MutiaraUmat.com -- Miris! Seorang santri usia 13 tahun menusuk ustazahnya saat tidur hingga meninggal di sebuah pesantren di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Diduga, motifnya dendam karena pernah dijemur di siang bolong. Pelaku dijerat Pasal 338 KUHPidana tentang pembunuhan jo Pasal 351 KUHPidana ayat 3, dengan ancaman 15 tahun penjara. Karena pelaku masih 13 tahun, Polresta Palangkaraya menerapkan Undang-Undang Peradilan Anak. Pelaku tidak ditahan namun wajib lapor (kompas.tv, 17/5/2024).
Tragedi di atas menambah daftar panjang anak berhadapan dengan hukum (ABH) akibat kejahatan (kriminalitas) yang mereka lakukan. Jumlahnya pun kian banyak. Fenomena ini tentu membuat berbagai pihak mengelus dada. Generasi penerus bangsa tapi berkubang dengan berbagai persoalan. Dari tawuran, pergaulan bebas, narkoba, dan seterusnya. Tak hanya sebagai korban, anak dan remaja justru pelaku kejahatan.
Fitrah kemanusiaan kian tercabut. Tak ada welas asih. Minim rasa malu. Yang nampak adalah sisi kebinatangan. Bertindak tanpa akal sehat. Bila kebiadaban generasi terus terjadi, bagaimana nasib masa depan negeri ini?
ABH Marak dalam Asuhan Sistem Hidup Sekularisme Liberalistik nan Rusak
Jumlah ABH mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang dimuat dalam pemberitaan kompas.id, Selasa (29/8/2023), sebanyak 3.964 ABH tercatat pada 2017. Angka tersebut melonjak hampir tiga kali lipat pada 2018, yakni 9.387 ABH. Kemudian, turun menjadi 6,963 ABH pada 2019 dan kembali naik menjadi 8.914 ABH.
Definisi ABH diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). ABH adalah anak yang sedang berkonflik dengan hukum atau sebagai pelaku, anak korban, dan anak saksi dalam tindak pidana. Kategori ABH mencakup usia 12 tahun hingga 18 tahun. Ragam tindak kriminal yang melibatkan ABH, sebagaimana rekap data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2020, meliputi kekerasan fisik sebanyak 29,2 persen, kekerasan seksual (22,1 persen), pencurian (11,1 persen), kecelakaan lalu lintas (10,6 persen), kekerasan psikis seperti ancaman dan intimidasi (5,5 persen), sodomi atau pedofilia (5,5 persen), aborsi (5 persen), dan pembunuhan (4 persen)
(kompas.com, 5/4/2024).
Ada beberapa faktor penyebab maraknya ABH. Pertama, individu pelaku. Minim kepribadian Islamnya karena tidak terbina dengan iman dan syariat, khususnya terkait akhlak. Akibatnya, sulit mengontrol emosi dan tidak ada rasa takut pada Allah SWT saat bertindak keji.
Kedua, keluarga. Kurang menanamkan pondasi pembangun kepribadian islami, yaitu tauhid dan syariat termasuk akhlakul karimah. Selain itu, ABH bisa jadi berasal dari keluarga bermasalah seperti orang tua yang sering menghukum anaknya secara berlebihan, atau situasi rumah yang penuh stres, agresi, dan permusuhan.
Ketiga, teman sebaya. Sirkel pertemanan yang biasa berlaku liar, cenderung pada tindak kekerasan akan mendukung seorang anak/remaja menjadi ABH.
Keempat, media. Konten berbagai jenis media, terutama media online dan media sosial hari ini mempengaruhi perilaku anak muda, khususnya tayangan kekerasan. Survey Kompas (Saripah, 2006) mencatat, 56,9% anak meniru adegan film yang ditontonnya, meniru geraknya (64%) dan kata-katanya (43%).
Kelima, sekolah. Berbasis sekularisme kapitalistik, pembelajaran di sekolah terutama negeri, minim pendidikan agama. Anak/remaja kurang benteng diri menghadapi kompleksitas pengaruh negatif dari luar.
Keenam, aturan yang diterapkan negara. Penerapan sistem sekularisme kapitalistik oleh negara dalam semua lini kehidupan (termasuk sebagai asas kurikulum) meniscayakan masyarakat termasuk anak didik kian jauh dari agama. Hingga membentuk perilaku yang cenderung pada pencapaian kesenangan materiil secara bebas (liar).
