Film Vina: Fenomena No Viral No Justice dan Lunturnya Trust Publik terhadap Aparat Penegak Hukum


MutiaraUmat.com -- No Viral No Justice (NVNJ)! Film Vina: Sebelum 7 Hari yang dirilis 8 Mei 2024 membuktikan adagium tersebut. Film yang telah menembus lima juta penonton ini menjadi pemicu diusutnya kasus pembunuhan remaja Vina dan Eky asal Cirebon pada tahun 2016 lalu. Hingga kini terduga pelaku utama pembunuhan akhirnya tertangkap.

Kasus Mario Dandy Satrio juga terkategori dalam fenomena NVNJ. Hobi flexing harta dan penganiayaannya kepada anak pengurus GP Anshor viral di media sosial hingga merembet pada sang ayah, mantan pejabat pajak. Rafael Alun Trisambodo pun terseret kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang.

Film Vina dan kasus Mario Dandy memperlihatkan bahwa viralitas ternyata mampu menjadi katalisator penggerak roda keadilan. Dalam konteks ini, jargon NVNJ menjadi kian relevan. Fenomena ini mengajarkan bahwa keadilan tidak selalu bergantung pada proses hukum formal, tetapi juga pada dukungan dan tekanan sosial akibat viralitas suatu kasus. 

Bahkan, ada yang mengatakan prinsip NVNJ adalah 'kasta tertinggi' hukum di Indonesia. Mungkin istilah ini sekadar guyonan, tetapi sekaligus menyiratkan pesan keprihatinan terhadap penegakkan hukum di 'negara hukum bukan negara kekuasaan' ini. Realitasnya, banyak kasus hukum tak terselesaikan, tidak semua penjahat tertangkap, tidak semua derita korban diakomodasi. Lantas haruskah suatu kasus viral dulu, baru serius ditangani?

Fenomena NVNJ Menyeruak: Akibat Trust terhadap APH Rusak

Istilah NVNJ merujuk pada situasi di mana sebuah kasus kriminal akan mendapatkan cukup perhatian dari publik dan pihak berwenang jika video atau informasinya menjadi viral di media sosial. NVNJ merupakan fenomena yang mencerminkan kompleksitas hubungan antara viralitas, kesadaran publik, dan perjuangan meraih keadilan. 

Dalam era penyebaran informasi secara cepat melalui media sosial dan teknologi digital, viralitas sering kali menjadi kekuatan yang mempercepat respons terhadap ketidakadilan. Kasus-kasus viral dapat menarik perhatian luas, memobilisasi dukungan, dan memaksa lembaga penegak hukum untuk bertindak. 

Namun, di balik the power of viral, pertanyaan etis dan hukum muncul. Apakah viralitas seharusnya menjadi penentu utama keadilan? Bagaimana memastikan kasus yang viral diperlakukan dengan adil tanpa terpengaruh oleh sensasi media?

Anggota Komisi X DPR RI, Fahmi Alaydroes menyatakan, fenomena NVNJ di mana warganegara mengadu kepada masyarakat melalui media sosial, itu menjadi sinyal aparat negara lemah atau tidak dipercaya masyarakat (emedia.dpr.go.id, 26/3/2024).  

Padahal, kepercayaan (trust) begitu penting dalam membina keberlangsungan dan keutuhan sebuah relasi. Ketika trust mulai luntur dari satu pihak, maka ini akan mendorong kian renggangnya suatu relasi, bahkan pihak tersebut dapat menarik kembali amanah yang telah dititipkan kepada pihak lain.

Faktor penyebab trust masyarakat luntur terhadap integritas aparat penegak hukum (APH) antara lain; pertama, banyaknya kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh APH. Kedua, perlakuan yang tidak adil dan tidak konsisten dalam penegakan hukum beberapa perkara. 

Ketiga, proses hukum yang lambat dan berbelit-belit menyebabkan ketidakpuasan masyarakat dan membuat mencari alternatif lain untuk mendapatkan informasi. Keempat, intervensi pihak-pihak tertentu dalam proses penegakkan hukum karena alasan politik, melindungi keluarga hingga 'masuk angin.'

