Mempertanyakan Arah Pendidikan Bangsa


MutiaraUmat.com -- Di Bulan pendidikan ini, pemerintah kembali menekankan pentingnya pendidikan degan mengambil tema “Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar” dalam peringatan hari pendidikan (detik.com, 01/05/24).
Saat ini, Kurikulum merdeka yang telah diterapkan di Indonesia, akan dikembangkan sebagai kerangka kurikulum yang lebih fleksibel, berfokus pada materi esensial, pengembangan karakter dan kompetensi peserta didik. 

Karakteristik utama dari kurikulum ini, meliputi hal-hal berikut: Pertama, berfokus pada materi esensial sehingga pembelajaran lebih mendalam. Kedua, waktu lebih banyak untuk pengembangan kompetensi dan karakter melalui belajar kelompok seputar konteks nyata (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila). Ketiga, capaian pembelajaran per fase dan jam pelajaran yang fleksibel mendorong pembelajaran yang menyenangkan dan relevan dengan kebutuhan pelajar dan kondisi satuan pendidikan. Keempat, memberikan fleksibilitas bagi pendidik dan dukungan perangkat ajar pendidikan dan melaksanakan pembelajaran berkualitas. Kelima, mengedepankan gotong royong dengan seluruh pihak untuk mendukung implementasi Kurikulum Merdeka. (Sumber: Situs Kemdikbud).

Selama empat tahun kurikulum ini dikembangkan dan diterapkan. Skor literasi dan numerasi siswa mulai ada peningkatan yang signifikan. Namun yang kurang diperhatikan pemerintah adalah seberapa hebat kurikulum ini menjawab persoalan problematik pendidikan?

Hari ini dunia pendidikan masih merasakan keterpurukan dalam hal kerusakan generasi sebagaimana tebukti dengan meningginya angka kekerasan di lingkungan sekolah. Aris Adi Leksono, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)menyatakan, kekerasan anak pada awal 2024 sudah mencapai 141 kasus dalam data pengaduan KPAI. 35 persen dari seluruh aduan di antaranya terjadi di lingkungan sekolah atau satuan pendidikan (tempo.co, 12/03/2024). Ini hanyalah angka-angka yang tampak, belum kasus yang tidak terlaporkan. Di sisi lain, permasalahan seperti pergaulan bebas, hingga kehamilan di luar dan putus sekolah, menjadi hal yang lumrah terjadi. Semakin ke sini, generasi kita semakin jauh dari karakter dan akhlak mulia. Ini adalah bukti bahwa kurikulum yang diusung saat ini tidak berbanding lurus menghasilkan generasi yang berkarakter mulia. 

Pada faktanya, baik guru maupun siswa, bisa terlibat dalam kemaksiatan dan pelanggaran hukum. Ada guru yang merudapaksa siswanya, sementara ada pula yang mencukupkan dirinya sebagai penyampai materi semata. Di sisi lain, ada siswa yang merundung temannya, tapi ada pula orang tua yang melaporkan guru hanya karena tidak terima sang anak ditegur gurunya. Lebih parahnya, ada siswa menganiaya guru hingga meninggal. Kriminalitas di dunia pendidikan masih kerap terjadi saat ini. 

Boleh saja di atas kertas terjadi peningkatan capaian belajar atau penilaian yang bersifat materi. Akan tetapi, capaian karakter dan kepribadian mulia masih sangat jauh dari harapan kita. Ini karena kerangka kurikulum yang sudah berganti sebelas kali, masih berasas pada kapitalisme yang sekuler materialistis sehingga tujuan pendidikan menjadi kehilangan arah hanya berfokus pada capaian materi yang semu. Dalam sistem ini, pendidikan hanya berorientasi pada dunia kerja. Wajar jika dalam kebijakan yang pemerintah putuskan, selalu mempertimbangkan kesiapan peserta didik untuk terserap di dunia kerja. Memang benar bahwa dunia kerja membutuhkan strata pendidikan tertentu, mengingat keahlian adalah bagian dari penopang dunia kerja. Hanya saja, penyelenggaraan dunia pendidikan tidak melulu berbicara dunia kerja.

Dunia pendidikan berpeluang besar dalam mencetak individu yang ahli dalam beragam ilmu universal, juga paham akan kedudukannya sebagai ahli ilmu. Inilah visi pendidikan sebenarnya, yakni mencetak individu berkarakter sekaligus mampu menjadikan ilmu untuk membentuk karakter yang khas tersebut. Sehingga dapat dilihat hasil dari pendidikan sekuler hanya akan menghasilkan generasi yang hidupnya semata-mata mengejar materi dan ijazah. Begitu lulus mereka belum memiliki kemampuan, keahlian,ketrampilan dan kepribadian. Kebanyakan output pendidikan sekuler lebih bermental korup, terjerumus dalam lembah maksiat, generasi alay dan jauh dari harapan generasi yang akan memajukan negeri dengan karyanya.

Kurikulum pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi tidak lagi bervisi-misi untuk menghasilkan generasi cemerlang yang hebat dalam hal dunia dan mahir dalam hal akhirat. Pendidikan yang semestinya bervisi membangun kepribadian utuh manusia sebagai hamba Allah khalifah fil ardhi dikerdilkan hanya mencetak manusia bermental buruh. Tentu ini sangat berbeda jauh dengan bagaimana sistem pendidikan Islam.

Dari segi tujuannya pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki: 

Pertama. Kepribadian Islam.

