Inilah Perbedaan Cukai dalam Paradigma Kapitalisme dan Islam

MutiaraUmat.com -- Pengamat Kebijakan Publik Dr. Fahrur Ulum, MEI., menjelaskan perbedaan cukai dalam paradigma kapitalisme dan Islam.

“Paradigma bea cukai yang berbasis kepada ekonomi kapitalisme (melihat) perdagangan hanya dilihat dari sudut pandang komoditi saja tidak melihat unsur-unsur yang lain,” ungkapnya dalam video Bea Cukai Ramai ‘Dirujak’ Netizen, ‘Memeras’ Uang Rakyat? Di kanal YouTube Khilafah News, Selasa (30/4/2024). 

Ia menjelaskan, dalam sistem ekonomi kapitalisme perdagangan antar negara (eksport import) cukai yang dikenakan terhadap barang dagangan hanya dilihat dari sudut barang, bahkan barang-barang yang mengandur unsur haram jika secara peraturan negara sah, maka bisa lolos. Tentu hal ini berbeda secara diametrikal dengan sistem ekonomi Islam 

“Dalam sistem ekonomi Islam tidak hanya melihat barang tetapi juga melihat status orang yang melakukan eksport import, karena ini demi keamanan. Jadi kalau sudah berbicara tentang sistem ekonomi Islam dalam hal eksport import dalam hal bea cukai, maka masuk pula ranah politik ekonomi Islam. Kalau ditanyakan tentang aturan bea cukai di dalam ekonomi Islam maka yang pertama dilihat komoditinya, kedua dilihat pelaku eksport import,” jelasnya. 

Adanya lembaga cukai (asyir) itu kata dia, harus ada badan pengawas eksternal yang ditunjuk pemerintah untuk mengawasi asyir. Kemudian syarat untuk menjadi asyir (petugas bea cukai adalah bertakwa. Karena berkaitan dengan potensi yang sangat mungkin bagi petugas bea cukai untuk berbuat zalim, ada penyelundupan suap dan sebagainya oleh karena itu yang dilihat pertama kali adalah takwa, itu secara paradigma. 

Kemudian, ia menjelaskan pembagian cukai dalam Islam. Yaitu Islam membagi para pelaku bisnis yang melewati sebuah negara yang membawa komoditas dan harus membayar cukainya itu ada tiga, pertama muslim, dua kafir dzimmi, tiga kafir harbi.

Selanjutnya, ia menjelaskan besarnya tarif cukai dalam sistem Islam “Kalau Muslim dan dia membawa barang dagangan yang melewati satu negara maka ini tidak di tarif cukai, dia hanya dikenakan atas barang yang dia miliki sudah haul dan sudah nisab maka dia hanya terkena 1/4 dari usyur, 1/40 dari usyur adalah setara dengan zakat mall itu untuk Muslim. Untuk pelaku bisnis yang dzimmi 1/2 dari usyur cukai, kalau kafir harbi yang melakukan aktivitas perjanjian dia terkena usyur 1/20 itulah cukai,” paparnya. 

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa tarif cukai untuk kaum Muslimin tidak ada namun yang berlaku adalah zakat mal, namun untuk kafir dzimmi dikenakan 1/2  usyur, kalau harbi usyur penuh cukainya, dan itu hanya satu kali lewat satu kali komoditi.

Ia mengutip hadis hadis diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan al Hakim dari ‘Uqbah bin ‘Amir, Nabi Saw, bersabda, "Penarik pajak itu tidak akan masuk surga." Hadis ini dinilai sahih oleh al Hakim. 

Cukai yang ditarik kepada orang-orang muslim secara zalim karena itu bertentangan dengan Qs Hud : 85,

وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ اَشْيَاۤءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِى الْاَرْضِ مُفْسِدِيْنَ 

"Janganlah kamu merugikan manusia akan hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di bumi dengan menjadi perusak!"

“Pernah dulu Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pada stafnya untuk merobohkan satu rumah dan membuang ke laut rumah itu karena disinyalir rumah itu terbukti sebagai rumah untuk memungut cukai yang penuh dengan kazaliman,” contohnya.

“Itulah cukai di dalam Islam, sedangkan diluar cukai tidak ada pajak seperti pajak penjualan itu tidak ada dalam Islam, yang ada di dalam Islam hanya cukai tetapi harus dibedakan muslim, kafir dzimmi, atau harbi,” pungkasnya.[] Alfia Purwanti

0 Komentar