Fenomena NVNJ akibat menurunnya trust terhadap APH ini menyimpan paradoks. Di satu sisi, menunjukkan masyarakat melek hukum dan punya kepekaan nurani. Namun, di sisi lain, pemerintah gagal mengayomi (melindungi) masyarakat dan gagal menyediakan rasa keadilan.

Dampak Fenomena NVNJ terhadap Pencarian Keadilan bagi Rakyat Kecil

Fenomena NVNJ jika dilihat dari segi motif, merupakan bentuk simpati dan kepedulian terhadap ketidakadilan yang ada. Dari segi peluang, merupakan potensi ruang digital untuk membentuk pergerakan kolektif yang besar. Adapun dari segi hasil, akan membukakan jalan bagi masyarakat untuk turut andil dalam menegakkan keadilan dengan cara praktis.

Masyarakat menilai bahwa sebuah kasus yang viral cenderung lebih cepat selesai daripada kasus yang dimulai dengan laporan biasa (terutama kasus-kasus yang mengusik hati nurani masyarakat). Maka kita akan temui dampak positif fenomena NVNJ terhadap pencarian keadilan bagi rakyat kecil sebagai berikut. 

Pertama, meningkatkan keberanian sekaligus kepedulian masyarakat dalam mencari keadilan. Masyarakat mendapatkan saluran alternatif (media sosial) sebagai sarana menyuarakan kegelisahan dalam pencarian keadilan. 

Kedua, memberikan tekanan sosial bagi APH agar lebih cepat dalam menangani suatu perkara. Menurut Komisioner Kompolnas Poengky Indarti, NVNJ adalah sindiran masyarakat agar Polri lebih profesional dan sigap dalam tugas penegakan hukum terutama dalam menindaklanjuti laporan masyarakat (detik.com, 6/11/2023). 

Meski demikian, fenomena NVNJ juga memiliki dampak negatif antara lain; pertama, ketidakadilan baru dalam penegakan hukum. NVNJ  menjadikan proses penegakan hukum tebang pilih, antara viral dan tidak viral. Yang viral cenderung cepat diproses daripada yang tidak viral. 

Kedua, tidak menjamin serta tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan dalam proses hukum (due process of law). Saat peristiwa viral, publik tak peduli lagi dengan kebenaran. Publik cenderung menuntut cepat tanpa memahami prosedur  hukum yang seharusnya. 

Ketiga, mengoyak independensi dari due process of law. Prinsip keadilan dan aturan hukum seharusnya berdiri sendiri berdasarkan fakta, bukti, dan prosedur yang adil tanpa dipengaruhi oleh popularitas, eksposur media, atau faktor eksternal lainnya. Viralitas media sosial ketika didesakkan publik bisa mengancam independensi ini. 

Demikian dampak positif maupun negatif dari pinsip NVNJ. Bila fenomena ini terjadi terus-menerus akan mengakibatkan citra APH (kepolisian) kian buruk karena menjadi sinyal tidak tertanganinya kasus-kasus kejahatan secara baik.

Strategi Penegakan Hukum yang Berkeadilan Tanpa Menunggu Viralnya Suatu Kasus

Viral or not, justice must be enforced! Inilah yang seharusnya dilakukan. Keadilan harus ditegakkan secara obyektif dan independen, tanpa terpengaruh oleh faktor eksternal yang bersifat komersial atau populer. 

Di satu sisi, masyarakat perlu menghormati proses peradilan sebagai pondasi dalam menjaga keadilan dan supremasi hukum. Di sisi lain, APH harus introspeksi dan pembenahan menyeluruh sebagai respons atas kasus viral sebagai bentuk otokritik yang konstruktif. 

Selain itu, dibutuhkan strategi penegakkan hukum yang mampu menghadirkan keadilan tanpa menunggu viralnya suatu kasus. Hal ini butuh sinergi beberapa pihak yaitu; 

Pertama, individu warga negara. Sumber daya manusia (SDM) adalah pembentuk dan pelaksana hukum yang utama. Dari sini muncul APH berkarakter mulia dan masyarakat yang berakhlaq baik. SDM ini mesti terbina pola pikir dan pola sikapnya. Dan sebaik-baik pondasi kemuliaan karakter adalah dengan penanaman iman dan takwa kepada Allah SWT, berikut dorongan untuk menaati hukum-hukum-Nya.

