Islam Mampu Membentuk Generasi Berkepribadian Islam
MutiaraUmat.com -- Polisi menangkap ABG berinisial S (14) terkait kasus kekerasan seksual dan pembunuhan. Korbannya merupakan bocah laki-laki berusia 7 tahun asal Desa Cipetir, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Menurut keterangan pihak yang berwajib, pelaku mengaku pernah menjadi korban pencabulan atau sodomi. (detik.com, 2/5/2024)
Kasus serupa juga terjadi di Pondok Pesantren (Ponpes) Raudhatul Mujawwidin Kabupaten Tebo, Jambi. Airul Harahap (13) tewas dianiaya oleh dua seniornya di Ponpes. Polisi mengungkap peristiwa penganiayaan itu terjadi hanya dalam waktu 14 menit. Hal tersebut terlihat jelas dalam CCTV yang berada di lantai 1 Ponpes tersebut. Korban dieksekusi oleh dua seniornya, AR (15) dan RD (14). Korban dihajar membabi buta sembari satu pelaku memiting tangan korban. Korban pun tak berdaya akibat pukulan-pukulan dari tersangka. Tak puas sampai di situ, tersangka AR mengambil kayu balok yang berada di lokasi dan menghantamkannya ke tubuh korban. Selanjutnya, tubuh korban dililit menggunakan kabel seolah-olah korban tersengat listrik. (detik.com, 24/3/2024)
Menurut data dari Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham, terjadi tren peningkatan kasus anak berkonflik dengan hukum selama 2020—2023. Per 26 Agustus 2023, tercatat hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum. Sebanyak 1.467 anak di antaranya berstatus tahanan dan masih menjalani proses peradilan, sedangkan 526 anak sedang menjalani hukuman sebagai narapidana.
Jika dibandingkan dengan data tiga tahun lalu, jumlah anak yang terjerat hukum belum pernah menembus angka 2.000. Menilik kondisi pada 2020 dan 2021, angka anak tersandung kasus hukum 1.700-an orang, lalu meningkat di tahun berikutnya menjadi 1800-an anak. Tren yang cenderung meningkat ini menjadi alarm bahwa anak-anak Indonesia sedang tidak baik-baik saja dan menuju pada kondisi yang problematik dan darurat kriminal. (kompas.id, 29/8/2023)
Astaghfirullah, sadisnya anak-anak tersebut sudah di luar nalar manusia dan membuat miris setiap hati orang tua. Namun, inilah output generasi hasil didikan sistem kapitalisme, yakni sistem yang hanya berorientasi pada materi. Akibatnya orang tua hanya menganggap dirinya sebagai pihak pemberi materi. Mereka merasa cukup ketika anak-anak sudah diberi pakaian, makanan, mainan, disekolahkan di tempat favorit dan sejenisnya. Sementara itu, orang tua juga hanya mengejar materi sebagaimana yang ditanamkan oleh kapitalisme.
Karena tekanan ekonomi, ayah dan ibu sibuk bekerja. Akhirnya, anak-anak tidak mendapat pendidikan yang benar di dalam rumah. Sementara di sekolah anak-anak juga diarahkan oleh kurikulum sistem pendidikan kapitalisme yang berorientasi materi dan minim nilai agama. Alhasil, anak-anak terus diarahkan mengejar prestasi tanpa ada bimbingan akhlak dan ketaatan.
Apalagi sistem sanksi kapitalisme tidak membuat pelaku kejahatan jera dan jika pelaku anak-anak usia kurang dari 18 tahun mereka diadili dalam peradilan anak yang juga tidak membuat si anak jera. Akibatnya, anak-anak pelaku kejahatan semakin marak.
Hal tersebut diperparah dengan sistem pendidikan sekuler di negeri. Sekularisme adalah pemisahan agama dari kehidupan. Artinya agama tidak boleh digunakan sebagai satu-satunya standar dan sumber hukum perbuatan atau aturan dalam negara yang konsep ini datangnya dari Barat bukan dari ajaran Islam.
