Kapitalisasi Pupuk Sempitkan Petani


MutiaraUmat.com -- Negara ini negara yang sangat subur akan pertanian, potensi ini dilihat dari letaknya dilewati oleh garis katulistiwa, banyaknya pegunungan vulkanik, tidak menutup kemungkinan bahwa negara ini dianugerahi dengan kondisi yang subur. Yang mana membuatnya tidak pernah kosong di setiap wilayahnya banyak ditemukan lahan pertanian sekaligus menjadi mata pencaharian warga di wilayah tersebut. Namun nyatanya di negeri ini kerap sering ditemukan permasalahan yang berkaitan dengan pertanian. Yaitu susahnya menemukan pupuk bersubsidi. Walau pemerintah telah menambah alokasi pupuk dari awalnya sebanyak 4,7 juta ton menjadi 9,5 juta ton, Kusnan sebagai Kepala Pusat Pembenihan Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) menjelaskan alokasi tersbut belum memberikan perubahan yang cukup signifikan tentang ketercukupan petani menadapatkan pupuk bersubsidi. Bahkan subsidi jatah 1 hektare, pupuk yang bisa didapatkan hanya 100 kg urea dan NPK per musim tanam, hal tersebut masih drasa kurang memenuhi kecukupan kebutuhan tanaman.

Hal ini cukup disayangkan karena sudah jelas masyarkat Indonesia khususnya di daerah yang banyak ditemukan lahan pertanian membutuhkan pasokan lebih dalam mengelola dan mencukupi ladang pertaniannya. Tentu juga dengan potensi pertanian dan tanaman yang berbeda sesuai kondisi tanah dan kelembaban daerah tersebut. Dalam mengatur pasokan kebutuhan pertanian, pemerintah telah mengatur di dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 10 Tahun 2022 membahas Tata Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi sektor Pertanian juga cara penetapan alokasinya. Dalam Permen dijelaskan petani yang bisa mendapatkan alokasi pupuk subsidi merupakan yang tercatat sebagai anggota kelompok tani, yang keanggotaannya tercatat dalam Simluhtan (Sistem Informasi Manajemen Penyuluh Pertanian), harus memiliki maksimal dua hektar lahan yang tergarap, serta memiliki kartu tani pada wilayah tertentu. Hal ini cukup menyulitkan petani kecil jika dari segi ekonomi tidak mencukupi dan tidak memiliki lahan seluas persyaratan yaitu 2 hektare, maka akan susah sekali mendapatkan pupuk subsidi. 

Ditambah lagi, petani yang bisa mendaftarkan dirinya ialah yang menggarap sembilan golongan tanaman yang telah ditentukan sebagai tanaman komoditas yaitu bawang merah, kedelai, jagung, padi, bawang putih,kopi, tebu rakyat dan kakao, cabai. Melihat hal ini menjadikan sangat mempersempit petani yang bisa jadi lahan pertanian yang tidak cocok dengan golongan tanaman komoditas yang telah ditentukan oleh pemerintah. Dalam artian di luar petani dengan lahan tanaman di luar golongan tersebut tidak layak menerima subsidi. Dalam permen ini. pemerintah terlihat pilih kasih dan terlalu mementingkan tanaman yang hanya memiliki daya jual dan berkeuntungan tinggi dari pada jenis tanaman lainnya. Padahal tidak semua wilayah dan petani mampu menggarap tanaman yang digolongkan tersebut.

Masalah ini juga diperkeruh dugaan adanya mafia yang memonopoli sebagaian pasokan sehingga membuatnya langka dan lebih mahal. Walau masih dugaan, pemerintah terlihat bingung menyelesaikan kelangkaan pupuk subsidi. Tentu saja, jika dilihat titik berat permasalahan ini adalah pemerintah, melihat permen yang sangat mempersempit kategori pemenuhan pasokan pupuk bersubsidi hanya kepada sektor yang lebih menguntungkan. Hal ini cukup wajar dilakukan oleh pemerintah dengan orientasi kapitalisme, yang sangat tidak mau rugi dan hanya mementingkan sektor-sektor peraup keuntuntungan. Padahal pertanian adalah potensi yang telah menjadi sektor mata pencarharian yang cukup besar di lakukan masyarakat Indonesia, tentu sudah menjadi kebutuhan yang cukup penting bagi negeri ini. Berbeda dengan sistem Islam mengatur yakni adalah untuk mengatur urusan rakyat, maka rakyatlah yang menjadi titik berat yang paling dipertimbangkan oleh pemimpin dalam pelaksanaan syariat selain dari wujud ketaqwaannya kepada Allah SWT. Tidak ada kata, di dalam Islam dalam mengatur yakni hanya ingin meraup keuntungan semata. []


Oleh: Ainun Syaifia
Aktivis Muslimah

0 Komentar