Bunuh Diri Marak: Jalan Sesat Akibat Kegagalan Pembentukan Budi Pekerti Warga Masyarakat

MutiaraUmat.com -- Heboh! Seorang perempuan terjun dari jembatan layang Jombor, di Kabupaten Sleman, DIY, Kamis (2/5/2024). Diduga hendak bunuh diri karena masalah keluarga, mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri ini selamat (radarjogja.com, 2/5/2024). 

Tak kalah dramatisnya. Seorang perempuan 23 tahun juga mencoba bunuh diri dengan melompat dari Jembatan di Desa Mlipirowo, Kecamatan Tarik, ke sungai Brantas, Sabtu (4/5/2024). Aksi ini menggegerkan warga namun berhasil digagalkan oleh pengguna jalan (radarsidoarjo.id, 5/5/2024)

Dua tragedi teranyar ini menambah daftar panjang maraknya bunuh diri di negeri ini. Berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI (Polri), ada 971 kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang Januari-18 Oktober 2023. Angka itu melampaui kasus bunuh diri sepanjang tahun 2022 sebanyak 900 kasus. Paling banyak dijumpai di Jawa Tengah, yaitu 356 kasus. Pun paling banyak ditemui di perumahan atau permukiman 741 kasus, di perkebunan 104 kasus, dan persawahan 18 kasus (katadata.co.id, 18/10/2023).

Diakui atau tidak, Indonesia tengah mengalami darurat kesehatan mental. Kala bersinggungan dengan aneka problem kehidupan, bunuh diri menjadi jalan pintas menyelesaikannya. Alih-alih masalah selesai, sejatinya sang pelaku sedang menanam masalah baru di "dunia lain." Ketika bunuh diri terus terjadi, tentu menyisakan sebuah tanya, apa yang sesungguhnya terjadi. Pun sejauh mana keterlibatan sistem hidup yang diterapkan saat ini dalam memicu pesatnya angka bunuh diri.

Bunuh Diri Marak dalam Sistem Sekularisme nan Rusak

Tren meningkatnya bunuh diri diiringi kian mudanya usia pelaku. Banyak kasus di mana pelaku usia remaja (mahasiswa) bahkan anak-anak. Dari cekcok soal asmara dengan pacar, stres akibat tugas kuliah menumpuk, depresi gegara skripsi, kesulitan membayar UKT, terjebak pinjaman online (pinjol), hingga anak yang dilarang main HP oleh orang tuanya. 

Menurut Psikolog Universitas Airlangga, Atika Dian Ariana, M.Sc., M.Psi., depresi dan gangguan mental merupakan penyebab seseorang bunuh diri. Bunuh diri biasanya timbul melalui perasaan marah, kecewa, dan panik yang intens. Keberagaman penyebab bunuh diri dapat dikategorikan secara biopsikososial.

Faktor biologis, orang tersebut dapat memiliki keluhan fisik yang membuat tidak berdaya seperti masalah jantung dan hormonal. Psikologis, orang tersebut memiliki kerentanan untuk merasa tidak berarti. Sosial, orang tersebut memiliki permasalahan pada relasi sebayanya. Berdasarkan tiga aspek tersebut, faktor terdekat dari bunuh diri adalah depresi dari proses sosial (unair.ac.id, 11/7/2023).

Menyelisik penyebab maraknya seseorang bunuh diri dari aspek kesehatan mental memang kompleks. Ada multifaktor, baik dari internal individu maupun eksternal (luar individu). Berikut penjelasannya. 

Pertama, individu rapuh. Di satu sisi, stresor kian banyak (tugas kuliah, kesulitan ekonomi, masalah keluarga), sementara di sisi lain kapasitas untuk meng-handel masalah rapuh. 

Kedua, pola asuh minim ruh. Orang tua cenderung mudah memfasilitasi anak dalam mendapatkan (membeli) sesuatu. Ukuran anak bahagia adalah terpenuhi keinginan materialnya. Jarang ditempa kesulitan membuat anak mudah down saat menghadapi masalah. Selain itu, iman dan takwa (aspek ruhiyah) sebagai pondasi, tak ditanamkan pada anak sebagai modal dasar mengarungi kehidupan yang pasti ada ujian berupa masalah.

Ketiga, kemudahan mengakses banyak hal melalui kecanggihan teknologi saat ini. Ingin makan, tinggal pesan sajian online. Ingin beli baju trendy, tinggal masukkan keranjang online, barang diantar. Mau cari bahan tugas kuliah, tinggal klik link dan searching di internet.  Terbiasa bergaya hidup instan, membuat daya juang anak muda justru melemah. Hanya karena soal remeh-temeh, mudah menyerah, putus asa, hingga bikin story WA "Selamat tinggal temanku," dan berakhir di tali gantungan.

