Buruh Sejahtera, Hanya Mimpi Saja?


MutiaraUmat.com -- Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Internasional. Tema yang diangkat tahun ini adalah Kerja Bersama Wujudkan Pekerja/Buruh yang Kompeten. Dengan tema tersebut diharapkan para pekerja dapat meningkatkan keterampilan, tidak hanya teknis tapi juga interpersonal karena persaingan di dunia kerja sekarang ini semakin kompetitif. Begitu juga dengan tuntutan pekerjaan yang semakin banyak.

Tema tersebut kontradiktif dengan kondisi saat ini. Buruh selalu dituntut untuk bekerja lebih baik, sedangkan selama ini mereka tidak mendapatkan kesejahteraan. Bahkan tingkat pengangguran global masih tinggi. Diperkirakan 200 juta orang lebih masih menganggur pada tahun 2024.

Kesenjangan sosial pun semakin melebar. Ketimpangan antara kaya dan miskin semakin parah, dengan 1 persen populasi terkaya dunia menguasai lebih dari setengah kekayaan global.

Alih-alih menyelesaikan masalah pengangguran, berdasarkan laporan Talent Acquisition Insights 2024 oleh Mercer Indonesia justru menunjukkan bahwa 69 persen perusahaan di Indonesia menyetop merekrut karyawan baru pada tahun lalu lantaran khawatir ada pemutusan hubungan kerja (PHK). Dari 69 persen itu, 67 persen di antaranya merupakan perusahaan besar. 

Laporan tersebut juga mengungkapkan ada 23 persen perusahaan di Tanah Air yang melakukan PHK pada 2023, sementara rata-rata global sebesar 32 persen. Survei tersebut dilakukan terhadap lebih dari 750 profesional Sumber Daya Manusia (SDM) di lebih dari 20 industri di Indonesia. (CNN Indonesia, 26/04/2024) 

Pemerintah seolah tidak bergeming atas permasalahan tersebut. Bahkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pemerintah justru membuat aturan yang memudahkan perusahaan untuk memecat karyawannya. 

Sebelum ada UU Cipta Kerja, PHK diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU tersebut mengatakan bahwa pengusaha dan pekerja harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). 

Jika tak dapat dihindari, PHK wajib dirundingkan terlebih dahulu oleh pengusaha dan pekerja. Jika perundingan tak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat menjatuhkan PHK ke pekerjanya setelah ada ketetapan dari pengadilan hubungan industrial (PHI). Pasal 155 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan bahkan menyatakan, bahwa PHK tanpa ketetapan PHI batal demi hukum.

Namun ketentuan itu tak berlaku lagi. Sebab, Pasal 155 UU Ketenagakerjaan dihapus di UU Cipta Kerja. 

Dengan ketentuan UU Cipta Kerja, kini banyak perusahaan yang dengan mudah memecat pekerjanya. Sebab, seketika perusahaan mengeluarkan surat PHK, saat itu pula mereka membayarkan pesangon ke pekerja yang dipecat. Sehingga, jika pekerja mengajukan gugatan ke PHI, tak akan banyak yang berubah.

Walhasil, pihak yang diuntungkan adalah para pengusaha atau pemilik modal karena mereka bisa sewaktu-waktu memecat pekerjanya sesuai kepentingan mereka. Belum lagi masalah upah layak yang tak kunjung didapat oleh para buruh. Hal tersebut sangat wajar terjadi dalam sistem kapitalisme saat ini.

Dalam sistem kapitalisme, buruh hanya dianggap sebagai faktor produksi. Nasib buruh tergantung pada perusahaan, sementara tak ada jaminan dari negara karena negara hanya berperan sebagai regulator dan penengah antara buruh dan Perusahaan. Maka tidak heran bila persoalan buruh akan selalu ada dan kesejahteraan tak kunjung tiba. 


Islam Menjamin Kesejahteraan Buruh

Islam memandang buruh adalah bagian rakyat dan negara bertanggung jawab untuk memastikan kesejahteraannya. Sehingga tanggung jawab memenuhi kebutuhan rakyat (termasuk buruh) ada pada negara, bukan perusahaan. Sebagaimana hadis:

Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Negara akan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya secara individual sehingga tiap-tiap rakyat merasakan kesejahteraan. Negara juga melakukan fungsi pengawasan untuk memastikan bahwa tidak ada rakyat yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya.

Pemenuhan kebutuhan tersebut dibarengi dengan kewajiban mencari nafkah bagi kaum laki-laki. Negara akan menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi rakyat laki-laki yang balig untuk bekerja mencari nafkah untuk keluarganya. 

Apabila seorang tidak memiliki harta, pekerjaan dan tidak memiliki keluarga yang menjadi tumpuannya maka negara/daulah Islam wajib menjaminnya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِلْوَرَثَ

Barang siapa mati dengan meninggalkan harta, maka (harta tersebut) untuk ahli warisnya, dan barang siapa mati dengan meninggalkan keluarga yang butuh santunan, maka akulah yang menjadi penanggungnya.” (HR. Muslim 3043)

Selain itu, Islam mengatur ketenagakerjaan sesuai kontrak kerja (akad ijarah) antara pengusaha dan pekerja. Sebagaimana hukum akad, kontrak kerja sama harus memenuhi ridha wal ikhtiar. Artinya, kontrak yang terjadi harusnya saling menguntungkan. Tidak boleh satu pihak menzalimi maupun terzalimi pihak lainnya.

Dengan demikian, Perusahaan wajib membayar upah buruh/pekerja dengan baik dan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja secara semena-mena. Pekerja juga diberikan haknya seperti hak untuk dapat menjalankan kewajiban ibadah, hak untuk istirahat jika dia sakit, dan lain sebagainya.

Pekerja pun bertanggungjawab menunaikan kewajibannya dengan baik, seperti bekerja sesuai jam kerja yang ditentukan, tidak melakukan pengrusakan terhadap aset milik pengusaha, dan lain sebagainya.

Dalam rangka mencegah kezaliman yang terjadi dalam kontak kerja tersebut, Islam memberlakukan hukum-hukum tegas kepada siapa saja yang melakukan kezaliman, baik itu pengusaha maupun pekerja. Jika masih ada perselisihan, negara Islam (khilafah) menyediakan wadah yang terdiri dari tenaga ahli (khubara’) yang diharapkan dapat menyelesaikan perselisihan di antara keduanya secara netral.

Demikianlah Islam mengatur permasalahan buruh/pekerja sehingga kesejahteraan bukanlah Impian dan tidak menjadi sesuatu yang mustahil terjadi dalam Daulah Khilafah. Wallahu a’lam bishshawab. []


Oleh: Kamilah Azizah
Aktivis Muslimah

0 Komentar