Larangan Shalat Saat Istirahat di Sekolah, Abdullah Al-Andalusi: Kehidupan Sosial di Barat seperti China yang Melarang Semua Ibadah


MutiaraUmat.com -- Muslim Intelektual asal Inggris, Abdullah al-Andalusi menyatakan bahwa kehidupan sosial di Barat seperti di London, kini tengah mengarah ke Cina, sebab melegalkan pelarangan praktik ibadah (shalat) di sekolah. 

“Kita kelihatannya sedang mengarah seperti Cina, yang mencegah dan melarang semua jenis pertunjukan yang berkaitan dengan keyakinan (keagamaan) di sekolah mereka, demi sebuah monokultural. Selain pemerintah, kini ada lagi mengajukan monokultural yang menciptakan perpecahan  dan menghancurkan kohesi sosial (sekolah),” ujarnya dalam sebuah wawancara bersama GB News, dan diunggah dalam akun pribadi YouTube Abdullah al-Andalusi dengan judul, Is Your Culture So Fragile That Muslim Prayer Is Such A Threat To You? Vs UK Wight- Wing Channel, Rabu (17/04/2024).

Abdullah menegaskan bahwa sekolah yang melarang praktik ibadah (shalat) terhadap siswa-siswanya, tidak sedang berada di Cina. Sehingga, kepala sekolah yang memberlakukan pelarangan (Kathrine Bon), ke depannya nanti, bahkan tidak menutup kemungkinan juga menghilangkan pengaturan toilet berbeda untuk siswa. Hanya ada satu toilet unisex terhadap siswa. Sebab perbedaan jenis kelamin seksual  akan melemahkan jalannya Marxisme.

“Untuk yang akan datang, memberikan hak toilte unisex dan memanggill setiap orang, tentu saja bukan lagi laki-laki atau perempuan. Karena pembagian menciptakan dua jenis kelamin akan melemahkan jalannya MArxisme,” lanjutnya. 

Dialog GB News bersama Abdallah Al-Andalusi adalah respons dari peristiwa seorang siswa Muslim menantang pengadilan tinggi demi melawan sebuah sekolah di London, yang melarang untuk melakukan ibadah ritual (shalat). Dan perlawanan tersebut mendapatkan penolakan oleh pengadilan setempat. 

Siswa tersebut menyatakan bahwa pelarangan ibadah di Sekolah Komunitas Michaela di London adalah diskriminatif dan tidak sah serta melanggar hak asasi dalam kebebasan beragama.

Namun demikian, sekolah menegaskan bahwa kebolehan ibadah berisiko ancaman kemanan dan dapat merusak kohesi sosial di antara anak-anak. Dan Katherine Bon, sebagai pemangku jabatan kepala sekolah mengeklaimnya sebagai sebuah bentuk kemenangan.

Muslim Intelektual itu sangat menyayangkan  kebijakan Kathrine Bon. Apalagi sampai menuduh pelaksanan ibadah oleh para siswa dianggap menjadi sebuah ancaman dalam kehidupan sosial di London. 

Ia juga mengatakan, untuk GB News sendiri selalu ada banyak komplain khususnya program Kekristenan dan praktik ibadah Kristen yang sedang dibatasi dalam sekularisme Inggris. Ironisnya, ketika pembatasan itu mendekati agama-agama lain, seperti Islam, justru dirayakan sebagai keberuntungan. 

“Sebagian pelajar sedang dicegah dari praktik ibadah saat jam istirahat, ketika mereka mungkin seharusnya bermain. Lalu  ada  sebagian yang memilih untuk ingin beribadah (shalat). Tetapi malah ditetapkan kebijakan pelarangan untuk itu,” jelasnya. 

Alih-laih untuk bisa memilih sekolah yang memberikan kebebasan beribadah (shalat) di Inggris, malah kini sedang dilegalkan pelarangan. Pelarangan yang dilegalkan menurut Abdullah memang tidak hanya mengenai satu agama tertentu. Tetapi lebih kepada pamer kekuasaan dan kebijakan sekolah yang melarang praktik ibadah semua agama.

“Saya kira ini bukan hanya menunjuk satu agama tertentu. Tetapi lebih kepada persoalan yang memamerkan kebijakan dan peraturan dalam sekolah bahwa tidak boleh melakukan praktik ibadah,” imbuhnya lagi. 

Inilah pesan yang jelas sebenarnya harus dipahami oleh para orang tua dan masyarakat agar memahami model kebijakan sekolah, sebelum mereka mendaftarkan atau memilih salah satunya untuk anak-anak. 

Pemangku kebijakan sekolah lanjut Abdullah, hakikatnya ingin mengatakan bahwa mereka berhak membuat peratura apa pun di sekolah dan silahkan jika tidak setuju. Mereka juga sebenarnya ingin mengatakan bahwa siswa diizinkan untuk beribadah di halaman atau lapangan dengan sukarela. 

Namun kemudian, ketika muncul rasa  keberatan dari berbagai pihak seperti kelompok Muslim misalnya yang kurang relijius (sekuler), karena  yang melakukannya adalah pelajar Muslim yang lebih relijius,  akan ada rasa semacam tekanan terhadap kalangan kaum Muslim yang tidak ingin menjadi relijius. 

“Lalu kemudian, pemilik kebijakan (kepala sekolah) akan katakan, saya hanya akan melarang semua ibadah (shalat) yang dilakukan oleh Muslim secara bersama. Dan karena kelihatannya budaya dan kohesi sosial sangat rentan terpecah-belah, hatta hanya ibadah sederhana, dianggap bisa menjadi ancaman,” tegas Abdullah. 

Oleh karena itu katanya, jika ada suatu budaya yang sangat rentan terpecah-belah seperti masyarakat di Barat, hingga menilai ibadah sebagai ancaman, maka  budaya tersebut perlu untuk diuji kembali. Banyak perkara buruk maupun tercela lainnya yang ditemukan dalam kehidupan masyarakat di Barat yang datangnya dari luar bukan dari dalam sekolah. Tetapi justru praktik ibadah yang dianggap sebagai tekanan yang datangnya malah dari luar sekolah. 

Sehingga, kebijakan pelarangan semua praktik ibadah dilegalkan sebagaii bentuk respons dari tekanan luar sekolah. 

“Jadi seperti yang Kathrine Bon kaitkan tadi, dari luar ada tekanan, lalu memutuskan untuk melarang segalanya. Maksud saya, apakah ini bagian dari kohesi sosial yang dimaksud?” pungkasnya. []M. Siregar

0 Komentar