Pada tingkat TK-SD, materi kepribadian Islam yang diberikan adalah materi dasar karena mereka berada pada jenjang usia menuju balig. Artinya, mereka lebih banyak diberikan materi yang bersifat pengenalan keimanan. Barulah setelah mencapai usia balig yaitu SMP, SMU, dan PT, materi yang diberikan bersifat lanjutan (pembentukan, peningkatan, dan pematangan). Hal ini dimaksudkan untuk memelihara sekaligus meningkatkan keimanan serta keterikatannya dengan syariat Islam. Indikatornya adalah bahwa anak didik dengan kesadaran yang dimilikinya telah berhasil melaksanakan seluruh kewajiban dan mampu menghindari segala tindak kemaksiatan kepada Allah Swt.

Kedua. Menguasai pemikiran Islam dengan handal.

Kurikulum dibangun berlandaskan akidah Islam, sehingga setiap pelajaran dan metodologinya disusun selaras dengan asas itu. Konsekuensinya, waktu pelajaran untuk memahami tsaqâfah Islam dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya, mendapat porsi yang besar, tentu saja harus disesuaikan dengan waktu bagi ilmu-ilmu lainnya. Yang termasuk tsaqofah Islam di antaranya adalah ilmu fiqih, membaca Al-Qur'an, memahami makna dan tafsirnya.

Sementara materi ideologi selain Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya seperti kapitalisme-sosialisme disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan cacat-celanya dan ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia dan bertentangan dengan Islam.

Ketiga. Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/IPTEK) dan memiliki ketrampilan yang tepat guna.

Dalam proses pengajaran, yang menjadi faktor terpenting adanya keberadaan peranan guru yang bukan saja sebagai penyampai materi pelajaran, namun sebagai pembimbing dalam memberikan keteladanan yang baik. Seorang guru dituntut harus memiliki kekuatan akhlak yang mulia agar menjadi teladan bagi peserta didik sekaligus profesional. Untuk menjadi profesional, maka guru harus mendapatkan pengayaan guru dari sisi metodologi, mendapatkan sarana dan prasarana yang memadai, mendapatkan jaminan kesejahteraan sebagai tenaga profesional, yang ini semua wajib disediakan negara.

Negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan. Bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi sekolah/PT, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah dan bahkan gratis. Maka tugas negara juga wajib menyiapkan sarana prasarana, peralatan dan infrastruktur untuk mendukung terselenggaranya pendidikan yang berkualitas. Sehingga dapat dipastikan sistem pendidikan Islam mampu menciptakan SDM yang handal sekaligus tinggi dalam nilai agama.

Sepanjang sejarah keemasan Islam telah membuktikan keberhasilan pendidikan Islam selama 13 abad lebih lamanya, yang kemudian banyak menghasilkan ilmuan-ilmuan terkemuka seperti Ibnu Sina (bapak kedokteran), Alzahrawi (bapak ilmu bedah), Al Khawarismi (penemu aljabar), Abbas Ibn Firnas (penemu pesawat pertama), Ibn Al Haytam (bapak optik), Jabir Ibn Hayyan (ahli kimia). Dan masih banyak lagi ilmuan-ilmuan muslim yang bukan hanya ahli dalam akademik atau ilmu pengetahuan namun mereka juga adalah orang-orang yang sangat ahli dalam agama. Sejarah juga mencatat pada masa kejayaan Islam, masa kekhilafaan umaiyyah di Spanyol. Cordova pada masa itu dikenal dengan pusat ilmu pengetahuan.

Cordova mengalami kemajuan pesat dalam bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan intelektual. Bukan hanya ummat Islam yang menjadi mahasiswa di Universitas ini, banyak mahasiswa dari berbagai negara datang termasuk mahasiswa kristen dari Eropa. Cordova di masa itu dikenal dengan “the greatest center of learning“ di Eropa.

Kejayaan Cordova banyak menginspirasi penulis barat dan banyak digambarkan oleh ahli sejarah ataupun politik sebagai cikal bakal pembawa kemajuan bagi barat di masa sekarang. Dan perlu dipahami bahwa Universitas Cordova hanya salah satu dari banyak keberhasilan Islam dalam dunia pendidikan dan ini membuktikan sistem pendidikan Islam itu pernah ada dan berhasil dalam memajukan pendidikan.

Artinya, dalam sistem pendidikan Islam akan menghasilkan output yang siap kerja dan terampil. Namun, mereka juga memiliki kepribadian Islam yang akan menjadikannya shalih dan shalihah, jauh dari perilaku menyimpang dan asusila. Nah, ini sebenarnya yang diperlukan oleh bangsa ini. Kerusakan generasi harusnya diberi solusi yang mampu mencetak mereka jadi generasi yang unggul dalam segala bidang, bukan berorientasi hanya pada materi dan dunia.

Di sinilah Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, semestinya menjadikan pendidikan islam dalam rangka memperbaiki sistem pendidikan yang bobrok hari ini di negeri tercinta. Mengapa negeri harus berkiblat pada sistem barat kapitalis yang nyata-nyata hanya merusak generasi dan masa depan bangsa? Sudah saatnya mengambil dan menerapkan sistem Islam dalam bernegara untuk keberkahan dan menjadikan generasi bangsa sebagai penerus peradaban emas. []


Oleh: Ani Susilowati
(Aliansi Penulis Rindu Islam)

0 Komentar