Demokrasi Adalah Hawa Nafsu yang Pasti Otoriter


MutiaraUmat.com -- Mudir Ma’had Al-Ukhuwah Al -Islamiyah K.H. M. Ainul Yaqin menjelaskan bahwa demokrasi adalah hawa nafsu. “Demokrasi ini kalau bahasa saya ya hawa nafsu, kalau hawa nafsu mestinya otoriter karena kalau orang Jawa bilang hawa nafsu ‘pokoke," tuturnya dalam Multaqo Ulama Aswaja: Sengketa Demokrasi, Ulama Bersikap! di kanal YouTube Multaqo Ulama Aswaja TV, Ahad (28/4/2024). 

Selanjut ia menjelaskan, karena hawa nafsu, maka tidak mau tunduk kepada hukum Allah, tetapi tunduknya kepada suara terbanyak, dan suara terbanyak itu bisa direkayasa. Karena dalam demokrasi tidak ada istilah halal dan haram. 

“Maka Allah menyampaikan tentang bahayanya mengikuti suara terbanyak, jikalau toh sekiranya faktanya suara terbanyak. Kenapa? Karena Allah mengingatkan dalam QS. Al-An'am Ayat 116 

وَاِنْ تُطِعْ اَكْثَرَ مَنْ فِى الْاَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗاِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَاِنْ هُمْ اِلَّا يَخْرُصُوْنَ 

"Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan,” paparnya."

Sehingga ia mengatakan, itulah yang terjadi ketika masyarakat mengikuti suara mayoritas. Maka hawa nafsu itu ya otoriter. “Pokoke, pokoke kudu dadi, piye carane’. Maka kemudian akal digunakan untuk melayani nafsu, maka yang terjadi bukan kecerdikan tetapi kelicikan,” jelasnya. 

Oleh karenanya ia menekankan, karena adanya kelicikan, maka akal melayani nafsu. Nafsu yang memimpin tentulah akan otoriter, tetapi kalau boleh dikata hal ini adalah indikator makin dekatnya tsumma takuunu Khilafatan ‘Ala Minhaajin Nubuwwah. Karena makin otoriter penyempurnya yang disebut dengan mulkan jabariyyan (diktator), maka makin diktator, makin dekat dengan apa yang Rasul sampaikan Tsumma Takuunu KhilafatanAla Minhaajin Nubuwwah. 

"Namun, bukan berarti yowes bene otoriter, bukan begitu, karena yang diperintahkan adalah bagaimana kita menyikapinya, bukan membiarkannya dan sikap kita harus sesuai yang dicontohkan Rasulullah," lugasnya.

Ia menjelaskan, hanya Islam yang akan membebaskan manusia dari belenggu nafsunya itu, sebab Allah sampaikan Dari Abu Muhammad Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidak beriman seorang dari kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (Hadis hasan sahih, kami meriwayatkannya dari kitab Al-Hujjah dengan sanad shahih). 

Ia mengutip firman Allah 
إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ 

"Nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. (QS. Yusuf : 53) . Maka akalnya harus ditundukkan kepada syariat,” jelasnya. 

“Dalam Islam kedaulatan di tangan syariat, maka nafsu harus dipaksa tunduk kepada syariat, akal akan menjadi selamat kalau akal tunduk dengan hukum Allah SWT. Kalau sudah bicara syariat maka akal harus tunduk kepada ayat-ayat Allah dan hadis Raasulullah. Kenapa? Akal tidak menjadi dalil syariat, akal menjadi dalil aqidah, keimanan kita terhadap Allah, iman kepada Al-Qur’an, Rasulullah Muhammad SAW dalilnya aqli,” paparnya. 

Meski begitu, ia menjelaskan bahwa Al-Qur’an berdasarkan dalil aqli yang qath’i terbukti kebenarannya, kemudian akal harus tunduk pada Al-Qur’an itu, untuk menghasilkan hukum dengan melalui proses itjtihad yang dilakukan ulama muhtahir, karenanya mujtahid bukan mengikuti muqallid, tetapi muqallidnya yang harus megikuti mujtahid karenanya di dalam Islam. 

“Imam Gazali menyampaikan ulama mursyidnya sultan artinya berarti syariat ada di depan, kemudian ulama yang merupakan bagian dari yang menggali syariat dari dalil-dalil yang sudah dijelaskan itu menghasilkan hukum Allah SWT yang dalam bentuk fiqih dijadikan sebagai pedoman bagi sulthan untuk menjalankan pemerintahannya,” ungkapnya. 

Oleh karena itu jelasnya, selama dengan menggunakan demokrasi dijadikan sebagai jalan untuk sampai pada kekuasaan, tidak akan pernah sampai. Kalaupun sampai, dilindas, dan itu sudah terbukti Mesir dan Aljazair. Maka tidak akan pernah Islam sampai pada kekuasaan kalau jalannya demokrasi. Hanya jalan yang dicontohkan Rasullullah SAW yang itu akan menghantarkan umat sampai hasil sesungguhnya sebagaimana Rasul pernah meraih itu. 

"Oleh karena itu, maka kita harus tinggalkan demokrasi dan pahamkan umat untuk meninggalkan demokrasi, kita bersyukur kepada Allah dengan adanya sengketa demokrasi karena itu makin membuktikan bahwa demokrasi bukan jalan untuk Islam sampai pada kekuasaan itu,” pungkasnya. [] Alfia Purwanti

0 Komentar