Metaverse Kawasan Borobudur di Tengah Dominasi Kapitalis Hanya Mimpi Buruk Semata

MutiaraUmat.com -- Platform Metaverse Kawasan Manunggal Jaya Borobudur baru saja diluncurkan oleh Pj Bupati Magelang dan Wakil Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Dengan Platform Metaverse yang dikembangkan oleh Unimma ini, masyarakat di level desa melalui BUMDes diharapkan akan semakin banyak terlibat dalam ekonomi digital sehingga dapat memajukan Kawasan pedesaan di Kabupaten Magelang.

Hanya saja, penggunaan teknologi terkini yang tidak disertai dengan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) yang mumpuni tidak akan dapat dimanfaatkan secara optimal.

Penguasa cenderung tidak serius di dalam melatih SDM yaitu masyarakat secara luas. Mereka diperintahkan mencari pelatihan sendiri-sendiri bahkan tak jarang mereka yang serius mengikuti era disrupsi ini harus merogoh kantong lebih dalam untuk mengikuti seminar-seminar digital marketing maupun teknologi informasi lainnya.

Tak jarang penguasa menggandeng swasta untuk melakukan pelatihan kepada masyarakat namun berbalut kontrak-kontrak kerjasama yang menguntungkan pihak swasta. Seperti pihak Sampoerna yang diuntungkan dengan Sampoerna Retail Community (SRC) merupakan jaringan toko kelontong terbesar di Indonesia didukung oleh pemerintah atas nama proyek digitalisasi toko kelontong di Indonesia.

Akhir 2023 yaitu bulan November, Jokowi mendapatkan pinjaman dari Amerika Serikat, dengan alokasi salah satunya untuk meningkatkan inklusi keuangan dan pertumbuhan ekonomi melalui penjaminan pinjaman kepada Bank Sampoerna untuk kredit UMKM-nya sebesar US$ 131 juta yang terbagi dengan Amartha Nusantara Raya untuk penyaluran kredit kepada pengusaha di desa.

Padahal, tidak semua toko kelontong masuk di dalam binaan SRC. Dan tidak semua pengusaha di desa mengambil pinjaman kepada Amartha Nusantara Raya.

Sayangnya, dalam sistem kapitalisme ketika pihak swasta mengajukan utang kemudian mereka di kemudian hari pailit, lagi-lagi utang itu akan dikembalikan kepada negara. Sehingga masyarakat yang akan menanggungnya.

Belum lagi ekonomi digital sangat dikuasai oleh para pemilik modal sehingga mereka lah yang sebenarnya paling diuntungkan. Hampir semua ekonomi digital itu milik swasta, bukan milik pemerintah.

Andai saja pemerintah serius membuat pasar digital yang di sana diawasi langsung oleh pemerintah, tentunya biaya yang dibebankan kepada penjual yang berjualan di pasar digital tentu tidak terlalu besar. Di sisi lain ada upaya pemerintah untuk melakukan edukasi mengajak masyarakat untuk melakukan jual beli di platform pasar digital milik pemerintah.

Pemilik modal menguasai segala aspek perekonomian di dalam sistem kapitalisme, termasuk ekonomi digital sedangkan negara menjadi fasilitator dan regulator yang berpihak kepada mereka. Hal ini dikarenakan dalam sistem kapitalisme kebebasan individu dijamin oleh negara, termasuk kebebasan kepemilikan terhadap semua sektor baik publik, negara maupun privacy. Masyarakat hanya mendapatkan manfaat yang sangat sedikit. Bahkan hanya tetesan sisa para kapital, namun pajak yang dibebankan justru dirasa lebih berat disebabkan profit yang tak seimbang dengan operasional.

Dalam Islam, teknologi adalah hasil ilmu yang tidak berkaitan dengan pandangan hidup. Teknologi disifati sebagai madaniah umum yang pemanfaatannya dibolehkan untuk kaum Muslim. Tidak memandang teknologi itu hasil Barat atau bukan selama ia dihasilkan tidak dari pandangan hidup melainkan hanya dari ilmu pengetahuan saja.

Sehingga teknologi merupakan alat bantu peradaban yang hukumnya mubah. Pemanfaatan teknologi harus sesuai dengan Syari’at Islam. Misalnya, metaverse yang ditujukan untuk kemajuan ekonomi digital harusnya tidak ada aktivitas-aktivitas yang dilarang di dalamnya. Seperti multiaqad, riba, judi dan sejenisnya.

Karena pengendali teknologi adalah negara, maka teknologi bisa dijalankan sesuai dengan syariat Islam atau tidak itu bergantung kepada corak pandang khas negaranya. Jika negara memiliki corak pandang sekuler maka sampai kapanpun tidak akan terwujud teknologi digital yang dijalankan sesuai syariat Islam. Yang ada justru dengan kemajuan teknologi menjadi biang kemaksiatan semakin merajalela dan berkembang jenis dan rupanya. yang digantungkan banyak orang tua maupun masyarakat atas  fenomena kerusakan generasi akibat teknologi hanya menjadi angan kosong yang tiada pernah tersolusi selama sistem belum berganti.

Selama dominasi sekularisme kapitalisme masih bercokol di sebuah negara bahkan dunia maka kemajuan teknologi termasuk metaverse hanya akan menjadi mimpi buruk semata.

Sebaliknya, jika negara memiliki corak pandang Islam teknologi justru memudahkan manusia meraih derajat taqwa disisi Allah SWT. Terjaminnya muamalah secara halal di hadapan RabbNya memastikan muamalah sesama manusia bernilai ibadah karena sistem dalam teknologi digital yang digunakan sudah di setting sesuai syariat Islam. Tayangan pornografi dan pornoaksi, judi online, game anarkhis akan hilang dan berganti dengan tayangan yang menggugah iman walaupun dikemas dengan game atau animasi untuk anak-anak. Inilah hasil teknologi yang memudahkan manusia meraih derajat taqwa karena dilandasi oleh pandangan Islam. Karena sudah menjadi janji Allah SWT jika penduduk suatu negeri itu beriman dan bertakwa kepada Allah SWT maka Allah SWT akan melimpahkan berkah dari langit dan bumi. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰۤى اٰمَنُوْا وَا تَّقَوْا لَـفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَا لْاَ رْضِ وَلٰـكِنْ كَذَّبُوْا فَاَ خَذْنٰهُمْ بِمَا كَا نُوْا يَكْسِبُوْنَ
"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-A'raf 7: Ayat 96)

Waalahu'alam Bishowab


Oleh: Heni Trinawati
Analis Mutiara Umat Institute



0 Komentar