Direktur PI: Ujung Posisi Partai Demokrasi adalah Politik Dagang Sapi


MutiaraUmat.com -- Menanggapi kasak-kusuk pasca putusan Mahkamah Konstitusi, Direktur Pamong Praja Institute Wahyudi Al-Maroky menegaskan ujung dari posisi partai demokrasi adalah politik dagang sapi. 

“Jadi kalau saya lihat ujung dari posisi partai demokrasi ini, adalah pasti lanjutnya adalah politik dagang sapi,” bebernya dalam kanal Peradabanislam.id bertajuk Konsolidasi Koalisi; Politik Dagang Sapi Harga Mati?, Sabtu (27/04/2024) 

Disebut dengan istilah politik dagang sapi kata Wahyudi karena para pembeli dan penjual bertemu berdua, berkomunikasi, kompromi tapi hanya bisa dilihat tidak tahu apa komprominya. Nah itu yang terjadi, akan terjadi di partai-partai politik yang akan bergabung di kekuasaan. Mereka bergabung komprominya apa, kita gak tahu. Tentu yang tahu adalah mereka, publik hanya bisa menduga-duga. 

"Jadi politik dagang sapi itu melengkapi stempel-stempel politik sebelumnya. Kan sebelumnya ada politik pencitraan, ada politik dinasti, ada politik dagang sapi terakhir,” imbuhnya. 

Wahudi melihat adanya upaya untuk  melakukan  pengokohan kekuasaan, membuat stabil kekuasaan bagi pemenang tetapi bagi oposan yang harusnya ada di luar mendapat peluang untuk masuk ke kekuasaan karena ada ada tawaran untuk ikut berkuasa walaupun dia tidak menang. Itu adalah tawaran yang mengiurkan, bagaimana mungkin orang  tidak menang tapi bisa mendapat kekuasaan dengan cara politik dagang sapi 

"Kompensasinya apa? Bagi si pemenang tentu dia ingin menstabilkan dukungan di parlemen, dukungan politik lainnya. Bagi yang kalah kemudian ikut bergabung maka ini adalah  benefit politik yang bisa diraih maksimal dalam posisi kalah tapi mendapatkan kursi,” bebernya. 

Jadi, menurutnya dalam sistem demokrasi sekuler hari ini, orientasi para politisi sekuler itu ingin mencari kekuasaan, ingin meraih kekuasaan. Kemudian ingin mendudukinya dan mengelolanya dan bahkan mempertahankannya. Jadi kalau dilihat ada peluang yang diberikan oleh pemenang dan awalnya tidak mendukung atau pihak yang bersebangan untuk bisa bergabung. 

"Dengan apa bergabung? Dengan tawaran posisi kekuasaan, entah kursi menteri, entah komisaris BUMN, entah  projek tertentu, tetapi yang jelas dia menawarkan pintu untuk masuk ke dalamnya,” terangnya. 

Ia menegaskan, dengan masuk di dalam berartikan dia bersama dalam kekuasaan. Nanti berarti tidak bisa mengkritik ke dalam, karena sudah ada dalam barisan kekuasaan. Bagi pemenang, ini merupakan upaya untuk menjaga  kekuasaannya supaya stabil dan tidak banyak dikritik atau dikoreksi oleh orang lain atau politisi-politisi lain yang  oposan. 

“Tetapi bagi para pihak luar oposisi yang  mestinya jadi oposan dia mendapatkan tawaran itu suatu peluang yang besar, bahwa  selama ini mencoba untuk meraih kekuasaan, agak susah toh. Ini posisi kalah tapi ditawari begitu kira-kira. Ini dapat gratisan kira-kira begitu. Walaupun nanti di dalam tidak gratis ada kompensasi atau kesepakatan yang ada, tapi itulah praktik demokrasi, itu akan begitu seterusnya,” tegasnya. 

Ia menegaskan kembali bahwa inilah sebenarnya cerminan praktik demokrasi yang sesungguhnya. Tidak akan mendapat kestabilan politik, keamanan yang stabil, kemudian dalam konteks  pelayanan publik yang stabil, juga  tidak ada. Karena memang  ciri khas demokrasi itu sangat tergantung pada angin politik. Angin politiknya kompromistis, bagi yang diajak kompromi. 

"Posisi itu, posisi check and balancing, itu terjadi dalam konteks kepentingan saja. Kalau ada partai oposisi belum tentu dia menyampaikan kritik itu demi kepentingan rakyat,” katanya. 

“Tapi yang pasti dia biasanya menyampaikan kritik hanya untuk mendapatkan benefit politik dukungan rakyat. Setelah dia duduk juga, dia tidak akan perhatikan kepentingan rakyat, suara rakyat. Itu yang terjadi dalam praktek-praktek politisi sekuler maupun praktek-praktek yang dilakukan oleh partai politik sekuler hari ini di dalam sistem demokrasi yang sekuler ini,” tambahnya. 

Ia menunjukkan, pasca pesta demokrasi yang tentu biaya sangat mahal, yang tentu banyak haru biru apa kecurangan. Bahkan ada adagium untuk menang tidak harus berjuang keras atau bekerja keras, cukup curang bisa menang. 

“Itu banyak sekali saya lihat ada orang yang sudah bikin kaos itu, ada yang bikin meme dan seterusnya. Jadi ini  kalau menurut saya bukan karena  personality,  tapi praktik demokrasi itu seperti itulah yang terjadi. Bedanya di demokrasi yang sudah mapan atau tadi pendidikannya lebih tinggi ,mereka mainnya lebih halus gitu. Karena tingkat intelektualitas kita mungkin  masih agak rendah di bawah negara demokrasi yang ada di luar tentu mainnya agak sedikit kasar. Sehingga nampaklah  kompromi-kompromi itu,” pungkasnya. [] Sri Nova Sagita

0 Komentar