Kedua, keluarga. Merupakan institusi terkecil dalam masyarakat, tetapi berkontribusi besar dalam meletakkan pondasi pendidikan karakter. Dari tempaan keluargalah terlahir sosok manusia yang siap mengemban amanah kehidupan, menjadi pribadi berkarakter adil dan jujur serta siap menegakkan kebenaran.

Ketiga, masyarakat. Bertugas mengontrol anggota masyarakat lain. Diharapkan muncul rasa peduli dan peka terhadap kejadian sekitar dan berkontribusi dalam pelaksanaan dan atau pencarian solusinya. 

Dalam konteks penegakkan hukum, negara dan masyarakat tak bisa dipisahkan. Meski telah terdapat berbagai institusi penegak hukum untuk menangani perkara tindak pidana, tetapi masyarakat juga dituntut membantu penegakkan hukum, misalnya menjalankan siskamling di sekitar rumah. Di Indonesia, secara konstitusional, setiap warga negara berhak dan wajib dalam pertahanan dan keamanan negara, serta rakyat merupakan kekuatan pendukung. 

Keempat, negara (APH). Negara (APH) berperan utama dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Sebagaimana konsep hukum Islam, ajaran hidup yang dianut oleh mayoritas penduduk negeri ini. Islam jelas mensyariatkan agar penegakkan hukum dilakukan secara adil, yaitu:

a. Tidak boleh dipengaruhi oleh rasa suka atau tak suka, kawan atau lawan, dekat atau jauh.

Allah SWT berfirman, “Janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat pada ketakwaan.” (QS. Al Maidah: 8).

b. Tidak boleh dipengaruhi oleh rasa kasihan, sehingga menyebabkan tidak menjalankan hukum terhadap pelaku kriminal. 

Allah SWT berfirman, “Janganlah rasa kasihan kepada keduanya (pelaku zina) mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah.” (QS. An Nuur: 2).

c. Hukum berlaku untuk semua. Tidak boleh ada privelese dalam penerapan hukum, sehingga seolah ada individu atau kelompok orang yang tak tersentuh hukum. Pun tidak dibedakan apakah suatu kasus viral atau tidak, hingga semuanya cepat diproses. 

Rasulullah SAW bersabda, “Tegakkanlah hukum Allah atas orang dekat atau pun yang jauh. Janganlah celaan orang yang suka mencela menghalangi kalian untuk menegakkan hukum Allah.” (HR. Ibnu Majah, Al Hakim, dan Al Baihaqi).

Hadis ini memerintahkan agar menegakkan hukum tanpa diskriminasi/tebang pilih. Frasa “orang dekat atau orang jauh” maknanya bisa dari sisi nasab dan kekerabatan, yang kuat dan yang lemah, atau yang bangsawan/pejabat dan rakyat biasa. Bisa juga kedekatan dari sisi dekat dengan kekuasaan dan penguasa, atau orang-orang dalam lingkaran kekuasaan, pendukung rezim, seperti para influencer dan buzzer istana. 

Selain itu, hadis ini juga mengingatkan jangan sampai komentar-komentar orang (publik) memengaruhi penegakan hukum. Artinya, yang harus diperhatikan adalah penegakan hukum dan keadilan itu sendiri, yakni yang bersumber dari Allah SWT sebagai sebuah kewajiban. 

Dengan demikian, bila menghendaki sistem hukum berkeadilan secara hakiki, ini akan sulit diraih dalam sistem hukum berasas sekularisme kapitalistik seperti saat ini. Maka kembalikan pembentukan dan pengaturannya berdasar hukumnya Sang Pembuat Hukum yaitu Allah SWT. Tak ada hukum seadil hukumnya Allah SWT Sang Maha Adil. Tidakkah kita ingin mewujudkannya?

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati

0 Komentar