FIWS: Kekejaman Zionis Yahudi di Palestina Tidak Bisa Ditolerir



MutiaraUmat.com -- Menyikapi aksi demo mahasiswa bela Palestina di Amerika, Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi menyampaikan, kekejaman Zionis Yahudi di Palestina tidak bisa ditolerir.

“Nah, apa pelajaran atau catatan yang bisa kita ambil dari aksi-aksi di kampus Palestina ini. Pertama adalah menunjukkan  bahwa kekejaman yang dilakukan oleh Zionis Yahudi di Palestina ini, sampai pada batas yang tidak bisa ditolerir lagi. Karena demikian gamblangnya, demikian jelasnya pembantaian yang mereka lakukan dan ini tersebar di media, terutama di sosial media,” ungkapnya di Youtube Peradaban Islam bertema Marak Demo Pro Palestina di Amerika, Ada Apa? Senin (6/5/2024).

Ia menilai, kalau dulu mungkin opini-opini itu bisa diplintir atau ditutupi karena beberapa media-media mainstream itu dikendalikan oleh atau dipengaruhi oleh lobi-lobi Yahudi, tapi dengan keberadaan sosial media itu nyaris tidak bisa dihentikan pemberitaan-pemberitaan yang menyayat hati. Meskipun dalam beberapa hal Facebook itu berupaya melakukan pembatasan-pembatasan, demikian juga Youtube berupaya melakukan pembatasan-pembatasan. Namun, sosial media ini tidak bisa dibendung. 

“Jadi demikian tampak jelasnya, kejahatan yang dilakukan oleh Zionis Yahudi ini, membuat naluri kemanusiaan mahasiswa-mahasiswa, profesor-profesor, intelektual-intelektual di kampus-kampus Amerika itu bangkit. Ini yang pertama,” jelasnya.

Kedua, ini juga menunjukkan bahwa penyesatan-penyesatan yang selama ini digunakan untuk menutup-nutupi atau mengalihkan kekejaman entitas penjajah Yahudi ini makin tidak efektif. Meskipun Netanyahu, demikian juga aktivis-aktivis Prozionis itu sudah berupaya untuk menstigma aksi-aksi pembelaan Palestina ini dengan menyebut antisemit dengan menyebut membela teroris.

“Bahkan ada yang mengatakan, mahasiswa-mahasiswa ini terpengaruh pemikiran teroris. Netanyahu juga mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh dia di Palestina ini adalah untuk membela nilai-nilai Barat. Namun, ini penyesatan-penyesatan yang selama ini efektif mengalihkan, kemudian menyesatkan pemikiran dari masyarakat Barat secara umum. Saat sekarang ini bisa disebut melemah begitu ya,” jelasnya.

“Kenapa? Karena kebiadaban dan kejahatan itu demikian tampak di depan mata. Meskipun entitas penjajah Yahudi ini kalau kita lihat telah mentargetkan jurnalis-jurnalis untuk membungkam suara-suara pembelaan, suara-suara untuk menggambarkan fakta yang sesungguhnya di Palestina. Bahkan kabar terakhir saya dengar itu, Al Jazeera di Arab itu sudah ditutup secara secara resmi oleh entitas penjajah Yahudi. Ini menunjukkan ketakutan yang luar biasa mereka. Tapi bisakah ini mereka hentikan? Tidak,” tegasnya.

Jadi catatan yang kedua adalah  opini-opini yang menyesatkan yang selama ini efektif  tampaknya. Sekarang tidak begitu efektif lagi seperti penggunaan antisemit, penggunaan istilah bahwa yang dilakukan oleh Zionis Yahudi ini adalah membela demokrasi dan sebagainya. Itu sudah tidak bisa lagi diterima terutama oleh para intelektual yang masih tercerahkan.

Babak Baru Intifada

Farid mengatakan, di sisi lain kalau  dilihat di Barat ada gejolak terjadi, seperti aksi besar di kampus-kampus Amerika yang mendukung Palestina dan meminta penghentian genosida atau pembantaian, penghentian perang yang dilakukan oleh  penjajah Yahudi ini.

“Beberapa pihak mengatakan ini babak baru dari intifada, mereka sebut sebagai intifada intelektual. Ada juga yang menyebut globalisasi intifada. Dan aksi ini kalau kita lihat terjadi di kampus-kampus  besar Amerika, kampus-kampus yang bergengsi  di Amerika seperti Universitas Colombia, New York University kemudian juga di Berkley, kemudian Michigan dan di Cambridge  juga dikenal sebagai kampus-kampus besar atau kampus-kampus yang  popular,” terangnya.

Ia menerangkan, beberapa tuntutan dari mahasiswa. Pertama adalah  penghentian genosida terhadap rakyat Palestina, yang kedua, menghentikan meminta agar kampus menghentikan investasi mereka terkait dengan Israel. Memang beberapa kampus memiliki hubungan kerja sama bisnis dengan  Israel. 

“Ini tentu suatu hal yang perlu kita cermati, kalau kita lihat para aktivis menyerukan universitas-universitas untuk melepaskan keterlibatan dari genosida ini dan berhenti menginvestasikan dana abadi kampus dalam jumlah besar di perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pembuatan senjata dan industri lain yang mendukung perang Israel di Gaza,” katanya.

Lalu tambahnya, memprotes serangan Israel di Gaza dengan mendirikan kemah-kemah. Di sisi lain juga mahasiswa mendapatkan tekanan yang cukup besar dari pihak aparat. Sementara kalau di lihat dari pihak kampus  cukup terbelah.

“Beberapa dosen-dosen, bahkan guru besar, banyak profesor-profesor yang ikut dalam aksi membela Palestina ini. Secara umum tentu kebijakan kampus lebih hati-hati untuk melihat aksi-aksi ini. Sikap refresif dari  kepolisian Amerika ini bahkan sampai diturunkan Garda Nasional Amerika untuk menunjukkan seolah-olah ini adalah suatu kekacauan sipil,” pungkasnya []Sri Nova Sagita

0 Komentar