pula kalian menikahkan kaum musyrik (dengan para wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya…” (QS. Al-Baqarah [2]: 221). 

Maka konsep pernikahan yang dilandasi rasa cinta namun tetap mengutamakan keimanan adalah: 

Pertama, setiap Muslim memahami prioritas cinta. Cinta yang utama wajib diberikan seorang hamba pada Allah SWT dan Rasul-Nya. Hal ini diwujudkan dengan keterikatan Muslim pada segenap perintah dan larangan Allah SWT. Sehingga cinta pada manusia tidak berdasar hawa nafsu. 

Kedua, memahami bahwa kebahagiaan hidup hakiki hanya bisa dicapai dengan ridha Allah. Ketika nikah beda agama adalah hal yang dilarang dalam Islam, bagaimana mungkin pelakunya akan merasa bahagia? Bisakah pernikahan harmonis tercapai dalam balutan kemaksiatan? 

Ketiga, memahami visi misi pernikahan dalam Islam. Visi misi ini tentu  hanya akan tercapai bila pasangan suami istri memiliki kesamaan keyakinan agama. Ibarat orang berjalan, tujuan, arah, dan cara melakukannya sama. Bila berbeda agama, bisakah? 

Keempat, memahami hukum nikah beda agama. Bahwa perkawinan wanita mukmin dengan pria kafir adalah haram secara mutlak. Perkawinan pria mukmin dengan wanita musyrik (selain Yahudi dan Nasrani) juga haram. 
 
Adapun memahami perkawinan pria mukmin dengan wanita ahlul kitab adalah halal/boleh, namun dibatasi hanya dengan wanita ahlul kitab yang muhshanât yaitu ‘afîfât (yang senantiasa menjaga kesucian dan kehormatannya). Namun kini masih adakah wanita ahlul kitab yang muhshanat

Kelima, keluarga Muslim ikut menyuarakan keharaman pernikahan beda agama serta dampak buruknya bagi umat Islam. Jika pernikahan campuran saja difasilitasi, maka hendaknya kita menjadi fasilitator bagi sampainya kebenaran Islam di tengah masyarakat.

Keenam, menyadari bahwa maraknya pernikahan beda agama adalah buah penerapan sistem demokrasi liberalistik. Selama sistem tersebut eksis, pernikahan gado-gado dan segenap kemaksiatan lainnya akan terus berlangsung. 

Demikian konsep pernikahan yang dilandasi cinta namun tetap mengutamakan keimanan. Oleh karena itu, jika menginginkan pernikahan beda agama tak terjadi lagi, sekaligus manusia terlepas dari kondisi rusak dan merusak, solusi totalnya ialah kembali pada aturan Ilahi dan menerapkannya dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Maka, berjuang menegakkan kalimat Allah SWT adalah jawabannya.

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

0 Komentar