Bila didalami, sistem inilah sejatinya akar penyebab maraknya ABH. Ketika ABH terjadi kian banyak, maka ditengarai ini bukan problem kasuistik melainkan sistemis. Masif karena diproduksi oleh sistem yang buruk. Bukan semata lahir karena faktor individu, keluarga, atau teman sebaya.
Dampak ABH terhadap Masa Depan Generasi Mendatang
Peningkatan kasus ABH membuat Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) berinisiatif melakukan pembinaan hukum ke sekolah-sekolah dengan menggandeng ribuan advokat dan ribuan paralegal. Namun dari sejumlah tindak kriminalitas anak yang terjadi, tampaknya masyarakat mulai gerah. UU Perlindungan Anak seakan menjadi tameng bagi pelaku. Dengan dalih “masih di bawah umur”, pelaku kriminalitas menjadi tidak tersentuh hukum.
Tentu hal ini dilematik. Proses yang terjadi pada ABH seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi memberi perlindungan dan pendampingan hukum kepada pelaku, di sisi lain meniadakan hukuman yang justru mencederai keadilan bagi korban.
Bila kasus ABH terus terjadi, tentu akan berdampak pada masa depan generasi mendatang yaitu:
Pertama, minimnya kualitas kepribadian generasi secara umum. Banyaknya ABH menunjukkan minimnya kualitas kepribadian generasi. Pola pikir dan pola sikapnya rusak.
Kedua, sosok generasi apatis terhadap keberlangsungan bangsa. Banyaknya ABH serta anak/remaja yang terjebak pada permasalahan pribadi akan menjauhkan perhatian mereka pada problem lingkungan dan umat di sekitarnya. Pun persoalan bangsa bukan sesuatu yang menarik untuk mereka pedulikan.
Ketiga, negara menghadapi krisis calon pemimpin. Bila saat sekarang negeri ini bisa dikatakan sedang krisis kepemimpinan, sementara ABH meningkat, maka ke depan akan lebih sulit lagi mencari sosok pemimpin ideal.
Demikian beberapa dampak maraknya ABH bagi generasi di masa depan. Tak hanya pada kualitas generasi, efek dominonya tentu negatif bagi keberlangsungan bangsa. Sehingga tak hanya keluarga, negara mestinya lebih memberi perhatian bagi penyelesaian kasus ini.
Strategi Ideal Mendidik Anak agar Tidak Melakukan Tindak Kejahatan
Maraknya ABH merupakan salah satu fenomena rusak yang minim terjadi ketika kehidupan diatur dengan aturan Allah. Dengan akidah Islam sebagai asas kehidupan, ketakwaan akan tercermin pada keluarga, sekolah, masyarakat, juga negara.
Berikut strategi ideal mendidik anak agar tidak melakukan tindak kejahatan. Strategi ini akan efektif bila dilakukan secara sinergis oleh berbagai elemen terkait.
Pertama, keluarga. Orang tua bersungguh-sungguh dalam membina anak dengan pondasi akidah Islam. Pun mengajarkan ketaatan pada syariat-Nya. Inilah yang akan memelihara fitrah kebaikan dalam diri ananda secara hakiki.
Kedua, masyarakat. Ikut menjaga fitrah anak dengan menjalankan fungsi kontrol sosial. Saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Sehingga terbentuk lingkungan kondusif dalam membentuk generasi berakhlak mulia.
Ketiga, sekolah. Proses pendidikan di sekolah dijalankan dengan mengintegrasikan ilmu umum dan agama. Tidak memisahkan keduanya.
Keempat, media. Menayangkan konten secara selektif. Tidak mengunggah tayangan berbau kekerasan atau yang bisa menjadi inspirasi generasi bertindak kriminal. Ikut menjadi corong kebaikan dengan tayangan edukatif religius.
Kelima, negara. Kebijakan negara juga akan menjaga fitrah anak sehingga anak dapat tumbuh kembang optimal dan memiliki kepribadian Islam yang mulia. Negara menyejahterakan rakyat sehingga ibu optimal menjalankan perannya sebagai madrasah utama dan pertama.
Negara mewujudkan sistem informasi yang aman dan menjamin kebersihan pemikiran generasi dan masyarakat. Negara juga menerakan sistem sanksi tegas dan menjerakan.
Dari fragmen sejarah membuktikan bahwa peradaban Islam telah melahirkan banyak generasi berkualitas yang berkarya meninggikan Islam. Bila menghendaki kemuliaan generasi terulang kembali, maka kembali pada penerapan aturan Allah SWT adalah solusi hakiki.[]
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)
0 Komentar