Harga Rumah Naik, Rakyat Menjerit


Mutiaraumat.com -- Peningkatan harga rumah dari tahun ke tahun telah memberikan beban tersendiri bagi masyarakat. Di tengah naiknya harga-harga makanan pokok, masyarakat semakin sulit untuk dapat memiliki rumah. Padahal, keberadaan rumah pun merupakan suatu hal yang pokok dalam kehidupan.

Dalam catatan Bank Indonesia (BI), harga properti residensial di pasar primer mengalami peningkatan pada kuartal I 2024 (CNN, 16-5-2024). Hal ini terlihat dari pertumbuhan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) yang mencapai 1,89 persen (yoy) pada kuartal I 2024. Angka ini, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada kuartal IV 2023 yang sebesar 1,74 persen. Harga rumah tipe menengah dan besar pada kuartal I 2024 juga terindikasi masih meningkat meski tidak setinggi kuartal sebelumnya.

Kenaikan harga rumah ini terus terjadi di tengah kondisi kenaikan harga pangan juga, khususnya beras secara signifikan dalam beberapa waktu terakhir, sementara pendapatan cenderung tetap. Termasuk pada bulan Mei ini, di tingkat nasional daftar harga bahan pokok mengalami kenaikan untuk beberapa bahan (Kompas Jakarta, 14-5-2024).  

Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa tingkat inflasi Indonesia naik hingga 3,05 persen pada Maret 2024 dari 2,61 persen pada Desember 2023, menyebabkan daya beli pangan menurun (Liputan6.com, 18-5-2024).

Analis senior dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P. Sasmita menyampaikan bahwa kondisi perekonomian Indonesia saat ini sangat memberatkan kehidupan masyarakat menengah ke bawah, terutama segmen masyarakat 50% kelas menengah ke bawah.

Pasalnya sebagian besar diposal income mereka semakin tersedot untuk memenuhi kebutuhan pokok (Media Indonesia, 29-2-2024). Sehingga sebagian besar masyarakat begitu kesulitan untuk memiliki rumah karena pendapatan mereka hanya bisa untuk mencukupi kebutuhan pangannya saja, bahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok pun mengalami kesulitan.

Di sisi lain, sistem ekonomi kapitalisme neoliberal seolah mengharamkan negara untuk memberikan kucuran dana langsung pada rakyat. Negara menyuntikan dana bukan pada rakyat, tetapi pada pengembang dengan alasan anggaran berbasis kinerja. Padahal hal ini malah makin memfasilitasi pengembang untuk terus mengomersialisasi perumahan yang dibutuhkan publik.

Profit akan menjadi orientasi jika dana sudah berada di tangan swasta. Tentunya, kesenjangan akan makin tinggi sebab akses satu-satunya pada terpenuhinya kebutuhan hidup seseorang adalah dari uang. Saat ini, nampak nyata dampak penerapan sistem ekonomi neoliberal dengan adanya fenomena segelintir manusia memiliki rumah banyak, sedangkan jutaan manusia lainnya tidak memiliki rumah. 

Sistem ekonomi neoliberal ini menjadikan pemerintah dengan mudahnya berlepas tangan dalam memenuhi kebutuhan rumah bagi rakyatnya.

Sangat berbeda dengan sistem Islam dimana negara dituntut untuk menjadikan rakyat sebagai fokus kerjanya. Seluruh kebijakan memang dibuat semata untuk kemaslahatan umat. Islam menjadikan negara sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam memenuhi seluruh kebutuhan asasi umat, termasuk rumah.

Seluruh kebijakan dan kinerja akan dioptimalkan semata untuk terpenuhinya kebutuhan umat. Di samping itu, negara tidak boleh melimpahkan kepada pihak swasta. Negara pun harus memberikan hunian yang layak (pantas dihuni oleh manusia), nyaman (memenuhi aspek kesehatan), syar’i (bangunannya harus mampu menutupi aurat perempuan), harga terjangkau (bisa skema subsidi, kredit tanpa bunga), bahkan tidak terlarang bagi negara memberikan rumah kepada fakir miskin yang memang tidak memiliki kemampuan dalam mengakses rumah.

Berkaitan dengan sumber pembiayaan pembangunan perumahan, maka hal itu diambil dari kas negara atau baitul maal dan pembiayaan ini bersifat mutlak. Negara dalam Islam tidak akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya karena kondisi kas dalam baitul maal memiliki sumber pemasukan yang melimpah dari pengelolaan SDA. Hal ini karena sistem Islam mengharamkan kepemilikan SDA melimpah diserahkan kepada swasta apalagi asing. 

Negara dituntut untuk mengelolanya dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik sahnya. Jika pun kas negara kosong, sistem Islam memiliki mekanisme penanganan yang sangat baik dan tidak memberikan kemudaratan bagi rakyatnya. Dari sini, tidak ada lagi pilihan bagi kita kecuali kembali kepada penerapan sistem Islam. Dengannya, kehidupan rakyat akan sejahtera dan berkah.[]

Oleh: Sri Mellia Marinda, S.Si
(Ibu Peduli Generasi) 

0 Komentar