Keempat, lingkungan pergaulan serba hedonis. Kini, gaya hidup hedonis mendominasi anak muda. Jargonnya "Kecil dimanja, muda hura-hura, dewasa kaya raya, mati masuk surga." Apalagi di era media sosial seperti sekarang. Mereka terjangkiti fenomena Fomo (fear of missing out), yaitu perasaan cemas bila tidak mengikuti sesuatu yang lagi tren atau viral di media sosial.

Kelima, sistem sekularisme kapitalistik liberal yang melingkupi kehidupan masyarakat.  Sistem hidup yang diterapkan oleh penguasa di negeri ini  mengarahkan warga masyarakat agar menjauhkan pengaturan agama bagi kehidupan. Beragama cukup menjalankan ibadah ritual saat berinteraksi dengan Tuhan. 

Akibatnya, manusia tidak terisi jiwanya dengan aspek spiritual. Hidup tak lagi untuk menghamba pada Allah SWT, tapi berganti sesembahan. Pertama adalah uang, kedua cuan, ketiga duit. Karena jauh dari agama, hidup cenderung bebas sesuai kehendak dan hawa nafsunya. Bahkan terjadi hukum rimba. 

Wajar bila dalam didikan sistem hidup ini, lahir pribadi-pribadi rapuh. Bahkan split personality. Di satu sisi Muslim, tapi di sisi lain, pemikiran dan perasaannya jauh dari Islam. Hidup jauh dari Allah, tentu bikin gegana; gelisah, galau, merana. Lalu putus asa. Lantas bunuh diri menjadi tren penyelesaian masalah.

Demikianlah beberapa faktor penyebab maraknya bunuh diri. Meskipun pemerintah telah berupaya meningkatkan budi pekerti masyarakat termasuk para pemudanya, namun pengaruhnya belum signifikan, khususnya dalam menanggulangi tren bunuh diri.

Efektivitas Upaya Pemerintah Menanggulangi Bunuh Diri Akibat Putus Asa dalam Kehidupan Sekuler Kapitalistik

Bunuh diri termasuk di antara 20 penyebab utama kematian secara global untuk segala usia. Penyakit mental, terutama depresi dan gangguan penggunaan alkohol, pelecehan, kekerasan, kehilangan, latar belakang budaya dan sosial, merupakan faktor risiko utama bunuh diri. 

Namun sayangnya, menurut Regional Director WHO South-East Asia Region, Dr. Poonam Khetrapal Singh, di seluruh dunia, pencegahan bunuh diri belum ditangani secara memadai karena kurangnya kesadaran bunuh diri sebagai masalah utama. Pun menggangap tabu untuk membahasnya secara terbuka. Faktanya, hanya sedikit negara yang memasukkan pencegahan bunuh diri sebagai salah satu prioritasnya. 

Adapun di Indonesia, pemerintah telah berupaya mencegah dan menanggulangi bunuh diri dengan berbagai cara, antara lain: 

Pertama, mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mencegah bunuh diri.

a. Penetapan Hari Korban Bunuh Diri Internasional sebagai hari penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pencegahan bunuh diri. 

b. Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kesehatan Jiwa. Peraturan ini mengatur tentang upaya pencegahan dan penanganan masalah kesehatan jiwa, termasuk bunuh diri.

c. Peluncuran Gerakan Nasional Pencegahan Bunuh Diri (GNPB) pada tahun 2022. Gerakan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pencegahan bunuh diri dan memperkuat koordinasi antarlembaga terkait.

Kedua, sosialisasi pencegahan bunuh diri dengan melibatkan pihak lain seperti sekolah, penyuluh agama, dan lain-lain. Yang pernah berlangsung seperti: 

a. Sosialisasi orientasi implementasi kesehatan jiwa di sekolah dalam pencegahan bunuh diri pada remaja, digelar oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Toraja Utara bekerjasama dengan Direktorat Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Rabu (12/7/2023). Ditujukan bagi pengelola dan petugas UKS di Puskesmas, Pelaksana UKS Guru Bimbingan Konseling (BK) di sekolah. 

b. Webinar penguatan kapasitas bagi guru mata pelajaran agama, BK, serta penyuluh agama yang digelar oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi Gorontalo, Kamis (10/8/2023). Materi tentang pandangan Islam tentang fenomena bunuh diri, pembangunan ketahanan diri dalam problematika hidup. 