Nyatanya, dari akidah sekularisme ini akan lahirlah pemahaman gaya hidup yang bebas tanpa nilai agama. Karena ajaran agama Islam dianggap sungguh sangat mengekang dan walhasil ketika akidah ini terapkan dan gaya hidup bebas atau liberalisme diadopsi oleh masyarakat termasuk remajanya, maka tak heran jika bermunculan lah pergaulan bebas, perjudian, remaja yang suka minuman keras hingga remaja menjadi pelaku kriminalitas merajalela.
Sejalan dengan hal tersebut, Barat gencar melakukan proses westernisasi yang mereka tahu betul jika sudah tertanam gaya hidup liberal, maka mudah bagi Barat menuang racun sesat pemikiran Barat ke benak kaum Muslim. Mereka berusaha mempengaruhi dan membelokkan pemahaman kaum Muslimin agar jauh dari nilai-nilai Islam melalui kurikulum pendidikan.
Sistem Pendidikan Islam
Berbeda dengan sekularisme, landasan sistem pendidikan Islam adalah akidah Islam. dalam kitab Usus at-Ta'lim fi Daulah al-Khilafah Syekh Atha' bin Khalil menjelaskan bahwa salah satu kurikulum pendidikan dasar harus mampu mencetak generasi yang memiliki kepribadian Islam. Tolak ukur kepribadian Islam ini dilihat dari pola pikir Islam dan pola sikap Islam peserta didik.
Kepribadian Islam tersebut akan mendorong seseorang untuk senantiasa dalam ketaatan dan menjauhi kemaksiatan secara sadar. Mentalitas demikian mampu mencegah perilaku keji seperti yang dilakukan oleh santri senior di Jambi.
Bahkan dari sistem pendidikan Islam juga terlahir generasi yang siap dan mampu mengemban amanah besar, seperti menjadi orang tua. Mereka akan paham bagaimana hak dan kewajiban yang harus dijalankan ketika mendidik anak-anaknya kelak. Sehingga dari generasi yang berkepribadian Islam akan melahirkan keluarga yang Islami pula.
Selain itu, sistem pendidikan Islam juga memberi perhatian khusus kepada keluarga. Islam memandang keluarga sebagai pondasi awal sebuah peradaban. Karena kualitas generasi pertama kali ditentukan oleh keluarga. Islam mewajibkan Ibu menjadi sekolah pertama dan pendidik pertama bagi anak-anaknya. Didikan seorang ibu yang berlandaskan syariat Islam akan membentuk anak-anak yang shalih dan shalihah. Pembentukan karakter ini semakin kuat karena Islam mewajibkan seorang ayah menjadi pemimpin keluarga. Sinergitas antara peran ayah dan ibu akan memberi dampak yang sangat besar bagi pendidikan anak-anak.
Keamanan bagi anak-anak juga akan terjamin. Karena Islam memiliki sistem sanksi yang tegas. Dalam Islam, pelaku kejahatan akan diberi sanksi selama mereka sudah baligh dan dilakukan dalam keadaan sadar. Islam tidak mengenal pembatasan usia berdasarkan umur seperti usia di bawah 18 tahun dikategorikan anak-anak dan usia di atas 18 tahun dikategorikan dewasa. Islam hanya mengenal pembatasan usia berdasarkan baligh. Selama anak-anak belum baligh, maka mereka dihukumi anak-anak. Sedangkan jika anak-anak sudah baligh, maka dia dihukumi mukallaf. Karena itu, sekalipun usia mereka masih 15 tahun ketika mereka sudah baligh, maka uqubat (sanksi) Islam berlaku bagi mereka.
Penganiayaan berujung pembunuhan jelas akan mendapat sanksi qishas, pelaku sodomi jelas akan mendapatkan had liwath, yakni dijatuhkan dari tebing atau tempat tinggi di daerah tersebut. Uqubat Islam yang diterapkan oleh negara akan menimbulkan efek zawazir sebagai pencegah dan efek jawabir sebagai penembus dosa pelaku. Penerapan uqubat akan menumpas bersih pelaku kejahatan termasuk pelaku sodomi. Alhasil, pelaku sodomi tidak akan melahirkan pelaku baru sebagaimana yang terjadi di Sukabumi hanya saja konsep-konsep demikian akan terwujud jika keluarga, masyarakat dan negara menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam kehidupan, yaitu dalam naungan Daulah Khilafah. []
Nabila Zidane
Jurnalis
0 Komentar