Ketiga, di beberapa daerah terbentuk Satgas Pencegahan Bunuh Diri, posko layanan konsultasi publik, mengedarkan khutbah Jumat terkait bunuh diri, hingga menggelar doa bersama.

Keempat, menyediakan layanan kesehatan jiwa di Puskesmas. Menurut data dari Kemenkes, terdapat lebih dari 3.000 Puskesmas yang dilengkapi dengan layanan kesehatan jiwa.

Upaya pemerintah mengurangi angka bunuh diri di Indonesia tentu layak diapresiasi. Meski hingga saat ini angka bunuh diri masih tinggi. Masih banyak yang perlu dilakukan untuk meningkatkan efektivitas kebijakan. Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan mental termasuk layanan konseling dan terapi, peningkatan  kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan mental dan faktor-faktor risiko bunuh diri, serta memperkuat koordinasi antarlembaga terkait dalam upaya pencegahan bunuh diri.

Dan perlu dipahami juga bahwa bunuh diri yang terus terjadi di negeri ini bukanlah kasuistik, melainkan problem sistemis yang butuh solusi sistemis juga. Bila penyebab mendasarnya justru pada penerapan sistem hidup yang rusak, maka seberapa pun upaya dilakukan, hanya bersifat tambal sulam. Hingga efektivitasnya diragukan. Dan memungkinkan tragedi ini akan terjadi lagi dan lagi. Bila demikian, apa yang urgen untuk dilakukan?

Solusi Mencegah agar Bunuh Diri Warga Masyarakat Tidak Terulang Kembali

Terkait maraknya bunuh diri sebagai problem  sistemis, Islam sebagai agama mayoritas negeri ini telah memberikan solusi secara sistemis. Berikut strategi Islam mencegah bunuh diri agar tidak terus terulang di tengah masyarakat. 

Pertama, mendorong individu untuk membangun karakter diri yang kuat. Rasulullah SAW bersabda, "Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah, dan pada keduanya ada kebaikan” (HR. Muslim).

a. Kualitas kepribadian ditingkatkan dengan cara mengkaji Islam, memperbanyak ibadah, dan amal shalih. Ini sekaligus akan menguatkan kesehatan mentalnya. 

b. Pun mengikuti aktivitas bermanfaat lainnya juga akan menempa diri lebih siap menghadapi tantangan hidup. 

Kedua, support system dari keluarga sebagai institusi dasar penguat karakter anggotanya. 

a. Berlandaskan pandangan bahwa keimanan adalah kunci kesehatan mental, orang tua bertugas menginternalisasi nilai-nilai iman sejak dini pada putra-putrinya.

b. Membentuk pola asuh yang tidak "menggampangkan" anak untuk memperoleh sesuatu tanpa upaya atau kerja keras.

c. Menjadi orang tua terapeutik (penyembuh). Jangan memberi luka-luka pengasuhan yang membekas buruk pada batin anak. Karena mengobatinya susah. Bila luka menumpuk, akan menggerogoti kesehatan jiwa anak. 

d. Memperkuat bonding dengan anak. Menjalin hubungan, mengajak dialog dari hati ke hati, merangkul mereka, memahami tidak mudah menyalahkan anak.

Ketiga, penerapan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam. Sejarah Islam telah membuktikan bahwa kurikulum pendidikan Islam mampu melahirkan generasi kuat imannya, tangguh mentalnya, dan cerdas akalnya. 

Negara akan mengondisikan penyelenggaraan pendidikan yang bertujuan untuk membentuk syakhsiyah Islam agar terlaksana baik. Generasi harus memiliki pola pikir dan pola sikap yang sesuai syariat Islam. Hingga mereka memiliki bekal menjalani kehidupan dan mengatasi persoalan dengan cara pandang Islam.

Keempat, mewujudkan sistem kehidupan yang kondusif bagi kesehatan mental. Sekularisme kapitalistik liberal terbukti melahirkan sosok manusia yang "kemrungsung" dan cenderung liar mengejar aspek material minim spiritual. Maka butuh keberadaan sistem yang menempa warga masyarakat agar memiliki kepribadian tangguh yakni kepribadian Islam, tercermin dari kekuatan pola pikir dan pola sikapnya dalam menyikapi problematika sehari-hari.

Untuk mewujudkannya, membutuhkan peran serta segenap elemen masyarakat khususnya penguasa di negeri ini. Kesediaan para pemimpin untuk menerapkan sistem Islam yang bersumber dari Allah SWT dan Rasul-Nya insya Allah akan memberikan implikasi positif bagi terbinanya kepribadian masyarakat yang tangguh, tidak mudah stres, depresi, hingga tak berpikir menyelesaikan masalah dengan bunuh diri.


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media

0 Komentar